30 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Dari Unta, Berganti Sapi hingga Sepeda

PROKALTENG.CO – Seorang teman, sebut saja namanya Rendy, sebelumnya
sibuk bisnis umrah dan haji. Kini, dia harus menyesuaikan diri. Kapan umrah
dibuka, masih menanti pasti.

Haji tahun ini sudah dibuka.
Walau terbatas hanya mereka yang sudah tinggal di Saudi Arabia. Setidaknya,
arah bisnis umrah sedikit ada cahaya terang, walau tak jelas kapan.

Tapi Rendy tetap butuh berusaha.
Memang, uang tak dibawa mati. Tapi kalau tidak ada uang, bisa setengah mati.

Dulu, umrahnya dibalut dengan
wisata. Bisa mampir ke Mesir, Jordan, atau Palestina. Ya, agar jamaah bisa
merasakan naik unta.

Kini, dia banting setir. Dari
jualan unta, sekarang berganti sapi. Maklum, mendekati hari raya Idul Adha di
akhir Juli ini, bisnis ternak kurban bisa jadi sampingan.

Rendy pun kembali menekuni bisnis
lamanya. Jadi importir. Melihat animo orang berolahraga dan bersepeda, dia pun
sudah berencana mengimpor sepeda dari China.

Harga bersaing, dan merk juga
terhitung keren. Sudah mulai dijual pre order di media sosialnya. Anak muda
yang satu ini, memang seng ada lawan.

Selalu liat bekerja serta
trenginas mencari uang. Sayang, belum punya pacar. Entah, apakah anak muda kaya
raya itu, selalu susah meletakkan hati.

Itu cerita Rendy. Namun, ada
cerita lain dari teman yang sama berbisnis umrah. Dia, kini, pulang ke Bandung.
Hanya menanti, sambil berhitung kapan kran umrah dibuka lagi.

Kesibukannya tiap pagi ke pasar.
Berbelanja kebutuhan sehari-hari. “Sama jual aset buat menyambung
hidup,” ungkap lulusan Gontor ini sambil tertawa.

Saat mendengar nada tawanya itu,
saya gembira. Saya yakin, asetnya masih banyak. Sehingga dia belum terpikir
untuk bikin usaha sampingan.

Yang pasti, pertempuran panjang
dengan Covid-19 tampaknya masih akan terjadi. Hasilnya masih berupa
ketidakpastian. Karena sebelum adanya vaksin, semua kemungkinan masih terjadi.

Johns Hopkins University of
Medicine, melalui situsnya: coronavirus.jhu.edu melansir data terbaru.
Tercatat, pada Minggu, 28 Juni 2020, pukul 17.24 WIB, pasien konfirmasi positif
corona di dunia mencapai 10.001.527 kasus. Sementara, angka kesembuhan mencapai
5.065.869 orang.

Amerika Serikat memuncaki
peringkat kasus positif, totalnya 2.510.323 orang. Brasil menyusul diperingkat
kedua dengan 1.313.667 orang. Lantas, ada Rusia diperingkat tiga sebanyak
633.542 kasus.

Melihat deretan angka itu, tiap
negara sudah selayaknya berjibaku. Bekerja keras. Untuk memastikan bagaimana
ekonomi tetap terselamatkan, dan kurva penderita Covid 19 tidak menaik. Pusing?
Tentu saja.

Yang dibutuhkan tentu saja
kebijakan yang luar biasa dari semua pemimpin negara. Juga para pembantunya.
Mau itu kebijakan yang out of box atau without box.

Tak heran Presiden Joko Widodo
makin bersuara lantang kepada para menterinya. Dalam rapat kabinet pada 18 Juni
lalu, agar mereka bekerja lebih keras. “Sekali lagi, ini tolong
betul-betul dirasakan semuanya,” tegas mantan Walikota Solo ini

Bahkan, dengan tutur gemetar
dengan bahasa tubuh memendam kemarahan, pilihan opsi perombakan kabinet akan
diambil. “Udah kepikiran kemana-mana saya,” tambah mantan Gubernur
DKI Jakarta ini.

Baca Juga :  Awas, Kebiasaan Menggigit Kuku Berdampak Mengerikan

Tentu saja, di sisi lain, grafik
penderita Covid-19 di beberapa propinsi naik. Bisa jadi, karena ada relaksasi
PSBB. Pergerakan masyarakat dan aktifitas naik. Namun warga masyarakat tidak
ketat melaksanakan protokol kesehatan.

Grafik pasien yang naik itu
sempat pula membuat saya pusing. Saya Akhirnya Memilih mengikuti tes PCR
(polymerase chain reaction). Di sebuah rumah sakit swasta di Kota Bogor. Untuk
memastikan saya reaktif atau negatif Covid-19.

Ceritanya begini. Pemkot Bogor
mengumumkan ada potensi cluster baru. Tepatnya di toko Mitra 10, Jalan Soleh
Iskandar Kota Bogor. Ditemukan tiga karyawannya yang positif Covid-19.

Padahal, seminggu sebelum
pengumuman itu, saya dan istri belanja ke sana. Itu pun, belanja ke dua.
Sepuluh hari sebelumnya, saya dan istri juga belanja ke sana.

Saat belanja, tentu protokol Covid-19
sudah kami terapkan. Pakai masker wajah. Lantas menjaga jarak. Juga cuci tangan
sebelum masuk dan setelah mau keluar toko.

Bahkan, sampai rumah, kami
langsung mandi dan berganti pakaian baru. Karena begitu, sosialisasi dari
pemerintah. Jadi, kami mengikuti saja.

Walau semua aturan sudah
dilakukan, tentu, kami tetap was-was. Apakah kemungkinan tertular atau tidak.
Memang, kami tidak merasakan simptom pendemi ini.

Sambil berpikir, kami mencoba
mencari beragam informasi tambahan. Sempat kepikiran, untuk vaksin polio saja.
Sebab, ada liputan di CNN, yang mengabarkan vaksin polio termasuk jadi
alternatif.

Selain vaksin sudah terbukti,
banyak yang menyediakan, juga harganya murah. Vaksin polio terbukti mampu
memperkuat imun, termasuk memperkuat kekebalan dalam melawan beragam virus
influenza. Dalam liputan itu dikutip pendapat beberapa pakar.

Namun, pilihan itu urung juga
kami ambil. Istri memilih untuk melakukan test saja. Untuk memastikan apakah
kita terpapar atau tidak. “Ayo tes PCR saja kita,” ungkap istri
cemas.

Akhirnya, saya pun mencari rumah
sakit yang ada fasilitas PCR. Awalnya mau ke RSUD Kota Bogor. Tapi, pilihan ini
kami kesampingkan.

Pokok soal, ada seorang teman
yang dokter tak merekomendasikannya. “RSUD itu, pusat penangganan. Pasti
banyak pasien. Salah-salah, bisa tertular,” sarannya panjang lebar.

Tentu, kami mengikuti saran dari
ahlinya. Ada beberapa rumah sakit swasta yang menawarkan test itu. Baik yang
model drive thru atau masuk ke lab rumah sakitnya.

Memang, pemberitaan itu, membuat
kami harus berjaga jarak dengan anak-anak. Tak berani memeluk atau menciumi
mereka. Bikin cemas saja.

Akhirnya kami memilih test di lab
saja. Siang hari setelah muncul pemberitaan itu, malamnya kami bergegas ke
rumah sakit. Rencananya, saya dan istri saja yang test.

Kalau nanti hasilnya reaktif,
baru kami akan mengetes anggota keluarga lainnya. Baik kedua buah hati kami,
juga para asisten di rumah. Setidaknya, kita harus bikin sample pertama saja.

Malam itu, rumah sakit terlihat
ramai. Sebelum masuk, juga di tes temperatur. Cuci tangan. Tetap jaga jarak.

“Biayanya Rp550 ribu,”
jawab petugas pendaftaran. Setelah selesai urusan pendaftaran dan pembayaran,
kami bergeser ke laboratorium. Memang, tes PCR ini pemeriksaan laboratorium
guna mendeteksi material generik dari sel, bakteri, dan virus.

Baca Juga :  Mendiamkan Kezaliman

Saat membuka pintu lab, seorang
petugasnya sudah tampak berjaga. Pakai APD lengkap. Lantas, dengan sigap
mengambil sample darah di lengan kanan. Prosesnya cepat. Tak lebih dari lima
menit.

“Hasilnya satu jam
lagi,” terangnya. Namun, mereka juga menawarkan bisa mengirimkan hasilnya,
bila malas menunggu. “Kami kirim lewat email,” sambungnya.

Kami pun segera pulang.
Melanjutkan aktifitas seperti biasa. Namun, istri yang tetap panik. Berulang kali
mengecek email, memastikan apakah sudah ada kiriman email dari rumah sakit.

Tak berapa lama, yang dinanti pun
tiba. “Sudah masuk ini emailnya,” seru istri, saat saya sedang
membaca buku.

“Bagaimana hasilnya?”
tanya saya.

“Alhamdulillah,
negatif,” jawabnya.

Anak-anak yang mendengar ucapan
ibunya, berteriak riang. Lantas mengambur ke arah kami. Minta dipeluk dan
dicium.

Memang urusan tes-tes ini selalu
banyak ragam. Banyak cerita. Seorang teman, juga berbagi pengalamannya, saat
menyemput anaknya di Malang, Jawa Timur.

Sebelum berangkat ke Malang,
bersama istrinya dia test PCR di Cibubur, Jakarta. “Biayanya Rp450
ribu,” ungkapnya. Hasilnya negatif.

Tenang hatinya. Surat itu
dibawanya dalam perjalanan ke Malang. Mereka memilih jalan darat. Membawa mobil,
sekalian bertamasya.

Namun, saat sampai Malang, lain
ceritanya. Petugas ternyata tidak begitu saja mempercayai surat keterangan dari
rumah sakit di Cibubur itu. Dia dan istri, diminta untuk test PCR lagi.

Alhasil, dia harus merogoh
koceknya lebih dalam lagi. “Di Malang, kena Rp1 juta buat test PCR,”
terangnya sambil tertawa. Mau bagaimana lagi, karena permintaan petugas,
akhirnya harus dituruti.

Urusan melakukan test PCR ini,
memang jadi sarana paling penting untuk bertarung melawan Covid 19. Mantranya
ada tiga: trace, test, treat. Bila ketemu yang positif dilacak, dites, diobati.

Tapi sekali lagi, ini membutuhkan
biaya yang mahal. Seperti pengalaman saya, untuk tes seorang harus bayar Rp550
ribu. Kalikan dengan jumlah 267 juta jiwa warga Indonesia, kalau pemerintah mau
melakukan tes masal. Memang ada beberapa metodologi agar murah, dengan sample
misalnya.

Oh ya, hampir lupa, bagaimana
jumlah kasus corona di Indonesia? Sebagaimana dilansir BNPB, jumlah kasus
positif pada hari Minggu, 28 Juni 2020, mencapai 54.010. Jumlah pasien yang
sembuh sebanyak 22.936. Sedangkan pasien meninggal dunia, tercatat 2.754 orang.

Ada laporan juga beberapa
propinsi yang grafiknya meninggi. Memang, keterbukaan data atas penangganan
Covid-19 juga penting. Sebagai sarana pengingat kita, wabah ini masih terus
bersama.

Namun, alangkah pentingnya juga,
kalau ada laporan rutin dari para menteri. Semisal, kegiatan tindak lanjut dan
status program penangganan pendemi ini. Baik urusan penyelamatan nyawa juga
inisiatif penyelamatan ekonomi yang terstruktur dan masif.

Kalau pendekatannya masih
biasa-biasa saja, mohon maaf, harap diingat pesan Pak Presiden, harus siap
direshuffle sepertinya.

(penulis adalah kolomnis “Ujar
Ajar” di ngopibareng.id)

PROKALTENG.CO – Seorang teman, sebut saja namanya Rendy, sebelumnya
sibuk bisnis umrah dan haji. Kini, dia harus menyesuaikan diri. Kapan umrah
dibuka, masih menanti pasti.

Haji tahun ini sudah dibuka.
Walau terbatas hanya mereka yang sudah tinggal di Saudi Arabia. Setidaknya,
arah bisnis umrah sedikit ada cahaya terang, walau tak jelas kapan.

Tapi Rendy tetap butuh berusaha.
Memang, uang tak dibawa mati. Tapi kalau tidak ada uang, bisa setengah mati.

Dulu, umrahnya dibalut dengan
wisata. Bisa mampir ke Mesir, Jordan, atau Palestina. Ya, agar jamaah bisa
merasakan naik unta.

Kini, dia banting setir. Dari
jualan unta, sekarang berganti sapi. Maklum, mendekati hari raya Idul Adha di
akhir Juli ini, bisnis ternak kurban bisa jadi sampingan.

Rendy pun kembali menekuni bisnis
lamanya. Jadi importir. Melihat animo orang berolahraga dan bersepeda, dia pun
sudah berencana mengimpor sepeda dari China.

Harga bersaing, dan merk juga
terhitung keren. Sudah mulai dijual pre order di media sosialnya. Anak muda
yang satu ini, memang seng ada lawan.

Selalu liat bekerja serta
trenginas mencari uang. Sayang, belum punya pacar. Entah, apakah anak muda kaya
raya itu, selalu susah meletakkan hati.

Itu cerita Rendy. Namun, ada
cerita lain dari teman yang sama berbisnis umrah. Dia, kini, pulang ke Bandung.
Hanya menanti, sambil berhitung kapan kran umrah dibuka lagi.

Kesibukannya tiap pagi ke pasar.
Berbelanja kebutuhan sehari-hari. “Sama jual aset buat menyambung
hidup,” ungkap lulusan Gontor ini sambil tertawa.

Saat mendengar nada tawanya itu,
saya gembira. Saya yakin, asetnya masih banyak. Sehingga dia belum terpikir
untuk bikin usaha sampingan.

Yang pasti, pertempuran panjang
dengan Covid-19 tampaknya masih akan terjadi. Hasilnya masih berupa
ketidakpastian. Karena sebelum adanya vaksin, semua kemungkinan masih terjadi.

Johns Hopkins University of
Medicine, melalui situsnya: coronavirus.jhu.edu melansir data terbaru.
Tercatat, pada Minggu, 28 Juni 2020, pukul 17.24 WIB, pasien konfirmasi positif
corona di dunia mencapai 10.001.527 kasus. Sementara, angka kesembuhan mencapai
5.065.869 orang.

Amerika Serikat memuncaki
peringkat kasus positif, totalnya 2.510.323 orang. Brasil menyusul diperingkat
kedua dengan 1.313.667 orang. Lantas, ada Rusia diperingkat tiga sebanyak
633.542 kasus.

Melihat deretan angka itu, tiap
negara sudah selayaknya berjibaku. Bekerja keras. Untuk memastikan bagaimana
ekonomi tetap terselamatkan, dan kurva penderita Covid 19 tidak menaik. Pusing?
Tentu saja.

Yang dibutuhkan tentu saja
kebijakan yang luar biasa dari semua pemimpin negara. Juga para pembantunya.
Mau itu kebijakan yang out of box atau without box.

Tak heran Presiden Joko Widodo
makin bersuara lantang kepada para menterinya. Dalam rapat kabinet pada 18 Juni
lalu, agar mereka bekerja lebih keras. “Sekali lagi, ini tolong
betul-betul dirasakan semuanya,” tegas mantan Walikota Solo ini

Bahkan, dengan tutur gemetar
dengan bahasa tubuh memendam kemarahan, pilihan opsi perombakan kabinet akan
diambil. “Udah kepikiran kemana-mana saya,” tambah mantan Gubernur
DKI Jakarta ini.

Baca Juga :  Awas, Kebiasaan Menggigit Kuku Berdampak Mengerikan

Tentu saja, di sisi lain, grafik
penderita Covid-19 di beberapa propinsi naik. Bisa jadi, karena ada relaksasi
PSBB. Pergerakan masyarakat dan aktifitas naik. Namun warga masyarakat tidak
ketat melaksanakan protokol kesehatan.

Grafik pasien yang naik itu
sempat pula membuat saya pusing. Saya Akhirnya Memilih mengikuti tes PCR
(polymerase chain reaction). Di sebuah rumah sakit swasta di Kota Bogor. Untuk
memastikan saya reaktif atau negatif Covid-19.

Ceritanya begini. Pemkot Bogor
mengumumkan ada potensi cluster baru. Tepatnya di toko Mitra 10, Jalan Soleh
Iskandar Kota Bogor. Ditemukan tiga karyawannya yang positif Covid-19.

Padahal, seminggu sebelum
pengumuman itu, saya dan istri belanja ke sana. Itu pun, belanja ke dua.
Sepuluh hari sebelumnya, saya dan istri juga belanja ke sana.

Saat belanja, tentu protokol Covid-19
sudah kami terapkan. Pakai masker wajah. Lantas menjaga jarak. Juga cuci tangan
sebelum masuk dan setelah mau keluar toko.

Bahkan, sampai rumah, kami
langsung mandi dan berganti pakaian baru. Karena begitu, sosialisasi dari
pemerintah. Jadi, kami mengikuti saja.

Walau semua aturan sudah
dilakukan, tentu, kami tetap was-was. Apakah kemungkinan tertular atau tidak.
Memang, kami tidak merasakan simptom pendemi ini.

Sambil berpikir, kami mencoba
mencari beragam informasi tambahan. Sempat kepikiran, untuk vaksin polio saja.
Sebab, ada liputan di CNN, yang mengabarkan vaksin polio termasuk jadi
alternatif.

Selain vaksin sudah terbukti,
banyak yang menyediakan, juga harganya murah. Vaksin polio terbukti mampu
memperkuat imun, termasuk memperkuat kekebalan dalam melawan beragam virus
influenza. Dalam liputan itu dikutip pendapat beberapa pakar.

Namun, pilihan itu urung juga
kami ambil. Istri memilih untuk melakukan test saja. Untuk memastikan apakah
kita terpapar atau tidak. “Ayo tes PCR saja kita,” ungkap istri
cemas.

Akhirnya, saya pun mencari rumah
sakit yang ada fasilitas PCR. Awalnya mau ke RSUD Kota Bogor. Tapi, pilihan ini
kami kesampingkan.

Pokok soal, ada seorang teman
yang dokter tak merekomendasikannya. “RSUD itu, pusat penangganan. Pasti
banyak pasien. Salah-salah, bisa tertular,” sarannya panjang lebar.

Tentu, kami mengikuti saran dari
ahlinya. Ada beberapa rumah sakit swasta yang menawarkan test itu. Baik yang
model drive thru atau masuk ke lab rumah sakitnya.

Memang, pemberitaan itu, membuat
kami harus berjaga jarak dengan anak-anak. Tak berani memeluk atau menciumi
mereka. Bikin cemas saja.

Akhirnya kami memilih test di lab
saja. Siang hari setelah muncul pemberitaan itu, malamnya kami bergegas ke
rumah sakit. Rencananya, saya dan istri saja yang test.

Kalau nanti hasilnya reaktif,
baru kami akan mengetes anggota keluarga lainnya. Baik kedua buah hati kami,
juga para asisten di rumah. Setidaknya, kita harus bikin sample pertama saja.

Malam itu, rumah sakit terlihat
ramai. Sebelum masuk, juga di tes temperatur. Cuci tangan. Tetap jaga jarak.

“Biayanya Rp550 ribu,”
jawab petugas pendaftaran. Setelah selesai urusan pendaftaran dan pembayaran,
kami bergeser ke laboratorium. Memang, tes PCR ini pemeriksaan laboratorium
guna mendeteksi material generik dari sel, bakteri, dan virus.

Baca Juga :  Mendiamkan Kezaliman

Saat membuka pintu lab, seorang
petugasnya sudah tampak berjaga. Pakai APD lengkap. Lantas, dengan sigap
mengambil sample darah di lengan kanan. Prosesnya cepat. Tak lebih dari lima
menit.

“Hasilnya satu jam
lagi,” terangnya. Namun, mereka juga menawarkan bisa mengirimkan hasilnya,
bila malas menunggu. “Kami kirim lewat email,” sambungnya.

Kami pun segera pulang.
Melanjutkan aktifitas seperti biasa. Namun, istri yang tetap panik. Berulang kali
mengecek email, memastikan apakah sudah ada kiriman email dari rumah sakit.

Tak berapa lama, yang dinanti pun
tiba. “Sudah masuk ini emailnya,” seru istri, saat saya sedang
membaca buku.

“Bagaimana hasilnya?”
tanya saya.

“Alhamdulillah,
negatif,” jawabnya.

Anak-anak yang mendengar ucapan
ibunya, berteriak riang. Lantas mengambur ke arah kami. Minta dipeluk dan
dicium.

Memang urusan tes-tes ini selalu
banyak ragam. Banyak cerita. Seorang teman, juga berbagi pengalamannya, saat
menyemput anaknya di Malang, Jawa Timur.

Sebelum berangkat ke Malang,
bersama istrinya dia test PCR di Cibubur, Jakarta. “Biayanya Rp450
ribu,” ungkapnya. Hasilnya negatif.

Tenang hatinya. Surat itu
dibawanya dalam perjalanan ke Malang. Mereka memilih jalan darat. Membawa mobil,
sekalian bertamasya.

Namun, saat sampai Malang, lain
ceritanya. Petugas ternyata tidak begitu saja mempercayai surat keterangan dari
rumah sakit di Cibubur itu. Dia dan istri, diminta untuk test PCR lagi.

Alhasil, dia harus merogoh
koceknya lebih dalam lagi. “Di Malang, kena Rp1 juta buat test PCR,”
terangnya sambil tertawa. Mau bagaimana lagi, karena permintaan petugas,
akhirnya harus dituruti.

Urusan melakukan test PCR ini,
memang jadi sarana paling penting untuk bertarung melawan Covid 19. Mantranya
ada tiga: trace, test, treat. Bila ketemu yang positif dilacak, dites, diobati.

Tapi sekali lagi, ini membutuhkan
biaya yang mahal. Seperti pengalaman saya, untuk tes seorang harus bayar Rp550
ribu. Kalikan dengan jumlah 267 juta jiwa warga Indonesia, kalau pemerintah mau
melakukan tes masal. Memang ada beberapa metodologi agar murah, dengan sample
misalnya.

Oh ya, hampir lupa, bagaimana
jumlah kasus corona di Indonesia? Sebagaimana dilansir BNPB, jumlah kasus
positif pada hari Minggu, 28 Juni 2020, mencapai 54.010. Jumlah pasien yang
sembuh sebanyak 22.936. Sedangkan pasien meninggal dunia, tercatat 2.754 orang.

Ada laporan juga beberapa
propinsi yang grafiknya meninggi. Memang, keterbukaan data atas penangganan
Covid-19 juga penting. Sebagai sarana pengingat kita, wabah ini masih terus
bersama.

Namun, alangkah pentingnya juga,
kalau ada laporan rutin dari para menteri. Semisal, kegiatan tindak lanjut dan
status program penangganan pendemi ini. Baik urusan penyelamatan nyawa juga
inisiatif penyelamatan ekonomi yang terstruktur dan masif.

Kalau pendekatannya masih
biasa-biasa saja, mohon maaf, harap diingat pesan Pak Presiden, harus siap
direshuffle sepertinya.

(penulis adalah kolomnis “Ujar
Ajar” di ngopibareng.id)

Terpopuler

Artikel Terbaru