31.7 C
Jakarta
Saturday, April 20, 2024

Tebak-tebakan Menikah

KAPAN pandemi Covid-19 berakhir? Tak bisa ditebak. Apa hal-hal yang
bisa terjadi jika pernikahan ditunda-tunda? Tak bisa ditebak juga. Maka itu,
bagi sejoli yang sudah ngedot sekali
menikah di masa pandemi ini, sebaiknya segeralah menikah. Karena, ya, itu tadi.
Jika menunggu pandemi berakhir, tak ada yang tahu kapan pandemi usai.

Di sisi lain, tak ada juga yang
bisa menebak-nebak apa yang mungkin bisa terjadi jika upacara pawiwahan ditunda-tunda di tengah dewasa
ayu yang datang dan pergi silih-berganti.

Saya ingat pada awal-awal masa
pandemi. Pada April atau Mei, usai masa uncal
balung
, usai Hari Galungan dan Kuningan, terdapat banyak dewasa ayu untuk
menikah. Saya sempat menghitung, setidaknya terdapat lima dewasa ayu, dewasa
paling baik, yang bisa jadi pilihan bagi pasangan teruna-teruni Bali yang
saling mencinta untuk menikah.

Salah satunya, 10 April 2020.
Pada hari itu, Jumat atau Sukra, Umanis, Beteng, Wuku Merakih, Ingkel
Buku, Sasih Kadasa, pangelong
3. Menurut para tetua, hari itu termasuk
dewasa ayu terbaik di bulan April, sehingga hari itu jadi rebutan bagi pasangan
pengantin untuk dijadikan hari penting demi bisa memulai hidup baru mereka.
Jika tak bisa mendapatkan dewasa ayu pada 10 April, maka pernikahan bisa
diundur sepuluh hari lagi menjadi, Senin 20 April. Hari itu termasuk dewasa
yang ayu juga. Kombinasinya adalah Soma,
Umanis, Kajeng, Wuku Medangkungan, Ingkel Sato, Sasih Kadasa, pangelong 13
.
Selain dua jenis hari yang dianggap baik itu, sampai Mei setidaknya ada tiga
lagi hari baik untuk menikah.

Jauh-jauh hari pasangan calon
pengantin sudah berebut untuk memilih hari-hari yang dianggap baik itu, agar
pernikahan mereka benar-benar legitimate secara skala maupun niskala. Jika hari
pernikahan sudah baik secara tradisi, budaya, apalagi agama, maka malam pertama
pun terasa sangat resmi dan sah, juga sangat sakral, meski misalnya ranjang dan
kasur sesungguhnya sudah tak baru lagi, alias sudah sampai lepek akibat
berkali-kali digunakan.

Hari baik tetapkan hari baik.
Sebelum pandemi melanda, para pasangan pengantin, terutama para orang tua
mereka yang paham dan sangat percaya soal-soal hari baik, dewasa ayu yang
paling ayu pastilah jadi rebutan. Dalam satu desa adat, biasa terdapat tiga
pasangan yang menikah. Pada hari baik, seseorang biasanya mendapatkan lebih
dari lima lembar undangan dengan tempat upacara yang berbeda-beda dan
berjauhan.

Baca Juga :  Cara Ibnu Sina Menghadapi Orang Bodoh

Ya, itu kalau hari-hari aman.
Pada hari-hari aman dan makmur, jalanan akan macet pada hari-hari yang
bertepatan dengan lima dewasa ayu itu. Sejumlah jalan ditutup dengan tulisan
besar: Upacara Adat”. Persimpangan-persimpangan akan krodit, karena banyak para
undangan harus mencari jalan alternatif. Yang dari Gianyar kundangan ke
Tabanan, yang dari Jembrana kundangan ke Klungkung, yang dari Denpasar ke
Singaraja, yang dari Tabanan ke Badung, pokoknya pastilah para undangan
sliwar-sliwer di jalanan. Apalagi kalau satu orang atau satu keluarga atau satu
rombongan dapat undangan lima dalam sehari.

Warga desa adat pun sibuk
masepuk. Jika dalam satu desat adat terdapat tiga saja upacara pernikahan, maka
jalan-jalan desa itu akan jadi ramai. Warga adat yang ngayah, warga adat yang ngejot,
dan tamu undangan bisa berbaur jadi satu. Pecalang pun sibuk ngatur parkir tamu
undangan yang rata-rata membawa mobil mewah.

Namun,April dan Mei, adalah
bulan-bulan paling panik di masa pandemi. Rasa cemas dan takut bercampur dengan
ketidaktahuan. Muncul banyak wacana, diksi, dan kata-kata seperti gumam tak
jelas. Muncul imbauan, tapi nadanya terdengar seperti perintah. Banyak ada
saran, tapi nadanya terdengar seperti ancaman.

Maka, menikah pada saat itu, bukanlah
pilihan yang aman. Apalagi, di Bali, menikah bukan sekadar pertemuan seorang
lelaki dewasa dan perempuan dewasa, melainkan juga pertemuan antara keluarga,
teman, sahabat dan warga adat, yang jumlahnya bisa ratusan, bahkan ribuan
orang.

Untuk itulah, di awal-awal masa
pandemi, keramaian di jalan yang biasa terjadi pada hari-hari aman dan makmur,
misalnya jalanan macet pada hari-hari yang bertepatan dengan dewasa ayu
pernikahan, tidak terlihat lagi. Tak ada jalan ditutup dengan tulisan besar:
Upacara Adat”. Persimpangan-persimpangan tak krodit, karena tak banyak orang
Tabanan kondangan ke Jembrana, tak ada warga Buleleng kundangan ke Nusa Dua.

Akibat penerapan protokol jaga
jarak pada masa-masa awal merebaknya Covid-19 alias virus korona, pernikahan dengan
upacara besar-besaran, apalagi dengan resepsi yang menghadirkan ratusan atau
ribuan undangan harus dihindari, siapa pun calon pengantinnya, anak pejabat,
orang biasa, atau orang super kaya. 

Baca Juga :  Mencipta Ruang Gerak Kreasi Pemuda dan Seutas Harapan Himpunan Pemuda

Pada akhir bulan Oktober dan
masa-masa November 2020 ini, mungkin juga untuk bulan-bulan berikutnya, dewasa
ayu untuk menikah tampaknya tak perlu disia-siakan lagi. Mobil pengantin dengan
hiasan tebu dan kain tipis menjuantai di spion kiri-kanan sudah tampak
berseliweran di jalan. Itu artinya, jadwal pernikahan sudah lancar, tak perlu
ditunda lagi, terutama untuk teruna dengan usia rawan yang sudah sejak
bertahun-tahun melakukan penundaan.

Seorang teman, usianya sudah mau
30 tahun. Ia berkali-kali menunda pernikahan. Salah satu sebab, ya, itu, memang
susah dapat pacar. Beberapa bulan lalu, ia dapat pacar. Bukan sekadar pacar,
tapi pacar yang siap menikah luar-dalam. Maka, saat pacar sudah ada, tak ada
lagi yang bisa menghalangi jalan dia untuk melenggang ke pelaminan, bahkan
pandemi pun bukan lagi halangan. Sebab, jika ditunda-tunda, usia bakal terus
bertambah seperti pelajaran berhitung di SD kelas satu; 30, 31, 32, apalagi
sampai 40. Jika sudah sampai 40, tak ada yang bisa menjamin sang pacar tidak
akan berubah pikiran.

Ngomong-ngomong, ternyata si
teman sudah sempat menunda hari bahagia di awal-awal masa pandemi, April lalu.
Saat itu, menikah memang tak dilarang, namun diimbau untuk tak menggelar
resepsi, apalagi mengundang banyak orang. Akibatnya, si teman putuskan menunda.
“Menikah hanya sekali, jika tak disaksikan banyak orang, sungguh sangat hampa
rasanya!” kata si teman saat itu. Ia memang orang yang amat romantis dan
sentimentil.

Akhir Oktober ini ia putuskan
menikah, meskipun tetap tak mengundang banyak teman. “Jika misalnya ada yang
bisa memastikan pandemi berakhir Oktober 2021, saya akan tunda menikah sampai
Oktober 2021, meski harus setahun menahan malam pertama yang resmi dan sah!”
ujarnya sambil tertawa. “Jika pandemi belum pasti, hidup kita harus dirancang
dengan pasti,” lanjutnya, masih dengan tertawa.

Mari kutip kalimat si teman
dengan sedikit variasi; Jika pandemi belum pasti, peraturan untuk membantu
warga dan jumlah bantuan kepada warga haruslah pasti. Artinya, harus pasti bisa
membantu warga, bukan hanya seakan-akan membantu warga.

KAPAN pandemi Covid-19 berakhir? Tak bisa ditebak. Apa hal-hal yang
bisa terjadi jika pernikahan ditunda-tunda? Tak bisa ditebak juga. Maka itu,
bagi sejoli yang sudah ngedot sekali
menikah di masa pandemi ini, sebaiknya segeralah menikah. Karena, ya, itu tadi.
Jika menunggu pandemi berakhir, tak ada yang tahu kapan pandemi usai.

Di sisi lain, tak ada juga yang
bisa menebak-nebak apa yang mungkin bisa terjadi jika upacara pawiwahan ditunda-tunda di tengah dewasa
ayu yang datang dan pergi silih-berganti.

Saya ingat pada awal-awal masa
pandemi. Pada April atau Mei, usai masa uncal
balung
, usai Hari Galungan dan Kuningan, terdapat banyak dewasa ayu untuk
menikah. Saya sempat menghitung, setidaknya terdapat lima dewasa ayu, dewasa
paling baik, yang bisa jadi pilihan bagi pasangan teruna-teruni Bali yang
saling mencinta untuk menikah.

Salah satunya, 10 April 2020.
Pada hari itu, Jumat atau Sukra, Umanis, Beteng, Wuku Merakih, Ingkel
Buku, Sasih Kadasa, pangelong
3. Menurut para tetua, hari itu termasuk
dewasa ayu terbaik di bulan April, sehingga hari itu jadi rebutan bagi pasangan
pengantin untuk dijadikan hari penting demi bisa memulai hidup baru mereka.
Jika tak bisa mendapatkan dewasa ayu pada 10 April, maka pernikahan bisa
diundur sepuluh hari lagi menjadi, Senin 20 April. Hari itu termasuk dewasa
yang ayu juga. Kombinasinya adalah Soma,
Umanis, Kajeng, Wuku Medangkungan, Ingkel Sato, Sasih Kadasa, pangelong 13
.
Selain dua jenis hari yang dianggap baik itu, sampai Mei setidaknya ada tiga
lagi hari baik untuk menikah.

Jauh-jauh hari pasangan calon
pengantin sudah berebut untuk memilih hari-hari yang dianggap baik itu, agar
pernikahan mereka benar-benar legitimate secara skala maupun niskala. Jika hari
pernikahan sudah baik secara tradisi, budaya, apalagi agama, maka malam pertama
pun terasa sangat resmi dan sah, juga sangat sakral, meski misalnya ranjang dan
kasur sesungguhnya sudah tak baru lagi, alias sudah sampai lepek akibat
berkali-kali digunakan.

Hari baik tetapkan hari baik.
Sebelum pandemi melanda, para pasangan pengantin, terutama para orang tua
mereka yang paham dan sangat percaya soal-soal hari baik, dewasa ayu yang
paling ayu pastilah jadi rebutan. Dalam satu desa adat, biasa terdapat tiga
pasangan yang menikah. Pada hari baik, seseorang biasanya mendapatkan lebih
dari lima lembar undangan dengan tempat upacara yang berbeda-beda dan
berjauhan.

Baca Juga :  Cara Ibnu Sina Menghadapi Orang Bodoh

Ya, itu kalau hari-hari aman.
Pada hari-hari aman dan makmur, jalanan akan macet pada hari-hari yang
bertepatan dengan lima dewasa ayu itu. Sejumlah jalan ditutup dengan tulisan
besar: Upacara Adat”. Persimpangan-persimpangan akan krodit, karena banyak para
undangan harus mencari jalan alternatif. Yang dari Gianyar kundangan ke
Tabanan, yang dari Jembrana kundangan ke Klungkung, yang dari Denpasar ke
Singaraja, yang dari Tabanan ke Badung, pokoknya pastilah para undangan
sliwar-sliwer di jalanan. Apalagi kalau satu orang atau satu keluarga atau satu
rombongan dapat undangan lima dalam sehari.

Warga desa adat pun sibuk
masepuk. Jika dalam satu desat adat terdapat tiga saja upacara pernikahan, maka
jalan-jalan desa itu akan jadi ramai. Warga adat yang ngayah, warga adat yang ngejot,
dan tamu undangan bisa berbaur jadi satu. Pecalang pun sibuk ngatur parkir tamu
undangan yang rata-rata membawa mobil mewah.

Namun,April dan Mei, adalah
bulan-bulan paling panik di masa pandemi. Rasa cemas dan takut bercampur dengan
ketidaktahuan. Muncul banyak wacana, diksi, dan kata-kata seperti gumam tak
jelas. Muncul imbauan, tapi nadanya terdengar seperti perintah. Banyak ada
saran, tapi nadanya terdengar seperti ancaman.

Maka, menikah pada saat itu, bukanlah
pilihan yang aman. Apalagi, di Bali, menikah bukan sekadar pertemuan seorang
lelaki dewasa dan perempuan dewasa, melainkan juga pertemuan antara keluarga,
teman, sahabat dan warga adat, yang jumlahnya bisa ratusan, bahkan ribuan
orang.

Untuk itulah, di awal-awal masa
pandemi, keramaian di jalan yang biasa terjadi pada hari-hari aman dan makmur,
misalnya jalanan macet pada hari-hari yang bertepatan dengan dewasa ayu
pernikahan, tidak terlihat lagi. Tak ada jalan ditutup dengan tulisan besar:
Upacara Adat”. Persimpangan-persimpangan tak krodit, karena tak banyak orang
Tabanan kondangan ke Jembrana, tak ada warga Buleleng kundangan ke Nusa Dua.

Akibat penerapan protokol jaga
jarak pada masa-masa awal merebaknya Covid-19 alias virus korona, pernikahan dengan
upacara besar-besaran, apalagi dengan resepsi yang menghadirkan ratusan atau
ribuan undangan harus dihindari, siapa pun calon pengantinnya, anak pejabat,
orang biasa, atau orang super kaya. 

Baca Juga :  Mencipta Ruang Gerak Kreasi Pemuda dan Seutas Harapan Himpunan Pemuda

Pada akhir bulan Oktober dan
masa-masa November 2020 ini, mungkin juga untuk bulan-bulan berikutnya, dewasa
ayu untuk menikah tampaknya tak perlu disia-siakan lagi. Mobil pengantin dengan
hiasan tebu dan kain tipis menjuantai di spion kiri-kanan sudah tampak
berseliweran di jalan. Itu artinya, jadwal pernikahan sudah lancar, tak perlu
ditunda lagi, terutama untuk teruna dengan usia rawan yang sudah sejak
bertahun-tahun melakukan penundaan.

Seorang teman, usianya sudah mau
30 tahun. Ia berkali-kali menunda pernikahan. Salah satu sebab, ya, itu, memang
susah dapat pacar. Beberapa bulan lalu, ia dapat pacar. Bukan sekadar pacar,
tapi pacar yang siap menikah luar-dalam. Maka, saat pacar sudah ada, tak ada
lagi yang bisa menghalangi jalan dia untuk melenggang ke pelaminan, bahkan
pandemi pun bukan lagi halangan. Sebab, jika ditunda-tunda, usia bakal terus
bertambah seperti pelajaran berhitung di SD kelas satu; 30, 31, 32, apalagi
sampai 40. Jika sudah sampai 40, tak ada yang bisa menjamin sang pacar tidak
akan berubah pikiran.

Ngomong-ngomong, ternyata si
teman sudah sempat menunda hari bahagia di awal-awal masa pandemi, April lalu.
Saat itu, menikah memang tak dilarang, namun diimbau untuk tak menggelar
resepsi, apalagi mengundang banyak orang. Akibatnya, si teman putuskan menunda.
“Menikah hanya sekali, jika tak disaksikan banyak orang, sungguh sangat hampa
rasanya!” kata si teman saat itu. Ia memang orang yang amat romantis dan
sentimentil.

Akhir Oktober ini ia putuskan
menikah, meskipun tetap tak mengundang banyak teman. “Jika misalnya ada yang
bisa memastikan pandemi berakhir Oktober 2021, saya akan tunda menikah sampai
Oktober 2021, meski harus setahun menahan malam pertama yang resmi dan sah!”
ujarnya sambil tertawa. “Jika pandemi belum pasti, hidup kita harus dirancang
dengan pasti,” lanjutnya, masih dengan tertawa.

Mari kutip kalimat si teman
dengan sedikit variasi; Jika pandemi belum pasti, peraturan untuk membantu
warga dan jumlah bantuan kepada warga haruslah pasti. Artinya, harus pasti bisa
membantu warga, bukan hanya seakan-akan membantu warga.

Terpopuler

Artikel Terbaru