26.9 C
Jakarta
Friday, April 19, 2024

Jeihan

SETAHUN sudah berlalu, lebih satu bulan, sejak
kami terakhir bertemu. Jumat malam silam, 29 November 2019, saya jumpai dia
dalam khidmat yang menusuk dada: antara senang dan sedih. Senang karena
kematian yang dia dambakan telah dianugerahkan oleh Allah, pada akhirnya. Sedih
karena takkan lagi kami berdebat tentang lebih dulu mana antara rindu dan
cinta. Selamat jalan, Mas Jeihan Sukmantoro. Sugeng kondur.

Kami jauh secara jarak dan umur. Ia berusia dua kali lipat dari saya. Mas
Jeihan sudah 81 tahun hingga wafatnya, sedangkan saya 41 tahun. Lebih tepat
saya memanggil maestro pelukis sufi ini eyang, namun sejak pertama bersua di
rumahnya pada akhir 2013, saya dan Mas Jeihan lebih seperti adik dan kakak. Ia
memanggil saya, ’’Can’’, sedangkan saya panggil dia, ’’Mas’’. Mas Jeihan tinggal
di Bandung, saya di Depok, selatan Jakarta.

Kamis masih pagi pada 25 Oktober setahun lalu ketika tiba-tiba pesan pendek
dari Mas Jeihan masuk. ’’Bisa ke Bandung sekarang?’’ tulisnya. Entah dia
sendiri yang menulis atau penjaga studio di Padasuka yang disuruhnya, yang
jelas dia tak mau berkompromi bahwa saya tergagap dan sebenarnya tidak bisa
berangkat. ’’Saya sedang sibuk beberapa urusan di Jakarta,’’ dalih saya via
telepon. ’’Ya. Saya tunggu,’’ jawab Mas Jeihan, datar.

Akhirnya, saya mengalah untuk memenuhi permintaannya. Astaga, belum lagi
duduk dengan tenang di Studio Jeihan, dia sudah mencecar saya dengan
kebahagiaan yang luar biasa mendalam. ’’Aku sido arep mati, Can. Sido!’’
serunya tanpa ekspresi sedih sedikit pun. Malah sambil menyeringaikan tawa dan
memicingkan dua matanya yang misterius. ’’Nanti dulu. Ini ada apa?’’ tanya
saya. ’’Aku jadi akan mati!’’ ujar Mas Jeihan.

Baca Juga :  Awas Bahaya Laten 'Edukasi Massal' VPN

Setelah ia meletakkan buku-bukunya, dan lagi-lagi mengisahkan perjalanan
kreatif dan spiritualitasnya, dari seorang pemikir, lalu penyair, dan perupa,
serta yang terakhir tentang kesufiannya, Mas Jeihan memberi kabar mengejutkan.
’’Alhamdulillah, Allah menghadiahiku ini, benjolan di leherku ini, untuk
mempercepat mati,’’ serunya. Setelah belasan tahun cuci darah karena sakit ginjal,
dia terkena kanker kelenjar getah bening.

Sudah terlalu sering saya mendengar Mas Jeihan bercerita tentang bagaimana
dia mengalahkan S. Sudjojono, gurunya sendiri, dalam sebuah pameran bertajuk
’’Temunya 2 Ekspresionis Besar’’ di Jakarta pada 1985. Gara-garanya, Jeihan
membanderol lukisan-lukisannya dengan harga selangit, namun ternyata laku
keras. Dia memang sangat suka memaparkan ulang renungan-renungan dan
pandangannya yang jauh.

Saya juga terlalu sering mendengarnya mengulang-ulang perkataan yang dia
hafal di luar kepala. ’’Puncak seni itu puisi, puncak puisi itu filsafat, dan
puncak filsafat itu sufisme,’’ tutur Mas Jeihan. Namun, kali itu saya tertegun
ketika dia membaca lagi selarik puisinya dengan tatapan berbinar-binar dan
wajah yang terbahak. Puisi itu ungkapan perasaannya yang amat dalam pada
kematian, yang lama dirindukannya.

Hati tenang,

bunga kembang,

burung terbang,

jalan terang,

aku pulang.

Jika kelahiran dan pernikahan disambut bahagia, menurut Mas Jeihan,
demikian pula seharusnya kematian. ’’Kelak jika aku mati, anakku sulung sudah
di pintu surga menanti, empat anakku laki-laki mengangkat peti jenazah, dua
anakku perempuan membawa bunga,’’ ujarnya. Sejak lama, Mas Jeihan bahkan telah
menyiapkan makamnya sendiri di belakang studio, dengan batu nisan dari
Muntilan, Jawa Tengah, dan menziarahinya.

Baca Juga :  Transformasi Bonek

Mas Jeihan pernah mati suri pada umur 4 tahun setelah jatuh dari tangga.
Sejak saat itu, pelukis kelahiran Ampel, Boyolali, Jawa Tengah, 26 September
1938, ini merasa berbeda dari anak-anak lain. Dia mengaku menikmati kehidupan
yang menyepi, tidak benar-benar punya teman yang karib, dan menikmati
kesendiriannya di depan kanvas dengan daya hidup, daya tahan, daya lawan, dan
daya mati. Dengan suwung. Kosong.

Di bulan Ramadan, pada 20 Juni 2017, Mas Jeihan memanggil saya untuk
dilukisnya di studio. Tidak sampai setengah jam, dia telah abadikan saya dengan
sepasang mata hitam, seperti gua gaib yang entah menuju ke mana. Dia pulaskan
warna merah, biru, dan kuning, memberi aura di badan saya dalam kanvas. Lukisan
itu hadiah terbaiknya dan menjadi satu di antara 14 lukisannya yang menghiasi
buku puisi saya, Surat Cinta dari Rindu.

Satu petuah Mas Jeihan terngiang di benak saya hingga kini. Dia berkata,
’’Hidup adalah tentang mitologi dan metodologi. Mitologi diciptakan dengan
spiritualitas, sedangkan metodologi diciptakan dengan kebudayaan.’’ Saya
bersila menghadap jenazah si pelukis mata kucing, yang diselimuti selembar kain
batik. Potretnya seperti menatap, teduh tapi tajam. Terima kasih pernah
menerima saya belajar. Terima kasih untuk hidupmu. (*)

(Penulis adalah budayawan)

SETAHUN sudah berlalu, lebih satu bulan, sejak
kami terakhir bertemu. Jumat malam silam, 29 November 2019, saya jumpai dia
dalam khidmat yang menusuk dada: antara senang dan sedih. Senang karena
kematian yang dia dambakan telah dianugerahkan oleh Allah, pada akhirnya. Sedih
karena takkan lagi kami berdebat tentang lebih dulu mana antara rindu dan
cinta. Selamat jalan, Mas Jeihan Sukmantoro. Sugeng kondur.

Kami jauh secara jarak dan umur. Ia berusia dua kali lipat dari saya. Mas
Jeihan sudah 81 tahun hingga wafatnya, sedangkan saya 41 tahun. Lebih tepat
saya memanggil maestro pelukis sufi ini eyang, namun sejak pertama bersua di
rumahnya pada akhir 2013, saya dan Mas Jeihan lebih seperti adik dan kakak. Ia
memanggil saya, ’’Can’’, sedangkan saya panggil dia, ’’Mas’’. Mas Jeihan tinggal
di Bandung, saya di Depok, selatan Jakarta.

Kamis masih pagi pada 25 Oktober setahun lalu ketika tiba-tiba pesan pendek
dari Mas Jeihan masuk. ’’Bisa ke Bandung sekarang?’’ tulisnya. Entah dia
sendiri yang menulis atau penjaga studio di Padasuka yang disuruhnya, yang
jelas dia tak mau berkompromi bahwa saya tergagap dan sebenarnya tidak bisa
berangkat. ’’Saya sedang sibuk beberapa urusan di Jakarta,’’ dalih saya via
telepon. ’’Ya. Saya tunggu,’’ jawab Mas Jeihan, datar.

Akhirnya, saya mengalah untuk memenuhi permintaannya. Astaga, belum lagi
duduk dengan tenang di Studio Jeihan, dia sudah mencecar saya dengan
kebahagiaan yang luar biasa mendalam. ’’Aku sido arep mati, Can. Sido!’’
serunya tanpa ekspresi sedih sedikit pun. Malah sambil menyeringaikan tawa dan
memicingkan dua matanya yang misterius. ’’Nanti dulu. Ini ada apa?’’ tanya
saya. ’’Aku jadi akan mati!’’ ujar Mas Jeihan.

Baca Juga :  Awas Bahaya Laten 'Edukasi Massal' VPN

Setelah ia meletakkan buku-bukunya, dan lagi-lagi mengisahkan perjalanan
kreatif dan spiritualitasnya, dari seorang pemikir, lalu penyair, dan perupa,
serta yang terakhir tentang kesufiannya, Mas Jeihan memberi kabar mengejutkan.
’’Alhamdulillah, Allah menghadiahiku ini, benjolan di leherku ini, untuk
mempercepat mati,’’ serunya. Setelah belasan tahun cuci darah karena sakit ginjal,
dia terkena kanker kelenjar getah bening.

Sudah terlalu sering saya mendengar Mas Jeihan bercerita tentang bagaimana
dia mengalahkan S. Sudjojono, gurunya sendiri, dalam sebuah pameran bertajuk
’’Temunya 2 Ekspresionis Besar’’ di Jakarta pada 1985. Gara-garanya, Jeihan
membanderol lukisan-lukisannya dengan harga selangit, namun ternyata laku
keras. Dia memang sangat suka memaparkan ulang renungan-renungan dan
pandangannya yang jauh.

Saya juga terlalu sering mendengarnya mengulang-ulang perkataan yang dia
hafal di luar kepala. ’’Puncak seni itu puisi, puncak puisi itu filsafat, dan
puncak filsafat itu sufisme,’’ tutur Mas Jeihan. Namun, kali itu saya tertegun
ketika dia membaca lagi selarik puisinya dengan tatapan berbinar-binar dan
wajah yang terbahak. Puisi itu ungkapan perasaannya yang amat dalam pada
kematian, yang lama dirindukannya.

Hati tenang,

bunga kembang,

burung terbang,

jalan terang,

aku pulang.

Jika kelahiran dan pernikahan disambut bahagia, menurut Mas Jeihan,
demikian pula seharusnya kematian. ’’Kelak jika aku mati, anakku sulung sudah
di pintu surga menanti, empat anakku laki-laki mengangkat peti jenazah, dua
anakku perempuan membawa bunga,’’ ujarnya. Sejak lama, Mas Jeihan bahkan telah
menyiapkan makamnya sendiri di belakang studio, dengan batu nisan dari
Muntilan, Jawa Tengah, dan menziarahinya.

Baca Juga :  Transformasi Bonek

Mas Jeihan pernah mati suri pada umur 4 tahun setelah jatuh dari tangga.
Sejak saat itu, pelukis kelahiran Ampel, Boyolali, Jawa Tengah, 26 September
1938, ini merasa berbeda dari anak-anak lain. Dia mengaku menikmati kehidupan
yang menyepi, tidak benar-benar punya teman yang karib, dan menikmati
kesendiriannya di depan kanvas dengan daya hidup, daya tahan, daya lawan, dan
daya mati. Dengan suwung. Kosong.

Di bulan Ramadan, pada 20 Juni 2017, Mas Jeihan memanggil saya untuk
dilukisnya di studio. Tidak sampai setengah jam, dia telah abadikan saya dengan
sepasang mata hitam, seperti gua gaib yang entah menuju ke mana. Dia pulaskan
warna merah, biru, dan kuning, memberi aura di badan saya dalam kanvas. Lukisan
itu hadiah terbaiknya dan menjadi satu di antara 14 lukisannya yang menghiasi
buku puisi saya, Surat Cinta dari Rindu.

Satu petuah Mas Jeihan terngiang di benak saya hingga kini. Dia berkata,
’’Hidup adalah tentang mitologi dan metodologi. Mitologi diciptakan dengan
spiritualitas, sedangkan metodologi diciptakan dengan kebudayaan.’’ Saya
bersila menghadap jenazah si pelukis mata kucing, yang diselimuti selembar kain
batik. Potretnya seperti menatap, teduh tapi tajam. Terima kasih pernah
menerima saya belajar. Terima kasih untuk hidupmu. (*)

(Penulis adalah budayawan)

Terpopuler

Artikel Terbaru