33.1 C
Jakarta
Wednesday, December 11, 2024

Partai Amplop

“Masih di Eropa?” tanya saya.

“Tanggal 5 September saya sudah pulang,” jawab Suharso Monoarfa, menteri Perencanaan Pembangunan/Ketua Bappenas.

“Kok waktu Muskernas partai tidak hadir?” tanya saya lagi.

“Itu kudeta,” jawabnya.

Suharso adalah juga ketua umum Partai Persatuan Pembangunan. Di musyawarah kerja nasional itu ia diberhentikan. Digantikan oleh Mardiono, anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), yang juga ketua Majelis Pertimbangan Partai.

“Itu tidak sah. Sejak rapat DPP PPP sudah tidak sah,” kata Suharso. “Untuk rapat DPP harusnya kan saya yang mengundang. Saya tidak tahu itu,” tambahnya.

Waktu itu Suharso masih di Eropa. Yang mengundang rapat adalah Asrul Sani, wakil ketua partai yang juga wakil ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. Rapat DPP itulah yang memutuskan untuk menyelenggarakan Muskernas. Agar ketua umum bisa diberhentikan.

Forum itu dinilai sah mengganti  ketua umum. Sejak itu terbentuklah DPP PPP yang baru, dengan Mardiono sebagai Pj ketua umum. Pengurus lain tetap. Kecuali kalau ada yang mengundurkan diri.

Kelihatannya ada.

Kini mereka masih saling tunggu: kubu mana yang lebih kuat. Kinilah tahap yang paling mendebarkan bagi para pengurus. Salah langkah bisa lenyap.

Suharso pun mengancam akan memecat para pengkhianat di partai. Mereka yang terlibat di Muskernas itu dianggap pengkhianat. “Mereka itu Brutus semua,” kata Suharso.

“Lho kalau mereka dipecat kan habis?” tanya saya.

“Masih banyak yang ikut saya. Dari pengurus yang ada, lebih banyak yang memihak saya,” ujar Suharso. “Termasuk sekjen partai,” tambahnya. Dari 46 orang pengurus, kata Suharso, setidaknya 28 orang memihak dirinya. “Lebih separo,” katanya.

Pengurus baru itu sudah mengirim surat ke Kementerian Hukum dan HAM. Mereka minta pengesahan. Suharso juga sudah berkirim surat ke alamat yang sama: agar menolak permintaan mereka.

“Kan sesama menteri. Tinggal telepon…,” tukas saya.

“Ya… saya sudah telepon. Saya bilang ke beliau kalau permintaan mereka dipenuhi kita tidak berteman lagi,” ujar Suharso.

Maka kedudukan pemerintah kini jadi penentu. Sekaligus kita-kita bisa melihat: pihak mana yang sebenarnya mendapat restu.

Baca Juga :  Hemat Bahaya

Yang satu anggota kabinet presiden. Satunya lagi dewan pertimbangan presiden. Sama-sama bagian dari pemerintah. Sama-sama pengusaha. Sama-sama kaya.

Restu –bukan nama bus antarkota– kelihatannya masih penting di zaman ini. Restu itu pula yang dimainkan agar Muskernas bisa  dilaksanakan. “Saya juga mendengar Muskernas itu dilakukan dengan cara menyebar isu sudah mendapat restu,” ujar Suharso. “Kita lihat saja siapa yang benar,” katanya.

Masih seru ternyata.

Suharso pun siap berjuang sampai  ke arena hukum. “Saya sudah tunjuk Pak Yusril Ihza Mahendra sebagai kuasa hukum,” kata Suharso.

Suharso pun melakukan klarifikasi soal amplop kiai yang ia ucapkan. Yang kemudian diviralkan. Heboh. Yang membuat ia dianggap menghina kiai.

KPK memang sering mengadakan acara pembekalan anti korupsi. Suharso sendiri salah satu ketua gugus tugas pemberantasan korupsi. KPK bertanya padanya pihak mana yang diutamakan untuk program pembekalan itu.

“Partai politik,” jawab Suharso. Dasar pertimbangannya: presiden itu disiapkan dan dipilih oleh partai. Para anggota DPR disiapkan oleh partai. “Partai-partai harus benar dulu,” katanya.

Karena itu KPK mengundang para pengurus partai. Secara bergelombang. Giliran gelombang PPP, Suharso ikut hadir. “Baru saya ketua umum partai yang ikut hadir di forum KPK seperti itu,” kata Suharso.

Tiga pembicara tampil: ketua KPK, wakil ketua bidang pendidikan dan pencegahan, dan ketua umum partai.

“Ucapan saya itu sebenarnya untuk merespons pidato wakil ketua KPK Kiai Nurul Gufron,” ujar Suharso. “Saya memang memanggil beliau kiai. Beliau itu anak kiai terkemuka dari Sumenep,” tambahnya.

Gufronlah, kata Suharso, yang membakar semangat pengurus PPP untuk jangan menuhankan uang. “Yang percaya kekuasaan uang berarti tidak percaya kekuasaan Allah,” ujar Gufron seperti ditirukan Suharso.

Gufron pun menceritakan ayahnya begitu konsisten di PPP. Sampai beliau meninggal. Tanpa pernah tergoda rayuan uang dari mana pun.

 

Sebagai pembicara terakhir Suharso menyinggung soal kebiasaan amplop untuk kiai. “Saya tidak pernah mempersoalkannya. I know that. Itu namanya bisyarah. Saya tidak persoalkan itu,” katanya.

Baca Juga :  Demam Nikel

Yang penting, katanya, jangan sampai berubah menjadi keharusan. Ia pun menceritakan pengalamannya ke satu pondok pesantren. Pondok pesantren tersebut sudah sangat maju. Tidak kekurangan apa pun. Ia merasa tidak perlu meninggalkan amplop di situ. Ternyata ia dibisiki seseorang di situ: kok tidak meninggalkan sesuatu.

“Apakah di forum tersebut Anda menyebut nama pondok dan kiainya?” tanya saya.

“Tentu tidak. Saya justru bangga dengan pondok besar itu karena kemandiriannya,” ujarnya.

Ia pun membisiki saya. “tapi jangan ditulis ya,” katanya.

Kenapa tidak minta maaf saja? Agar reda?

“Saya sudah minta pengurus  untuk memintakan maaf. Tapi malah salah. Malah dikira saya bersalah. Saya itu tidak merasa bersalah,” tegasnya. “Risiko apa pun saya hadapi. Dicopot dari jabatan menteri pun saya tidak takut. Kebenaran harus ditegakkan,” katanya.

Itulah Suharso Monoarfa.

Meski orang Gorontalo, Suharso lahir di Mataram, Lombok. Waktu itu ayahnya, Adam Yunus Monoarfa, mendapat tugas dari Bung Karno. Adam bersama dua orang lainnya harus ke Nusa Kecil –kini disebut Bali, NTB, dan NTT. Mereka bertugas menerima penyerahan wilayah dari raja-raja kecil di Nusa Kecil untuk dimasukkan ke wilayah Republik Indonesia.

Pertama kali ayahnya mendarat si pelabuhan Atapupu. Lalu ke So’e. “Kakak saya lahir di So’e, Timor,” ujar Suharso.

Di setiap daerah mereka bertemu raja kecil. Menerima kekuasaan dari mereka. Lalu Sang ayah ke Lombok. Untuk menerima penyerahan dari raja Karangasam, Mataram. “Saat itulah saya lahir,” katanya.

Dari Nusa Kecil sang ayah dipindah ke Malang. Lalu ke Blitar. Masa kecil Suharso di Blitar. Masa remajanya di Malang.

“Di Blitar rumah kami di sebelah rumah Bung Karno. Saya sering digendong Bu Wardoyo, kakak Bung Karno. Sering disuapi kacang hijau,” ujar Suharso. “Saya juga sering diberi bola kaki yang wujudnya jeruk bali,” tambahnya.

Tapi kenapa orang Gorontalo bernama Suharso?

“Waktu ibu melahirkan saya, ayah lagi bertugas di pulau lain. Polisi yang membantu ibu melahirkan  bernama Suharso,” katanya. (Dahlan Iskan)

“Masih di Eropa?” tanya saya.

“Tanggal 5 September saya sudah pulang,” jawab Suharso Monoarfa, menteri Perencanaan Pembangunan/Ketua Bappenas.

“Kok waktu Muskernas partai tidak hadir?” tanya saya lagi.

“Itu kudeta,” jawabnya.

Suharso adalah juga ketua umum Partai Persatuan Pembangunan. Di musyawarah kerja nasional itu ia diberhentikan. Digantikan oleh Mardiono, anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), yang juga ketua Majelis Pertimbangan Partai.

“Itu tidak sah. Sejak rapat DPP PPP sudah tidak sah,” kata Suharso. “Untuk rapat DPP harusnya kan saya yang mengundang. Saya tidak tahu itu,” tambahnya.

Waktu itu Suharso masih di Eropa. Yang mengundang rapat adalah Asrul Sani, wakil ketua partai yang juga wakil ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. Rapat DPP itulah yang memutuskan untuk menyelenggarakan Muskernas. Agar ketua umum bisa diberhentikan.

Forum itu dinilai sah mengganti  ketua umum. Sejak itu terbentuklah DPP PPP yang baru, dengan Mardiono sebagai Pj ketua umum. Pengurus lain tetap. Kecuali kalau ada yang mengundurkan diri.

Kelihatannya ada.

Kini mereka masih saling tunggu: kubu mana yang lebih kuat. Kinilah tahap yang paling mendebarkan bagi para pengurus. Salah langkah bisa lenyap.

Suharso pun mengancam akan memecat para pengkhianat di partai. Mereka yang terlibat di Muskernas itu dianggap pengkhianat. “Mereka itu Brutus semua,” kata Suharso.

“Lho kalau mereka dipecat kan habis?” tanya saya.

“Masih banyak yang ikut saya. Dari pengurus yang ada, lebih banyak yang memihak saya,” ujar Suharso. “Termasuk sekjen partai,” tambahnya. Dari 46 orang pengurus, kata Suharso, setidaknya 28 orang memihak dirinya. “Lebih separo,” katanya.

Pengurus baru itu sudah mengirim surat ke Kementerian Hukum dan HAM. Mereka minta pengesahan. Suharso juga sudah berkirim surat ke alamat yang sama: agar menolak permintaan mereka.

“Kan sesama menteri. Tinggal telepon…,” tukas saya.

“Ya… saya sudah telepon. Saya bilang ke beliau kalau permintaan mereka dipenuhi kita tidak berteman lagi,” ujar Suharso.

Maka kedudukan pemerintah kini jadi penentu. Sekaligus kita-kita bisa melihat: pihak mana yang sebenarnya mendapat restu.

Baca Juga :  Hemat Bahaya

Yang satu anggota kabinet presiden. Satunya lagi dewan pertimbangan presiden. Sama-sama bagian dari pemerintah. Sama-sama pengusaha. Sama-sama kaya.

Restu –bukan nama bus antarkota– kelihatannya masih penting di zaman ini. Restu itu pula yang dimainkan agar Muskernas bisa  dilaksanakan. “Saya juga mendengar Muskernas itu dilakukan dengan cara menyebar isu sudah mendapat restu,” ujar Suharso. “Kita lihat saja siapa yang benar,” katanya.

Masih seru ternyata.

Suharso pun siap berjuang sampai  ke arena hukum. “Saya sudah tunjuk Pak Yusril Ihza Mahendra sebagai kuasa hukum,” kata Suharso.

Suharso pun melakukan klarifikasi soal amplop kiai yang ia ucapkan. Yang kemudian diviralkan. Heboh. Yang membuat ia dianggap menghina kiai.

KPK memang sering mengadakan acara pembekalan anti korupsi. Suharso sendiri salah satu ketua gugus tugas pemberantasan korupsi. KPK bertanya padanya pihak mana yang diutamakan untuk program pembekalan itu.

“Partai politik,” jawab Suharso. Dasar pertimbangannya: presiden itu disiapkan dan dipilih oleh partai. Para anggota DPR disiapkan oleh partai. “Partai-partai harus benar dulu,” katanya.

Karena itu KPK mengundang para pengurus partai. Secara bergelombang. Giliran gelombang PPP, Suharso ikut hadir. “Baru saya ketua umum partai yang ikut hadir di forum KPK seperti itu,” kata Suharso.

Tiga pembicara tampil: ketua KPK, wakil ketua bidang pendidikan dan pencegahan, dan ketua umum partai.

“Ucapan saya itu sebenarnya untuk merespons pidato wakil ketua KPK Kiai Nurul Gufron,” ujar Suharso. “Saya memang memanggil beliau kiai. Beliau itu anak kiai terkemuka dari Sumenep,” tambahnya.

Gufronlah, kata Suharso, yang membakar semangat pengurus PPP untuk jangan menuhankan uang. “Yang percaya kekuasaan uang berarti tidak percaya kekuasaan Allah,” ujar Gufron seperti ditirukan Suharso.

Gufron pun menceritakan ayahnya begitu konsisten di PPP. Sampai beliau meninggal. Tanpa pernah tergoda rayuan uang dari mana pun.

 

Sebagai pembicara terakhir Suharso menyinggung soal kebiasaan amplop untuk kiai. “Saya tidak pernah mempersoalkannya. I know that. Itu namanya bisyarah. Saya tidak persoalkan itu,” katanya.

Baca Juga :  Demam Nikel

Yang penting, katanya, jangan sampai berubah menjadi keharusan. Ia pun menceritakan pengalamannya ke satu pondok pesantren. Pondok pesantren tersebut sudah sangat maju. Tidak kekurangan apa pun. Ia merasa tidak perlu meninggalkan amplop di situ. Ternyata ia dibisiki seseorang di situ: kok tidak meninggalkan sesuatu.

“Apakah di forum tersebut Anda menyebut nama pondok dan kiainya?” tanya saya.

“Tentu tidak. Saya justru bangga dengan pondok besar itu karena kemandiriannya,” ujarnya.

Ia pun membisiki saya. “tapi jangan ditulis ya,” katanya.

Kenapa tidak minta maaf saja? Agar reda?

“Saya sudah minta pengurus  untuk memintakan maaf. Tapi malah salah. Malah dikira saya bersalah. Saya itu tidak merasa bersalah,” tegasnya. “Risiko apa pun saya hadapi. Dicopot dari jabatan menteri pun saya tidak takut. Kebenaran harus ditegakkan,” katanya.

Itulah Suharso Monoarfa.

Meski orang Gorontalo, Suharso lahir di Mataram, Lombok. Waktu itu ayahnya, Adam Yunus Monoarfa, mendapat tugas dari Bung Karno. Adam bersama dua orang lainnya harus ke Nusa Kecil –kini disebut Bali, NTB, dan NTT. Mereka bertugas menerima penyerahan wilayah dari raja-raja kecil di Nusa Kecil untuk dimasukkan ke wilayah Republik Indonesia.

Pertama kali ayahnya mendarat si pelabuhan Atapupu. Lalu ke So’e. “Kakak saya lahir di So’e, Timor,” ujar Suharso.

Di setiap daerah mereka bertemu raja kecil. Menerima kekuasaan dari mereka. Lalu Sang ayah ke Lombok. Untuk menerima penyerahan dari raja Karangasam, Mataram. “Saat itulah saya lahir,” katanya.

Dari Nusa Kecil sang ayah dipindah ke Malang. Lalu ke Blitar. Masa kecil Suharso di Blitar. Masa remajanya di Malang.

“Di Blitar rumah kami di sebelah rumah Bung Karno. Saya sering digendong Bu Wardoyo, kakak Bung Karno. Sering disuapi kacang hijau,” ujar Suharso. “Saya juga sering diberi bola kaki yang wujudnya jeruk bali,” tambahnya.

Tapi kenapa orang Gorontalo bernama Suharso?

“Waktu ibu melahirkan saya, ayah lagi bertugas di pulau lain. Polisi yang membantu ibu melahirkan  bernama Suharso,” katanya. (Dahlan Iskan)

Terpopuler

Artikel Terbaru