Oleh ADLI DZIL IKRAM
—
Dalam setahun, pameran di Kota Banda Aceh dapat dihitung dengan jari. Biasanya diadakan di tempat-tempat pemerintah seperti Museum Aceh, Museum Tsunami, taman budaya, atau ruang-ruang komunitas.
PADA pengujung 2023, ada yang sedikit berbeda dari tren pameran di Aceh. Sebuah pameran berjudul Sulam Silam dihadirkan melalui proses kuratorial bercampur pedagogi yang terbilang unik. Selain itu, medium serta konsep dan eksplorasi ruang pameran dibikin untuk menjumpai publik.
Gagasan pameran ini lahir atas refleksi terhadap narasi sejarah dominan di Aceh yang selama ini cenderung berfokus pada tokoh, peristiwa besar, kekerasan, dan perang. Putra Hidayatullah yang berlatar belakang kurator seni sekaligus pengajar di Prodi Sejarah dan Kebudayaan UIN Ar-Raniry berkolaborasi dengan mahasiswa di mata kuliah manajemen arsip dan museum yang diampunya. Selama satu semester ia dan mahasiswa melakukan riset bersama atas foto-foto lama. Dimulai sejak masa kolonialisme hingga pasca kemerdekaan. Dengan menekankan prinsip ”tidak menggarami laut” atas narasi yang sudah ada, mereka menemukan narasi-narasi kecil yang kemudian dibahas di ruang kelas yang menjadi bagian dari proses kuratorial. Di akhir semester karya arsip ini dihadirkan ke ruang publik dalam bentuk pameran. Proses seperti ini dapat dibaca sebagai upaya kolaboratif bersama mahasiswa untuk meninjau dan mendefinisikan ulang makna arsip.
Sulam Silam menawarkan konsep yang segar dari segi medium atau penyajian karya, setidaknya dalam ekosistem seni di Aceh. Foto-foto tersebut disajikan secara artistik. Sebagian besar dalam stoples dan sebagian lainnya diolah menjadi hiasan yang menarik mata (eye-catching). Jika pada umumnya di warung kopi, restoran, atau kafe, stoples yang ada di meja-meja berisi kue atau kerupuk, kali ini stoples berisi karya olahan dari arsip beserta narasi foto diletakkan di meja-meja Cafe Soba House Spaces, sebuah kafe dekat Taman Sari Banda Aceh yang merupakan bekas perumahan pegawai kolonial Belanda di masa lalu.
Dalam stoples dan hiasan tersebut, ada beberapa narasi yang tak umum dibicarakan hadir dalam pameran ini. Beberapa yang terlihat jelas adalah sejarah tebu di daratan tinggi Gayo. Sebelum terkenal dengan daerah penghasil kopi terbaik, daratan tinggi Gayo juga terkenal sebagai penghasil tebu. Narasi tentang sejarah seni Aceh juga dihadirkan. Yakni, foto tentang pemain rapa’i yang tampil di Amerika dan Spanyol pada tahun 1990-an. Melalui foto kereta api pada masa kolonial serta mobil dan sepeda di depan ruko di Banda Aceh, pameran ini ingin menceritakan sejarah teknologi transportasi di Aceh.
Selain itu, ada sejarah sinema. Foto bioskop Puspa yang pernah beroperasi di Lhokseumawe. Foto ini bercerita tentang sejarah bioskop yang pernah beroperasi di Aceh. Dalam percakapan publik di Aceh, terutama di media sosial, isu tentang bioskop sering kali jadi perbincangan pro-kontra tentang wacana hadirnya kembali bioskop di Aceh. Dengan adanya narasi tentang bioskop di dalam stoples, saya rasa Sulam Silam memberikan kesempatan bagi pengunjung kafe untuk merefleksikan perdebatan itu melalui narasi sejarah.
Foto-foto yang bersifat personal dari album keluarga juga ditampilkan. Tidak lepas dari foto ini adalah gambaran menyiratkan tentang sejarah busana di Aceh. Ada ragam model busana perempuan pada masa lalu; ada yang menutup kepala dan ada yang terbuka, baik di ruang privat maupun publik. Senada dengan narasi di atas adalah sebuah karya yang memperlihatkan foto baliho iklan rokok tahun 1980-an yang memperlihatkan perempuan merokok di bagian depan Sinbun Sibreh, salah satu toko terkenal di Aceh. Hal ini memperlihatkan perubahan sosial, terutama bagaimana perempuan di Aceh digambarkan di ruang publik.
Setiap pengunjung kafe akan melihat karya ketika ia duduk. Melalui konsep seperti ini, pameran ini ingin membajak percakapan pengunjung di meja kafe dari bergosip menjadi terdistraksi dengan pembicaraan tentang arsip yang ada di hadapan mereka. Alih-alih pengunjung mendatangi pameran untuk melihat objek-objek sebagaimana lazimnya, Sulam Silam membentuk pola berbeda di mana objek-objek (stoples berisi arsip) mendatangi pengunjung. Namun, konsep Sulam Silam ini terdapat sedikit kelemahan di sisi alur yang tak teratur. Apabila pengunjung ingin melihat keseluruhan karya, dia harus duduk dan berpindah ke setiap meja yang berbeda-beda. Seorang teman yang berkeliling untuk mencari ruang pameran hampir saja pulang jika ia tidak menelepon saya. Ia mengira pamerannya telah berakhir, padahal karya-karya telah disebarkan di atas meja-meja kafe.
Mungkin Sulam Silam tak terlalu mempersoalkan hal itu mengingat tujuannya adalah membajak meja pengunjung kafe. Namun, jika begitu, bagaimana mengetahui pengunjung telah membicarakan karya tersebut? Bagaimana kalau pengunjung tidak memedulikannya? Pada sisi ini, saya melihat Sulam Silam juga sedang melakukan semacam eksperimen sosial, di mana semua perlakuan terhadap karya yang terpajang di atas meja adalah sebuah pengetahuan baru bagi ekosistem seni di Banda Aceh. Di sisi lain, konsep unik ini juga dapat dibaca sebagai alternatif kecil terhadap fenomena jamak tentang berjaraknya pengetahuan yang dihasilkan institusi kampus dengan masyarakat.
Sulam Silam memberikan narasi sejarah yang sangat jarang dibicarakan dan konsep pameran yang segar dalam konteks seni Aceh. Semoga pameran arsip dan seni kreatif seperti ini dapat terjadi di antara kota-kota di Indonesia dengan menghadirkan narasi-narasi sejarah yang jarang dibicarakan dan dapat terhubung satu sama lain. (*)
—
ADLI DZIL IKRAM, Bergiat di Komunitas Tikar Pandan dan Sajan, kolektif seni yang fokus pada isu seni, budaya visual, dan ruang kota.