30.8 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Puasa untuk Tidak Berkuasa

ANDAI saja kata “kutiba” tidak disematkan Allah dalam
perintah menjalankan puasa, mungkin umat Islam tidak mau puasa menahan lapar
dan haus. Buat apa berlapar-lapar jika ayatnya misalnya kita ganti dengan
disunnahkan, atau dimubahkan bagi kamu sekalian. Maka jelas Umat Islam akan
malas berpuasa. Apalagi ada tekanan lanjutan dari perintah puasa itu, yakni
“dan juga diwajibkan kepada umat sebelum kamu”. Lalu ending dari
perintah itu adalah “laallakum tattaquun” agar kamu sekalian bertakwa.

Jadi perintah menjalankan puasa
itu betul-betul kuat yaitu bersifat wajib dan diwajibkan, bukan saja kepada
Umat Nabi Muhammad Saw, namun juga pada umat sebelumnya. Puasa sudah menjadi
cara manusia merespon kehidupan sebagai bagian dari bentuk peradaban
kemanusiaan yang dilakukan berdasar petunjuk Allah Swt.

Sedemikian pentingnya puasa itu,
maka penting juga kiranya berkah dan manfaat puasa itu kita terapkan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Misalnya, para pejabat mulai presiden,
menteri, gubernur, bupati, camat hingga lurah sebaiknya berpuasa dari
kebohongan, praktik korupsi, manipulasi, maksiat, dan perbuatan buruk lainnya.

Puasa, Menegakkan Pancasila

Dalam konteks kehidupan berbangsa
dan bernegara, manfaat berpuasa itu sangat penting dalam meningkatkan kualitas
mental spiritual para penyelenggara negara. Puasa mendorong para penyelenggara
negara mampu menata pikirannya dan membasahi mata batinnya. Misalnya untuk apa
mereka menjadi pejabat publik jika kehadirannya dalam masyarakat bangsa tidak memberikan
manfaat.

Untuk apa mereka menjadi pejabat
jika kehadirannya hanya melahirkan masalah bangsa. Untuk apa mereka menjadi
pejabat negara jika segala tindak tanduknya itu tidak mampu meningkatkan
kesejahteraan rakyatnya. Untuk apa menjadi pejabat jika dia harus berakhir
dibalik jeruji besi penjara dan memalukan keluarga serta kerabatnya karena
terlibat korupsi?

Untuk apa menjadi pejabat negara
jika hidupnya hanya menyiksa para ulama, aktivis sosial politik, penggerak
demokrasi, dan pekerjaan luhur lainnya. Untuk apa menjadi pejabat negara yang
setiap hari selalu berkelit membenarkan diri sendiri dan menyalahkan orang
lain? Untuk apa menghidupi diri sendiri dan keluarganya dari uang rakyat tapi
pada saat yang sama menghianati amanah rakyat?

Mari kita renungkan bersama,
betapa suatu bangsa akan ambruk jika kekuasaan itu tidak lagi memperhatikan
nilai-nilai kepantasan yang hidup dan aspiratif dalam masyarakat yang secara
ideologis Pancasilais. Dalam sejarah perjalanan politik bangsa Indonesia, Bung
Karno tumbang karena ia membela komunis melalui Nasakomnya. Bung Karno dibela
dan dicinta, namun di saat dia bertindak diluar batas kepantasan publik, Tokoh
Proklamator yang terkenal sangat jantan dan penyuka wanita cantik itu akhirnya
tumbang juga.

Baca Juga :  Jeihan

Sukarno dianggap telah bekerja di
luar kepantasan nilai-nilai Pancasila yang sakti itu. Bagaimana mungkin Nasakom
bisa menyatukan nasionalisme yang profan, komunisme yang anti Tuhan, berpadu
dengan agama yang nilai-nilainya transendental. Itulah kecerobohan Sukarno yang
dalam pandangan Profesor Salim Said sebagai kekeliruan terbesar Sukarno dalam
sejarah politik Indonesia modern. Sukarno yang ambisius menyatukan Agama,
Nasionalisme dan Komunisme akhirnya tumbang atas tekanan rakyat yang dahulu
mencintainya secara berlebihan.

Mari kita lihat Soeharto. Suharto
berkuasa selama 32 tahun. Pada awalnya Soeharto dinilai mahasiswa pendukung
orde baru sebagai sosok negarawan yang berani memberantas PKI dan membela
rakyatnya. Lalu mengapa Soeharto kemudian tumbang atas desakan mahasiswa?
Jawaban atas pertanyaan itu tentu saja sangat beragam saking banyaknya. Namun
salah satu jawaban yang mungkin bisa ditambahkan adalah karena Soeharto
berhenti berpuasa.

Berpuasa dari keinginan untuk
terus berkuasa, sehingga sikap otoriter yang berlebihan itu kemudian melahirkan
kekuatan laten rakyat yang menggunung menjadi gerakan moral mahasiswa yang muak
atas realitas sosial politik yang pengap itu. Reformasi kemudian bergulir
menjadi gelombang politik yang menumbangkan rezim yang tertua di Asia Tenggara
itu.

Saat ini Indonesia sedang
dipimpin oleh Presiden Joko Widodo untuk periode kedua. Tersebar luas dalam
masyarakat politik bahwa Jokowi berminat meneruskan untuk berkuasa lagi pada
periode ketiga. Ada banyak alasan untuk menyangkal ide ini, baik disampaikan
sendiri oleh Presiden maupun para pembantunya. Namun masyarakat politik tidak
percaya bahwa Jokowi tidak menginginkan periode ketiga.

Ketidakpercayaan ini semakin
ditanggapi serius dikalangan politisi karena mereka mencium langkah-langkah
catur politik istana yang sistematis. Jika langkah-langkah ini diteruskan, maka
bisa jadi Jokowi justru akan tumbang ditengah jalan. Oleh karena itu sebaiknya
Jokowi mulai memikirkan kembali untuk sejenak berpuasa untuk terus berkuasa.

Ada banyak keuntungan jika Jokowi
menikmati makna dan hikmah berpuasa dihari pertama puasa ini. Berpuasa untuk
tidak berkuasa lagi adalah tirakat kemanusiaan yang luhur. Keuntungan pertama,
jika Jokowi mencukupkan dirinya berkuasa selama dua periode hingga 2024, maka
beliau akan dikenang sebagai orang yang paling banyak membangun infrastruktur
jalan tol dan bendungan di seluruh tanah air. Walaupun untuk melintas jalan tol
iti kita harus menguras uang rakyat entah sampai kapan. Disini Jokowi akan
dinilai sebagai Bapak Infrastruktur Indonesia.

Baca Juga :  Kisah Wartawan Istana, Ani Yudhoyono dan Jus Kacang Hijau

Keuntungan kedua, Jokowi akan
lebih fokus pada program-program yang dijanjikan yaitu peningkatan kualitas
sumber daya manusia Indonesia agar dapat bersaing dengan negara-negara lain di
Asia. Jika program tersebut dilakukan secara serius sehingga terjadi
pusat-pusat sumber daya di seluruh negeri. Dengan demikian maka SDM Indonesia
akan mampu bersaing dengan negara lain.

Tentu saja keinginan tersebut
sangat positif bagi usaha membangun kembali keakraban publik sesama anak
bangsa.

Ketiga, manfaat berpuasa untuk
tidak berkuasa lagi di periode ketiga yakni Jokowi akan dinilai sebagai
presiden yang mentaati konstitusi bangsanya. Meskipun untuk berpuasa agar tidak
berkuasa lagi itu akan menghadapi tantangan dan penentangan dari
kelompok-kelompok oligarki yang kini bekerja merecoki dan menikmati kekuasaan
Jokowi, namun semua itu harus ditaklukkan oleh misi besar pembatasan kekuasaan
politik dalam konstitusi negara.

Keempat adalah manfaat berpuasa
dari keinginan untuk berkuasa ketiga kalinya adalah; Jokowi akan selamat dari
jebakan para oligarki yang bergerak seperti rayap yang ganas. Jokowi pada 2024
akan turun secara elegan karena menaati prinsip pembatasan kekuasaan dalam
konstitusi, dan bukan jatuh karena diserang oleh rayap-rayap oligarki yang
memiliki agenda-agenda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan melawan
konstitusi negara.

Kelima, manfaat berpuasa untuk
tidak berkuasa periode ketiga adalah penting karena jika seseorang berkuasa
selama lebih dari 10 tahun maka secara mekanistik orang-orang yang ada
disekitar kekuasaan itu akan menjadikan bosnya sebagai berhala, bukan lagi
manusia. Ini perkara ambang batas psikologis politik, bukan karena kita tidak
suka pada penguasa itu. Lihatlah Soekarno, lihatlah Soeharto, lihat pula
pemimpin-pemimpin dunia yang lain. Mereka terus berusaha untuk berkuasa, namun
akhirnya jatuh juga karena faktor-faktor teknis kekuasaan yang membuat mereka
terpaksa harus bertahan.

Dengan melihat faktor-faktor di
atas, penting kiranya bagi Presiden Jokowi untuk kembali nemikirkan pentingnya
berpuasa untuk tidak kembali berkuasa. Manakala pikiran tersebut di atas
menjadi bahan pertimbangan, tentulah kita sebagai bangsa akan tenang, juga
Jokowi akan berakhir dengan tenang terutama dalam menuntaskan agenda-agenda
pembangunan nasional kita tanpa harus mengikuti nafsu rendah para oligarki yang
merusak bangsa dan negara. (*)

(FATHORRAHMAN FADLI. Direktur
Eksekutif Indonesia Development Research/IDR, Dosen Fakultas Ekonomi,
Universitas Pamulang)

ANDAI saja kata “kutiba” tidak disematkan Allah dalam
perintah menjalankan puasa, mungkin umat Islam tidak mau puasa menahan lapar
dan haus. Buat apa berlapar-lapar jika ayatnya misalnya kita ganti dengan
disunnahkan, atau dimubahkan bagi kamu sekalian. Maka jelas Umat Islam akan
malas berpuasa. Apalagi ada tekanan lanjutan dari perintah puasa itu, yakni
“dan juga diwajibkan kepada umat sebelum kamu”. Lalu ending dari
perintah itu adalah “laallakum tattaquun” agar kamu sekalian bertakwa.

Jadi perintah menjalankan puasa
itu betul-betul kuat yaitu bersifat wajib dan diwajibkan, bukan saja kepada
Umat Nabi Muhammad Saw, namun juga pada umat sebelumnya. Puasa sudah menjadi
cara manusia merespon kehidupan sebagai bagian dari bentuk peradaban
kemanusiaan yang dilakukan berdasar petunjuk Allah Swt.

Sedemikian pentingnya puasa itu,
maka penting juga kiranya berkah dan manfaat puasa itu kita terapkan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Misalnya, para pejabat mulai presiden,
menteri, gubernur, bupati, camat hingga lurah sebaiknya berpuasa dari
kebohongan, praktik korupsi, manipulasi, maksiat, dan perbuatan buruk lainnya.

Puasa, Menegakkan Pancasila

Dalam konteks kehidupan berbangsa
dan bernegara, manfaat berpuasa itu sangat penting dalam meningkatkan kualitas
mental spiritual para penyelenggara negara. Puasa mendorong para penyelenggara
negara mampu menata pikirannya dan membasahi mata batinnya. Misalnya untuk apa
mereka menjadi pejabat publik jika kehadirannya dalam masyarakat bangsa tidak memberikan
manfaat.

Untuk apa mereka menjadi pejabat
jika kehadirannya hanya melahirkan masalah bangsa. Untuk apa mereka menjadi
pejabat negara jika segala tindak tanduknya itu tidak mampu meningkatkan
kesejahteraan rakyatnya. Untuk apa menjadi pejabat jika dia harus berakhir
dibalik jeruji besi penjara dan memalukan keluarga serta kerabatnya karena
terlibat korupsi?

Untuk apa menjadi pejabat negara
jika hidupnya hanya menyiksa para ulama, aktivis sosial politik, penggerak
demokrasi, dan pekerjaan luhur lainnya. Untuk apa menjadi pejabat negara yang
setiap hari selalu berkelit membenarkan diri sendiri dan menyalahkan orang
lain? Untuk apa menghidupi diri sendiri dan keluarganya dari uang rakyat tapi
pada saat yang sama menghianati amanah rakyat?

Mari kita renungkan bersama,
betapa suatu bangsa akan ambruk jika kekuasaan itu tidak lagi memperhatikan
nilai-nilai kepantasan yang hidup dan aspiratif dalam masyarakat yang secara
ideologis Pancasilais. Dalam sejarah perjalanan politik bangsa Indonesia, Bung
Karno tumbang karena ia membela komunis melalui Nasakomnya. Bung Karno dibela
dan dicinta, namun di saat dia bertindak diluar batas kepantasan publik, Tokoh
Proklamator yang terkenal sangat jantan dan penyuka wanita cantik itu akhirnya
tumbang juga.

Baca Juga :  Jeihan

Sukarno dianggap telah bekerja di
luar kepantasan nilai-nilai Pancasila yang sakti itu. Bagaimana mungkin Nasakom
bisa menyatukan nasionalisme yang profan, komunisme yang anti Tuhan, berpadu
dengan agama yang nilai-nilainya transendental. Itulah kecerobohan Sukarno yang
dalam pandangan Profesor Salim Said sebagai kekeliruan terbesar Sukarno dalam
sejarah politik Indonesia modern. Sukarno yang ambisius menyatukan Agama,
Nasionalisme dan Komunisme akhirnya tumbang atas tekanan rakyat yang dahulu
mencintainya secara berlebihan.

Mari kita lihat Soeharto. Suharto
berkuasa selama 32 tahun. Pada awalnya Soeharto dinilai mahasiswa pendukung
orde baru sebagai sosok negarawan yang berani memberantas PKI dan membela
rakyatnya. Lalu mengapa Soeharto kemudian tumbang atas desakan mahasiswa?
Jawaban atas pertanyaan itu tentu saja sangat beragam saking banyaknya. Namun
salah satu jawaban yang mungkin bisa ditambahkan adalah karena Soeharto
berhenti berpuasa.

Berpuasa dari keinginan untuk
terus berkuasa, sehingga sikap otoriter yang berlebihan itu kemudian melahirkan
kekuatan laten rakyat yang menggunung menjadi gerakan moral mahasiswa yang muak
atas realitas sosial politik yang pengap itu. Reformasi kemudian bergulir
menjadi gelombang politik yang menumbangkan rezim yang tertua di Asia Tenggara
itu.

Saat ini Indonesia sedang
dipimpin oleh Presiden Joko Widodo untuk periode kedua. Tersebar luas dalam
masyarakat politik bahwa Jokowi berminat meneruskan untuk berkuasa lagi pada
periode ketiga. Ada banyak alasan untuk menyangkal ide ini, baik disampaikan
sendiri oleh Presiden maupun para pembantunya. Namun masyarakat politik tidak
percaya bahwa Jokowi tidak menginginkan periode ketiga.

Ketidakpercayaan ini semakin
ditanggapi serius dikalangan politisi karena mereka mencium langkah-langkah
catur politik istana yang sistematis. Jika langkah-langkah ini diteruskan, maka
bisa jadi Jokowi justru akan tumbang ditengah jalan. Oleh karena itu sebaiknya
Jokowi mulai memikirkan kembali untuk sejenak berpuasa untuk terus berkuasa.

Ada banyak keuntungan jika Jokowi
menikmati makna dan hikmah berpuasa dihari pertama puasa ini. Berpuasa untuk
tidak berkuasa lagi adalah tirakat kemanusiaan yang luhur. Keuntungan pertama,
jika Jokowi mencukupkan dirinya berkuasa selama dua periode hingga 2024, maka
beliau akan dikenang sebagai orang yang paling banyak membangun infrastruktur
jalan tol dan bendungan di seluruh tanah air. Walaupun untuk melintas jalan tol
iti kita harus menguras uang rakyat entah sampai kapan. Disini Jokowi akan
dinilai sebagai Bapak Infrastruktur Indonesia.

Baca Juga :  Kisah Wartawan Istana, Ani Yudhoyono dan Jus Kacang Hijau

Keuntungan kedua, Jokowi akan
lebih fokus pada program-program yang dijanjikan yaitu peningkatan kualitas
sumber daya manusia Indonesia agar dapat bersaing dengan negara-negara lain di
Asia. Jika program tersebut dilakukan secara serius sehingga terjadi
pusat-pusat sumber daya di seluruh negeri. Dengan demikian maka SDM Indonesia
akan mampu bersaing dengan negara lain.

Tentu saja keinginan tersebut
sangat positif bagi usaha membangun kembali keakraban publik sesama anak
bangsa.

Ketiga, manfaat berpuasa untuk
tidak berkuasa lagi di periode ketiga yakni Jokowi akan dinilai sebagai
presiden yang mentaati konstitusi bangsanya. Meskipun untuk berpuasa agar tidak
berkuasa lagi itu akan menghadapi tantangan dan penentangan dari
kelompok-kelompok oligarki yang kini bekerja merecoki dan menikmati kekuasaan
Jokowi, namun semua itu harus ditaklukkan oleh misi besar pembatasan kekuasaan
politik dalam konstitusi negara.

Keempat adalah manfaat berpuasa
dari keinginan untuk berkuasa ketiga kalinya adalah; Jokowi akan selamat dari
jebakan para oligarki yang bergerak seperti rayap yang ganas. Jokowi pada 2024
akan turun secara elegan karena menaati prinsip pembatasan kekuasaan dalam
konstitusi, dan bukan jatuh karena diserang oleh rayap-rayap oligarki yang
memiliki agenda-agenda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan melawan
konstitusi negara.

Kelima, manfaat berpuasa untuk
tidak berkuasa periode ketiga adalah penting karena jika seseorang berkuasa
selama lebih dari 10 tahun maka secara mekanistik orang-orang yang ada
disekitar kekuasaan itu akan menjadikan bosnya sebagai berhala, bukan lagi
manusia. Ini perkara ambang batas psikologis politik, bukan karena kita tidak
suka pada penguasa itu. Lihatlah Soekarno, lihatlah Soeharto, lihat pula
pemimpin-pemimpin dunia yang lain. Mereka terus berusaha untuk berkuasa, namun
akhirnya jatuh juga karena faktor-faktor teknis kekuasaan yang membuat mereka
terpaksa harus bertahan.

Dengan melihat faktor-faktor di
atas, penting kiranya bagi Presiden Jokowi untuk kembali nemikirkan pentingnya
berpuasa untuk tidak kembali berkuasa. Manakala pikiran tersebut di atas
menjadi bahan pertimbangan, tentulah kita sebagai bangsa akan tenang, juga
Jokowi akan berakhir dengan tenang terutama dalam menuntaskan agenda-agenda
pembangunan nasional kita tanpa harus mengikuti nafsu rendah para oligarki yang
merusak bangsa dan negara. (*)

(FATHORRAHMAN FADLI. Direktur
Eksekutif Indonesia Development Research/IDR, Dosen Fakultas Ekonomi,
Universitas Pamulang)

Terpopuler

Artikel Terbaru