33.2 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Transformasi Bonek

BONEK alias bondo nekat memang bukan partai politik. Tapi inilah
fandom sepakbola terbesar di Indonesia. Bahkan diklaim terbesar di dunia. Ia
dikenal fanatik terhadap klubnya Persebaya. Juga dikenal dengan kenekatannya
dalam membela klub kecintaannya. Maka nama bonek indentik dengan karakternya.

Kenekatan bonek sempat melahirkan
image kurang baik terhadap kelompok suporter bola ini. Mereka tidak hanya arek
Suroboyo. Tapi juga dari daerah sekitarnya. Bahkan sekarang telah ada di
seluruh nusantara ada kumpulan bonek. Mereka adalah para perantau arek asli
Suroboyo. Juga ada bonek kampus. Bahkan bonek crazy rich.

Image kurang baik? Ya itu dulu.
Saat masih sering terjadi keributan antar supporter dan kerusuhan yang dipicu
kelompok yang mengatasnamakan bonek. Sampai sering diganggu di beberapa kota
setiap bonek balik dari nonton away.

Saya pernah kesulitan memahami
cara berpikir bonek. Ketika masih sering bikin ulah. Pernah ketika sudah pasti
menang dan juara, kurang beberapa menit bonek masuk lapangan.

Pertandingan dihentikan. Di luar
lapangan sejumlah oknum yang mengaku bonek bikin ulah. Membuat warga di sekitar
lapangan marah. Gelar juara terpegang. Tapi dinodai ulah sejumlah orang.

Beberapa tahun setelah tidak
menjadi Ketua Umum Persebaya, saya didatangi almarhum Wastomi. Dia ketua
Yayasan Suporter Surabaya. Mbah-e Bonek.
Untuk beberapa waktu lama.

Ia datang untuk minta maaf karena
pernah memusuhi saya. Saat saya menginisiasi korporatisasi Persebaya. Menjadi
badan usaha setelah tak lagi boleh menerima bantuan dana dari pemerintah.

Baca Juga :  Rasa Daging Manusia Menurut Para Kanibal – Part 4: Jorge Negromonte

Lho kok minta maaf? Ya. Ia merasa
saat itu diperalat untuk menentang gagasan tersebut. Padahal, ide itu merupakan
sesuatu yang niscaya. Ketika bola menuju ke arah industri olah raga.

Gagasan membuat PT Perseroan
Terbatas saat itu mental di tengah jalan. Bahkan saya pun akhirnya dilengserkan
dari jabatan Ketua Umum Persebaya. Padahal, kalau tak ditentang, Persebaya akan
menjadi yang pertama.

Bonek saat itu masih bisa
dipolitisisasi. Menjadi alat untuk kepentingan politik seseorang. Untuk
menjatuhkan atau mengangkat seseorang. Karena itu, bonek sempat menjadi
“partai politik” bola di Surabaya.

Di lapangan, perilaku bonek yang
usil masih sering terjadi. Misalnya, saling ejek dan melempari suporter lawan
dengan plastik berisi air seni. Apalagi jika melawan musuh bebuyutan seperti
Aremania.

Tapi itu dulu. Dulu sekali.

Bonek berhasil melakukan
transformasi paling cepat. Bahkan mungkin bersamaan dengan fenomena hilangnya holiganisme di Eropa. Mereka kini
menjadi suporter paling setia Persebaya yang mengkota.

Transformasi bonek tak hanya di
lapangan. Tapi juga di luar lapangan. Di lapangan, Bonek mampu menunjukkan
supporter paling solid dalam mendukung klubnya. Karena itu, stadion tak pernah
sepi saat laga. Juga selalu gegap gempita.

Amat jarang keusilan bonek dan
membikin ulah di lapangan terulang. Mereka saling menjaga satu sama lain.
Saling mengingatkan untuk tertib dan tak membuat ulah agar tak merugikan
klubnya.

Jika ada kelompok suporter yang
usil melempar penonton lain, mereka langsung teriak: ndeso….ndeso… Inilah sebutan untuk menunjukkan tingkat keadaban
sang pelaku.

Baca Juga :  Rasa Daging Manusia Menurut Para Kanibal – Part 9: Omaima Nelson

Dulu, chant-chant Bonek masih mengandung kekerasan verbal. Apalagi untuk
menyindir atau menunjukkan kebenciannya kepada kelompok suporter lain yang
menjadi musuhnya.

Kekerasan verbal dalam chant-chant maupun yel-yel Bonek di
lapangan kini tak muncul lagi. Bahkan tak jarang muncul syair-syair shalawatan
di lapangan. Mengesankan dan mengasikkan.

Transformasi ke perilaku yang
jauh lebih baik ini tampaknya juga untuk urusan di luar lapangan. Bonek tak
lagi bisa menjadi alat politik perseorangan. Seperti dahulu kala.

Meski demikian, Bonek bukannya
tidak berpolitik. Ia bisa menjadi kelompok penekan terhadap kebijakan rezim
sepakbola yang dianggap tidak adil dan merugikan klubnya.

Bahkan, inilah suporter yang
menjadi gerakan politik untuk mengubah kebijakan rezim regulasi bola. Saat,
Persebaya tak bisa tampil di liga akibat perseteruan para pemimpin bola di
negeri ini.

Bonek sensitif secara politik
terhadap kebijakan-kebijakan rezim bola. Tapi rasional dalam pilihan politik
lainnya. Mereka tak akan sulit dimobilisasi untuk kepentingan politik
seseorang.

Tapi tetap kritis terhadap
kebijakan yang menyangkut klub dan pengembangan sepakbola di daerahnya. Mereka
bersimpati kepada tokoh yang berjasa kepada klubnya. Sebaliknya bisa antipati
kepada tokoh yang merugikannya.

Nah, siapa tokoh yang dianggap
berjasa kepada Persebaya dan siapa yang telah dinilai merugikannya?
Sssst…jangan bilang-bilang dulu. Masih mau ada coblosan, he…he…

BONEK alias bondo nekat memang bukan partai politik. Tapi inilah
fandom sepakbola terbesar di Indonesia. Bahkan diklaim terbesar di dunia. Ia
dikenal fanatik terhadap klubnya Persebaya. Juga dikenal dengan kenekatannya
dalam membela klub kecintaannya. Maka nama bonek indentik dengan karakternya.

Kenekatan bonek sempat melahirkan
image kurang baik terhadap kelompok suporter bola ini. Mereka tidak hanya arek
Suroboyo. Tapi juga dari daerah sekitarnya. Bahkan sekarang telah ada di
seluruh nusantara ada kumpulan bonek. Mereka adalah para perantau arek asli
Suroboyo. Juga ada bonek kampus. Bahkan bonek crazy rich.

Image kurang baik? Ya itu dulu.
Saat masih sering terjadi keributan antar supporter dan kerusuhan yang dipicu
kelompok yang mengatasnamakan bonek. Sampai sering diganggu di beberapa kota
setiap bonek balik dari nonton away.

Saya pernah kesulitan memahami
cara berpikir bonek. Ketika masih sering bikin ulah. Pernah ketika sudah pasti
menang dan juara, kurang beberapa menit bonek masuk lapangan.

Pertandingan dihentikan. Di luar
lapangan sejumlah oknum yang mengaku bonek bikin ulah. Membuat warga di sekitar
lapangan marah. Gelar juara terpegang. Tapi dinodai ulah sejumlah orang.

Beberapa tahun setelah tidak
menjadi Ketua Umum Persebaya, saya didatangi almarhum Wastomi. Dia ketua
Yayasan Suporter Surabaya. Mbah-e Bonek.
Untuk beberapa waktu lama.

Ia datang untuk minta maaf karena
pernah memusuhi saya. Saat saya menginisiasi korporatisasi Persebaya. Menjadi
badan usaha setelah tak lagi boleh menerima bantuan dana dari pemerintah.

Baca Juga :  Rasa Daging Manusia Menurut Para Kanibal – Part 4: Jorge Negromonte

Lho kok minta maaf? Ya. Ia merasa
saat itu diperalat untuk menentang gagasan tersebut. Padahal, ide itu merupakan
sesuatu yang niscaya. Ketika bola menuju ke arah industri olah raga.

Gagasan membuat PT Perseroan
Terbatas saat itu mental di tengah jalan. Bahkan saya pun akhirnya dilengserkan
dari jabatan Ketua Umum Persebaya. Padahal, kalau tak ditentang, Persebaya akan
menjadi yang pertama.

Bonek saat itu masih bisa
dipolitisisasi. Menjadi alat untuk kepentingan politik seseorang. Untuk
menjatuhkan atau mengangkat seseorang. Karena itu, bonek sempat menjadi
“partai politik” bola di Surabaya.

Di lapangan, perilaku bonek yang
usil masih sering terjadi. Misalnya, saling ejek dan melempari suporter lawan
dengan plastik berisi air seni. Apalagi jika melawan musuh bebuyutan seperti
Aremania.

Tapi itu dulu. Dulu sekali.

Bonek berhasil melakukan
transformasi paling cepat. Bahkan mungkin bersamaan dengan fenomena hilangnya holiganisme di Eropa. Mereka kini
menjadi suporter paling setia Persebaya yang mengkota.

Transformasi bonek tak hanya di
lapangan. Tapi juga di luar lapangan. Di lapangan, Bonek mampu menunjukkan
supporter paling solid dalam mendukung klubnya. Karena itu, stadion tak pernah
sepi saat laga. Juga selalu gegap gempita.

Amat jarang keusilan bonek dan
membikin ulah di lapangan terulang. Mereka saling menjaga satu sama lain.
Saling mengingatkan untuk tertib dan tak membuat ulah agar tak merugikan
klubnya.

Jika ada kelompok suporter yang
usil melempar penonton lain, mereka langsung teriak: ndeso….ndeso… Inilah sebutan untuk menunjukkan tingkat keadaban
sang pelaku.

Baca Juga :  Rasa Daging Manusia Menurut Para Kanibal – Part 9: Omaima Nelson

Dulu, chant-chant Bonek masih mengandung kekerasan verbal. Apalagi untuk
menyindir atau menunjukkan kebenciannya kepada kelompok suporter lain yang
menjadi musuhnya.

Kekerasan verbal dalam chant-chant maupun yel-yel Bonek di
lapangan kini tak muncul lagi. Bahkan tak jarang muncul syair-syair shalawatan
di lapangan. Mengesankan dan mengasikkan.

Transformasi ke perilaku yang
jauh lebih baik ini tampaknya juga untuk urusan di luar lapangan. Bonek tak
lagi bisa menjadi alat politik perseorangan. Seperti dahulu kala.

Meski demikian, Bonek bukannya
tidak berpolitik. Ia bisa menjadi kelompok penekan terhadap kebijakan rezim
sepakbola yang dianggap tidak adil dan merugikan klubnya.

Bahkan, inilah suporter yang
menjadi gerakan politik untuk mengubah kebijakan rezim regulasi bola. Saat,
Persebaya tak bisa tampil di liga akibat perseteruan para pemimpin bola di
negeri ini.

Bonek sensitif secara politik
terhadap kebijakan-kebijakan rezim bola. Tapi rasional dalam pilihan politik
lainnya. Mereka tak akan sulit dimobilisasi untuk kepentingan politik
seseorang.

Tapi tetap kritis terhadap
kebijakan yang menyangkut klub dan pengembangan sepakbola di daerahnya. Mereka
bersimpati kepada tokoh yang berjasa kepada klubnya. Sebaliknya bisa antipati
kepada tokoh yang merugikannya.

Nah, siapa tokoh yang dianggap
berjasa kepada Persebaya dan siapa yang telah dinilai merugikannya?
Sssst…jangan bilang-bilang dulu. Masih mau ada coblosan, he…he…

Terpopuler

Artikel Terbaru