PROKALTENG.CO-Pameran Kolaborasi ISA Art Galery “Fold In Time” mengusung tema Menerjemahkan Kartini, Menggunakan Media Representasi Fenomena Negeri. Tiga galeri seni dari tiga negara Asia Tenggara berkolaborasi menggelar pameran lukisan. Pameran ini mempertemukan 13 seniman perempuan se-Asia Tenggara. Terdapat tiga kesamaan dari ke-13 seniman: perempuan, diaspora, dan usia menuju ke 30 tahun.
Cerapan yang muncul dari dua lukisan Sinta Tantra itu adalah lembut menghanyutkan. Dua lukisan yang terpajang di ISA Art Gallery itu berjudul Burning with a Bright, Fierce Flame dan Let us have great dreams.
Pada lukisan dengan judul pertama, terdapat bentuk semacam bunga berwarna biru. Yang unik, bentuknya seakan berbeda, namun tetap mengesankan sebuah bunga. Latar warna krem berbentuk mirip bulan menambah keindahan kombinasi ini.
Di kanan atas, terdapat titik atau bulatan berwarna krem. Titik ini juga ada dalam lukisan kedua, yang seakan menggabungkan keduanya menjadi satu seri.
Lukisan kedua bernuansa ceria dengan kombinasi warna pink dan merah muda. Bentuknya masih mirip bunga, tetapi terbalik, seakan menggambarkan bahwa bagaimanapun keadaan bunga itu tetaplah indah.
Digital Marketing ISA Art Gallery, Amri, menuturkan bahwa dua lukisan Sinta Tantra itu terinspirasi dari ibu kita, Kartini. “Sinta membaca buku Habis Gelap Terbitlah Terang, setelahnya melukis kedua lukisan ini,” paparnya.
Dalam lukisan ini, lanjutnya, Sinta menangkap nuansa kepahlawanan dari Kartini. “Sinta ini perempuan asal Bali, kelahiran New York,” ujarnya.
Sinta merupakan diaspora yang kembali ke Bali dan mengeksplorasi berbagai bentuk tempat asal genetiknya, seperti bunga dan bulan di Bali. “Kini dia mengeksplorasi negerinya Indonesia,” tuturnya.
Serupa dengan perupa Jill Paz, seniman asal Filipina yang keturunan Kanada. Jill mengeksplorasi kardus sebagai media melukisnya, yang mendasari karakter karyanya yang unik.
“Kenapa dia menggunakan kardus? Ternyata kardus ini merupakan representasi dari orang Filipina yang merantau ke luar negeri, entah ke Amerika Serikat atau Hongkong. Biasanya perantau Filipina membawa kotak kardus besar saat balik bayan – bahasa Filipina untuk pulang kampung. Di dalam kotak kardus itu terdapat oleh-oleh bagi keluarga di kampung,” paparnya.
Dua lukisan Jill Paz yang berjudul Dunes dan Woods mengesankan. Tanpa warna yang ramai, namun justru mampu menunjukkan pemandangan yang begitu kentara. Penikmat lukisan masih merasakan kuatnya media kardus itu.
Bahkan, dalam lukisan berjudul Woods, gambaran pepohonan terlihat nyata, seakan tengah memandang pepohonan di hutan saat malam. Terasa nuansa gotik dalam lukisan itu.
Amri mengatakan, pameran ini merupakan kolaborasi antara ISA Art Gallery di Jakarta, Mono8 Gallery di Manila, dan Richard Koh Fine Art di Singapura dan Bangkok. “Memang kolaborasi ini penuh tantangan,” paparnya.
Namun begitu, dalam pergulatan itu ditemukan kesamaan dari 13 seniman, yakni perempuan, diaspora, dan berusia di bawah 30 tahun. “Mereka adalah seniman perempuan harapan Asia Tenggara,” tegasnya.
Sementara Kurator Pameran, James Luigi Tana, menuturkan bahwa hubungan kembali dengan masa lalu yang dilakukan para seniman ini melalui perjalanan untuk mengenali siapa mereka dan dari mana berasal membentuk identitas dan sejarahnya. “Inilah kerumitan dunia, mirip dengan satu bentuk seni yang berpindah ke bentuk seni lainnya,” tegasnya. (idr/jpg)