26.6 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Wang Buliau

Anda sudah tahu: wang buliau artinya ‘tak terlupakan’. Tapi Malaysia mengubah itu menjadi nama ikan. Saking enaknya. Seperti halnya durian luwak. Saking enaknya di Malaysia dipopulerkan dengan nama musang king.

Saya diajak makan ‘Wang Buliau’ Rabu malam lalu. Di malam takbiran. Makannya di sebuah restoran bintang lima, di lantai enam, Surabaya.

Resto ini tidak punya menu ‘Wang Buliau’ tapi ‘dipaksa’ memasaknya. Caranya: teman saya itu, Pak Tirto, minta temannya untuk membawa ‘Wang Buliau’ hidup ke resto. Lalu menyerahkan ikan itu ke chef. Si Chef yang memutuskan dimasak apa.

Si temannya teman itu bernama Chen. Tan. Fajar Surya. Ia satu-satunya yang punya ikan jenis itu: memeliharanya sendiri. Tan kenal banyak chef terkemuka di banyak kota. Kali ini chef yang berasal dari Pahang, Malaysia.

“Pak Dahlan pernah ke Pahang?” tanyanya.

“Pernah”.

“Kapan?” tanyanya lagi.

“Waktu diajak teman saya dari Singapura ke sana khusus untuk makan kwetiau,” jawab saya.

Tan sudah tahu Wang Buliau yang ia bawa akan dimasak apa. Ia tahu chef di situ punya keunggulan apa saja.

Dimasak tim.

Dadanya dibelah. Isi perutnya dibuang. Ketika ditaruh di piring besar, posisi punggung di atas. Daging perutnya direntang ke kanan dan ke kiri.

Saya berdiri. Daging perut itulah yang saya incar. Saya potong-potong. Saya sajikan ke Pak Tirto. Lalu ke Fajar. Ke Liong. Ke sebelah Pak Tirto. Dan ke semua orang yang mengelilingi meja makan itu: 12 orang. Terakhir ke piring saya.

Meja makan memang untuk 10 orang. Tapi dua orang teman membawa pasangan. Saya menyesal tidak mengajak istri. Saya tahu tim ikan seperti itu adalah kesukaan istri saya – -rasanya melebihi sukanyi pada saya.

Satu ikan cukup untuk 12 orang?

 

Tidak. Wang Buliau-nya ada dua ekor. Dua piring besar. Maka ketika membagi itu saya hati-hati. Jangan hanya dibagi 12. Harus bisa dibagi menjadi 13. Saya akan bermata gelap: potongan ke 13 akan saya minta dibungkus. Dibawa pulang.

Tentu kepala ikannya saya tinggal di piring. Tahu bahwa potongan ke 13 itu untuk istri di rumah, Pak Tirto maksa agar kepala itu pun diikutkan dalam bungkusan. Dalam hati saya memuji Tuhan: alangkah bergairahnya istri saya nanti membuka bungkusan itu.

Saya sengaja tidak mau menuliskan di sini seperti apa rasa ikan itu. Betapa enaknya. Yang jelas lebih enak dari ikan langka yang ada di Yangzhong, Provinsi Jiangshu. Yang satu ekor Rp 5 juta itu. Yang hanya ada di dua minggu dalam setahun. Yang saya makan akhir April lalu.

Baca Juga :  Anshor Laris

Wang Buliau ini tidak kalah mahal. Satu ekor yang di meja makan itu seharga Rp 6 juta. Mirip dengan yang di Yangzhou, tulangnya juga banyak. Panjang-panjang. Tidak bahaya.

Chef tahu bahwa ikan ini mahal. Maka ia harus memaksimalkannya: tulangnya untuk sop. Disajikan yang pertama. Untuk membuka selera. Sop tulang ikan Wang Buliau. Di tulang itu masih sedikit menempel daging-dagingnya. Enak untuk diisap-isap di mulut.

Lalu kulit bagian luarnya, sisiknya, digoreng kering. Entah dicampur apa. Enak sekali. Kriuk-kriuk. Untuk bisa mengambil sisik itu ikannya direbus dulu. Sisiknya bisa lepas dengan mudah.

Mengapa Wang Buliau begitu mahal? Mengapa tidak banyak yang menternakkannya?

“Siapa yang mau,” ujar Fajar. “Saya saja yang bodoh,” tambahnya.

Tentu Fajar tidak bodoh. Hanya hatinya yang teguh. Ngotot. Campur hobi. Dan yang penting: modalnya kuat.

Untuk memelihara Wang Buliau sampai sebesar yang di meja makan itu diperlukan waktu, ups, tujuh tahun. Siapa yang kuat menahan cash flow begitu lama.

Memelihara sapi saja hanya dua tahun. Lele bisa panen hanya dalam 3 bulan.

Fajar beda. Prinsip hidupnya: harus melakukan yang orang lain tidak bisa melakukan.

Ketika umur 28 tahun Fajar sudah beternak ikan Koi. Masih sangat langka ketika itu: 40 tahun lalu.

Masih sangat mahal.

Ia pindah ke Wang Buliau sejak Koi sudah tidak eksklusif lagi. Sudah menjadi pasaran. Harganya pun sudah sangat jatuh. Memelihara Koi tidak bergengsi lagi.

Sebelum Koi pun Fajar melakukan pekerjaan yang sulit: membuat sepatu wanita. Sampai menguasai pasar kelas atas. Mengenakan sepatunya meningkatkan gengsi si wanita. Hak paling tinggi yang pernah ia buat: 9 cm.

Di samping memelihara Wang Buliau, Fajar juga memproduksi nanas limited edition. Di Blitar. Nanas Blitar memang terkenal manisnya. Tapi salah satu bidang tanah di Blitar adalah tanah pilihannya.

Ia punya cara tersendiri untuk menanam nanas istimewa. Lama: 1,5 tahun baru panen. Merknya: Ananas. Manisnya justru di bagian tengahnya. Renyah pula. Kalau Anda biasa membuang bagian tengahnya itu, jangan lakukan untuk Ananas.

“Di mana bisa beli?” tanya saya.

Fajar menyebut salah satu nama supermarket. “Tapi sekarang lagi kosong,” katanya.

Pun Wang Buliau. Tidak selalu ada. Apalagi kalau dalam jumlah banyak. Harus memesan dulu tiga bulan sebelumnya.

Baca Juga :  Godaan Oksigen

Begitu khususkah?

“Sebelum dijual saya perlakukan secara khusus,” kata Fajar.

“Makanannya saya ubah,” tambahnya.

Selama tujuh tahun ikan itu ia beri makanan ikan biasa. Tiga bulan sebelum dijual hanya diberi makan kelapa tua. Kelapa itu diparut besar-besar. Dicampur berbagai macam buah. Dari situlah salah satu sumbernya: mengapa rasanya istimewa.

Saya pun ingat kepiting Kenari dari Palu atau Gorontalo. Kepiting Kenari suka naik pohon kelapa. Menjadi musuh petani kelapa. Maka kepiting Kenari sangat istimewa: yang asli.

Saya juga ingat ikan Patin sungai Mahakam. Betapa enaknya. Duluuuuu. Ketika Mahakam masih belum jadi jalan tol untuk angkutan kayu dan batu bara. Ketika masih banyak pohon buah bolok di pinggir-pinggirnya.

Patin Mahakam memakan buah bolok itu. Manusia menjauhinya. Yakni buah yang sudah masak. Yang jatuh ke sungai.

Sayang lagu daerah Kutai yang terkenal, Buah Bolok, hanya menceritakan ‘dibuang sayang’. Dengarkan sendiri di YouTube. Istri saya suka menyanyikannya. Tidak ada lirik yang menghubungkannya dengan kenyamanan rasa Patin Mahakam.

Fajar memang tidak pernah kesusu untuk kendapat uang. Yang penting hatinya senang. Sampai sekarang pun, di umur 67 tahun, ia masih tinggal di komplek peternakan ikannya itu. Di Semolowaru Surabaya.

Ia masih memberi makan ikan-kannya. Menangkapnya. Ia lagi fokus bagaimana bisa membuat Wang Buliau punya banyak warna. Agar di samping jadi makanan elit juga busa jadi ikan hias langka.

Cita-cita Fajar yang lain: menciptakan kebanggan bagi orang yang mampu mengadakan pesta dengan sajian Wang Buliau.

 

Ia tahu zaman selalu berubah. Tapi kesukaan makan tidak pernah berubah. Orang selalu bangga kalau bisa makan menu yang sangat bergengsi. Antara lain karena mahalnya.

Tahun 1960-an, gengsi tertinggi kalau di pestanya disajikan gurami asam manis. “Tahun 1980-an gurami asam manis sudah dianggap biasa. Ganti hisit,” katanya.

Tahun 1990-an yang bergensi bukan lagi hisit. Ganti ‘bau yu’. Atau juga disebut abalon. “Sudah waktunya ganti lagi dengan Wang Buliau,” kata Fajar.

Fajar biasa hidup dengan tantangan. Ketika memproduksi sepatu wanita ia bertekad harus bisa mengalahkan kualitas sepatu produksi kakaknya. Ia begitu sakit hati kenapa hanya kakaknya yang dapat perhatian lebih dari papanya. Setiap kali usaha ia harus sukses. Ia ingin menunjukkan kepada papanya siapa yang seharusnya lebih diperhatikan.

Kini Fajar sudah 67 tahun. Tanpa istri. Ayahnya sudah meninggal. Pun mama dan kakaknya. Tapi hati bajanya tidak pernah tua. (Dahlan Iskan)

Anda sudah tahu: wang buliau artinya ‘tak terlupakan’. Tapi Malaysia mengubah itu menjadi nama ikan. Saking enaknya. Seperti halnya durian luwak. Saking enaknya di Malaysia dipopulerkan dengan nama musang king.

Saya diajak makan ‘Wang Buliau’ Rabu malam lalu. Di malam takbiran. Makannya di sebuah restoran bintang lima, di lantai enam, Surabaya.

Resto ini tidak punya menu ‘Wang Buliau’ tapi ‘dipaksa’ memasaknya. Caranya: teman saya itu, Pak Tirto, minta temannya untuk membawa ‘Wang Buliau’ hidup ke resto. Lalu menyerahkan ikan itu ke chef. Si Chef yang memutuskan dimasak apa.

Si temannya teman itu bernama Chen. Tan. Fajar Surya. Ia satu-satunya yang punya ikan jenis itu: memeliharanya sendiri. Tan kenal banyak chef terkemuka di banyak kota. Kali ini chef yang berasal dari Pahang, Malaysia.

“Pak Dahlan pernah ke Pahang?” tanyanya.

“Pernah”.

“Kapan?” tanyanya lagi.

“Waktu diajak teman saya dari Singapura ke sana khusus untuk makan kwetiau,” jawab saya.

Tan sudah tahu Wang Buliau yang ia bawa akan dimasak apa. Ia tahu chef di situ punya keunggulan apa saja.

Dimasak tim.

Dadanya dibelah. Isi perutnya dibuang. Ketika ditaruh di piring besar, posisi punggung di atas. Daging perutnya direntang ke kanan dan ke kiri.

Saya berdiri. Daging perut itulah yang saya incar. Saya potong-potong. Saya sajikan ke Pak Tirto. Lalu ke Fajar. Ke Liong. Ke sebelah Pak Tirto. Dan ke semua orang yang mengelilingi meja makan itu: 12 orang. Terakhir ke piring saya.

Meja makan memang untuk 10 orang. Tapi dua orang teman membawa pasangan. Saya menyesal tidak mengajak istri. Saya tahu tim ikan seperti itu adalah kesukaan istri saya – -rasanya melebihi sukanyi pada saya.

Satu ikan cukup untuk 12 orang?

 

Tidak. Wang Buliau-nya ada dua ekor. Dua piring besar. Maka ketika membagi itu saya hati-hati. Jangan hanya dibagi 12. Harus bisa dibagi menjadi 13. Saya akan bermata gelap: potongan ke 13 akan saya minta dibungkus. Dibawa pulang.

Tentu kepala ikannya saya tinggal di piring. Tahu bahwa potongan ke 13 itu untuk istri di rumah, Pak Tirto maksa agar kepala itu pun diikutkan dalam bungkusan. Dalam hati saya memuji Tuhan: alangkah bergairahnya istri saya nanti membuka bungkusan itu.

Saya sengaja tidak mau menuliskan di sini seperti apa rasa ikan itu. Betapa enaknya. Yang jelas lebih enak dari ikan langka yang ada di Yangzhong, Provinsi Jiangshu. Yang satu ekor Rp 5 juta itu. Yang hanya ada di dua minggu dalam setahun. Yang saya makan akhir April lalu.

Baca Juga :  Anshor Laris

Wang Buliau ini tidak kalah mahal. Satu ekor yang di meja makan itu seharga Rp 6 juta. Mirip dengan yang di Yangzhou, tulangnya juga banyak. Panjang-panjang. Tidak bahaya.

Chef tahu bahwa ikan ini mahal. Maka ia harus memaksimalkannya: tulangnya untuk sop. Disajikan yang pertama. Untuk membuka selera. Sop tulang ikan Wang Buliau. Di tulang itu masih sedikit menempel daging-dagingnya. Enak untuk diisap-isap di mulut.

Lalu kulit bagian luarnya, sisiknya, digoreng kering. Entah dicampur apa. Enak sekali. Kriuk-kriuk. Untuk bisa mengambil sisik itu ikannya direbus dulu. Sisiknya bisa lepas dengan mudah.

Mengapa Wang Buliau begitu mahal? Mengapa tidak banyak yang menternakkannya?

“Siapa yang mau,” ujar Fajar. “Saya saja yang bodoh,” tambahnya.

Tentu Fajar tidak bodoh. Hanya hatinya yang teguh. Ngotot. Campur hobi. Dan yang penting: modalnya kuat.

Untuk memelihara Wang Buliau sampai sebesar yang di meja makan itu diperlukan waktu, ups, tujuh tahun. Siapa yang kuat menahan cash flow begitu lama.

Memelihara sapi saja hanya dua tahun. Lele bisa panen hanya dalam 3 bulan.

Fajar beda. Prinsip hidupnya: harus melakukan yang orang lain tidak bisa melakukan.

Ketika umur 28 tahun Fajar sudah beternak ikan Koi. Masih sangat langka ketika itu: 40 tahun lalu.

Masih sangat mahal.

Ia pindah ke Wang Buliau sejak Koi sudah tidak eksklusif lagi. Sudah menjadi pasaran. Harganya pun sudah sangat jatuh. Memelihara Koi tidak bergengsi lagi.

Sebelum Koi pun Fajar melakukan pekerjaan yang sulit: membuat sepatu wanita. Sampai menguasai pasar kelas atas. Mengenakan sepatunya meningkatkan gengsi si wanita. Hak paling tinggi yang pernah ia buat: 9 cm.

Di samping memelihara Wang Buliau, Fajar juga memproduksi nanas limited edition. Di Blitar. Nanas Blitar memang terkenal manisnya. Tapi salah satu bidang tanah di Blitar adalah tanah pilihannya.

Ia punya cara tersendiri untuk menanam nanas istimewa. Lama: 1,5 tahun baru panen. Merknya: Ananas. Manisnya justru di bagian tengahnya. Renyah pula. Kalau Anda biasa membuang bagian tengahnya itu, jangan lakukan untuk Ananas.

“Di mana bisa beli?” tanya saya.

Fajar menyebut salah satu nama supermarket. “Tapi sekarang lagi kosong,” katanya.

Pun Wang Buliau. Tidak selalu ada. Apalagi kalau dalam jumlah banyak. Harus memesan dulu tiga bulan sebelumnya.

Baca Juga :  Godaan Oksigen

Begitu khususkah?

“Sebelum dijual saya perlakukan secara khusus,” kata Fajar.

“Makanannya saya ubah,” tambahnya.

Selama tujuh tahun ikan itu ia beri makanan ikan biasa. Tiga bulan sebelum dijual hanya diberi makan kelapa tua. Kelapa itu diparut besar-besar. Dicampur berbagai macam buah. Dari situlah salah satu sumbernya: mengapa rasanya istimewa.

Saya pun ingat kepiting Kenari dari Palu atau Gorontalo. Kepiting Kenari suka naik pohon kelapa. Menjadi musuh petani kelapa. Maka kepiting Kenari sangat istimewa: yang asli.

Saya juga ingat ikan Patin sungai Mahakam. Betapa enaknya. Duluuuuu. Ketika Mahakam masih belum jadi jalan tol untuk angkutan kayu dan batu bara. Ketika masih banyak pohon buah bolok di pinggir-pinggirnya.

Patin Mahakam memakan buah bolok itu. Manusia menjauhinya. Yakni buah yang sudah masak. Yang jatuh ke sungai.

Sayang lagu daerah Kutai yang terkenal, Buah Bolok, hanya menceritakan ‘dibuang sayang’. Dengarkan sendiri di YouTube. Istri saya suka menyanyikannya. Tidak ada lirik yang menghubungkannya dengan kenyamanan rasa Patin Mahakam.

Fajar memang tidak pernah kesusu untuk kendapat uang. Yang penting hatinya senang. Sampai sekarang pun, di umur 67 tahun, ia masih tinggal di komplek peternakan ikannya itu. Di Semolowaru Surabaya.

Ia masih memberi makan ikan-kannya. Menangkapnya. Ia lagi fokus bagaimana bisa membuat Wang Buliau punya banyak warna. Agar di samping jadi makanan elit juga busa jadi ikan hias langka.

Cita-cita Fajar yang lain: menciptakan kebanggan bagi orang yang mampu mengadakan pesta dengan sajian Wang Buliau.

 

Ia tahu zaman selalu berubah. Tapi kesukaan makan tidak pernah berubah. Orang selalu bangga kalau bisa makan menu yang sangat bergengsi. Antara lain karena mahalnya.

Tahun 1960-an, gengsi tertinggi kalau di pestanya disajikan gurami asam manis. “Tahun 1980-an gurami asam manis sudah dianggap biasa. Ganti hisit,” katanya.

Tahun 1990-an yang bergensi bukan lagi hisit. Ganti ‘bau yu’. Atau juga disebut abalon. “Sudah waktunya ganti lagi dengan Wang Buliau,” kata Fajar.

Fajar biasa hidup dengan tantangan. Ketika memproduksi sepatu wanita ia bertekad harus bisa mengalahkan kualitas sepatu produksi kakaknya. Ia begitu sakit hati kenapa hanya kakaknya yang dapat perhatian lebih dari papanya. Setiap kali usaha ia harus sukses. Ia ingin menunjukkan kepada papanya siapa yang seharusnya lebih diperhatikan.

Kini Fajar sudah 67 tahun. Tanpa istri. Ayahnya sudah meninggal. Pun mama dan kakaknya. Tapi hati bajanya tidak pernah tua. (Dahlan Iskan)

Terpopuler

Artikel Terbaru