26.3 C
Jakarta
Sunday, November 24, 2024

Menghargai Kritik, Membangun Demokrasi

DEMOKRASI dan kritik adalah satu kesatuan tak terpisahkan. Keduanya saling berkelindan. Demokrasi tanpa kritik hambar. Sementara kritik tanpa ruang kebebasan yang disediakan demokrasi tak akan berkembang. Baik sebagai argumen logis ataupun sebagai wacana dialektis yang mengiringi kehidupan politik kebangsaan.

Karena itu, tak salah jika kita menganggap bahwa demokrasi yang ”berhasil” adalah demokrasi yang menghargai ”kritik” setiap subjek demokrasi. Lalu memaknainya sebagai sebuah kepedulian bersama untuk membangun dunia politik dan kebijakan publik yang efisien, terukur, dan terjangkau untuk semua subjek.

Karena itu, dalam rangka mencapai kehidupan berbangsa yang demokratis, kritik harus selalu dirawat dan dihargai. Tidak boleh dibungkam dan dikucilkan, tak terkecuali subjek-subjek yang aktif melontarkan kritik. Di sejumlah negara maju, yang indeks demokrasinya sudah mapan, kritik disambut dengan tangan terbuka, diterima sebagai sebuah ”gagasan segar” dan masukan untuk memperbaiki kehidupan politik. Kritik dipahami secara esensial, yakni untuk mendandani dan merias kehidupan politik agar cantik dan berwarna. Setali dua uang dengan apa yang diharapkan dan dicita-citakan masyarakat.

Namun, dalam kehidupan demokrasi kita, penghargaan terhadap kritik itu masih menjadi pertanyaan besar. Dengan kata lain, sebagai negara yang bercita-cita untuk membangun kehidupan politik yang lebih demokratis, kita belum benar-benar bisa menghargai kritik. Kritik sering kali dijustifikasi sebagai ekspresi kebencian, tidak dipandang sebagai bentuk kepedulian setiap subjek atas objek, yakni kehidupan demokrasi. Padahal, sebagaimana ditegaskan di muka, keberhasilan demokrasi suatu bangsa ialah berbanding lurus dengan penghargaan setiap subjek negara dan kekuasaan atas kritik yang ada.

Sikap tidak menghargainya subjek kekuasaan dan sebagian subjek negara terhadap kritik itu sangat tampak dalam beberapa tahun terakhir. Yang ditandai dengan adanya fenomena pembungkaman, penangkapan para aktivis, intimidasi, dan peretasan media. Pada 21 Agustus 2020, media yang terbilang ekstrem dalam mengawasi dan mengontrol kekuasaan, yakni Tempo.co, diretas. Bahkan, peretasan itu kabarnya terjadi hingga dua kali. Pada saat bersamaan, sebuah media yang tak kalah kritis, yakni Tirto.id, juga mengalami peretasan.

Baca Juga :  Mencari Alternatif Sumber Pertumbuhan Ekonomi

Yang terbaru, kasus peretasan juga dialami lima orang pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) setelah mengeluarkan meme bertulisan ”Jokowi: The King of Lip Service”. Selain itu, sejumlah hujatan datang dari beberapa pihak, netizen, dan sebagian malah dari subjek negara lainnya dan termasuk juga para buzzer di dalamnya. Fenomena tersebut, dalam hemat penulis, makin mempertegas kondisi politik kita yang tidak bisa menghargai ”kritik”. Sekali lagi, pada titik ini kritik selalu saja dianggap sebagai ekspresi kebencian yang berusaha menjatuhkan marwah kekuasaan negara.

Akibatnya, sebagai sesuatu yang berkelindan dengan kritik, kedudukan para pengkritik (anggaplah kritikus) selalu disamakan dengan para musuh negara. Bukan dimaknai sebagai sebuah keaktifan para subjek dalam mengawasi dan mengontrol kehidupan politik. Adanya persepsi yang menyamaratakan para pengkritik dengan musuh negara ini sungguh fatal dan bahaya. Sebab, dengan demikian, pada akhirnya subjek-subjek yang terbilang aktif melayangkan kritik akan dipersekusi oleh subjek lain yang merupakan bagian dari pendukung fanatik pemerintah dan kekuasaan. Di samping juga kekuasaan turut serta memersekusi melalui pemidanaan dan lainnya.

Hasil survei Indikator Politik Indonesia dan Komnas HAM (2020) menemukan fakta bahwa akhir-akhir ini masyarakat ”makin takut untuk mengkritik”. Sebanyak 47,7 persen responden Indikator menyatakan agak setuju bahwa masyarakat makin takut untuk mengkritik. Sementara 21,9 responden menyatakan sangat setuju akan adanya fenomena ketakutan masyarakat dalam mengkritik. Dalam survei yang sama, Indikator juga menanyakan soal setuju tidaknya warga makin sulit berdemonstrasi. Hasilnya, 20,3 responden sepakat bahwa masyarakat makin takut untuk berdemonstrasi. Dan 53 responden menyatakan agak setuju.

Baca Juga :  Adakah ”Biden Effect” di Konsensus Pajak Digital?

Sementara itu, hasil survei Komnas HAM yang dilakukan pada Juli hingga Agustus 2020 dan melibatkan 1.200 responden di 34 provinsi menemukan juga fakta tentang adanya ketakutan masyarakat untuk mengkritik. Sebanyak 29 persen responden Komnas HAM merasa takut mengkritik pemerintah. Lalu, 36,2 persen responden lainnya merasa takut melayangkan kritik melalui kanal-kanal internet maupun media sosial. Demikian juga terkait dengan mimbar dan kebebasan akademik, yang menurut Komnas HAM juga mulai terkikis 20,2 persen. Temuan Indikator dan Komnas HAM adalah fakta yang makin memperkuat fenomena sikap politik kita yang tidak bisa menghargai kritik.

Pembangunan demokrasi tidak akan pernah tegak lurus dan tidak akan mencapai puncaknya jika semua kita (subjek sesama subjek dan lebih-lebih kekuasaan politik) belum bisa menghargai dan menghayati arti penting dari kritik itu. Kritik adalah jantung demokrasi, yang setiap detaknya menandai hidupnya demokrasi. Di sisi yang berbeda, kritik juga adalah nutrisi yang akan memberikan energi terhadap organ-organ demokrasi –dan juga yang akan memperbaiki sel-sel demokrasi kita yang rusak.

Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 kita telah memberikan penghargaan luar biasa terhadap kritik. Dalam pasal 28E ayat (3) UUD 1945 ditegaskan, bahwa ”Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Karena itu, sekarang adalah giliran kita untuk menghargai kritik tersebut. Mari hargai setiap kritik sebagaimana kita menghargai gagasan dan pikiran-pikiran kita sendiri. Meminjam bahasa Debasih Mrida: ”Jika seseorang mengkritik Anda, beri dia pujian.” Dengan demikian, niscaya akan lebih bermutu kehidupan demokrasi ini. Wallahu a’lam. (*)

(AHMAD FARISI, Pengamat politik dan peneliti di Garawiksa Institute Jogjakarta)

DEMOKRASI dan kritik adalah satu kesatuan tak terpisahkan. Keduanya saling berkelindan. Demokrasi tanpa kritik hambar. Sementara kritik tanpa ruang kebebasan yang disediakan demokrasi tak akan berkembang. Baik sebagai argumen logis ataupun sebagai wacana dialektis yang mengiringi kehidupan politik kebangsaan.

Karena itu, tak salah jika kita menganggap bahwa demokrasi yang ”berhasil” adalah demokrasi yang menghargai ”kritik” setiap subjek demokrasi. Lalu memaknainya sebagai sebuah kepedulian bersama untuk membangun dunia politik dan kebijakan publik yang efisien, terukur, dan terjangkau untuk semua subjek.

Karena itu, dalam rangka mencapai kehidupan berbangsa yang demokratis, kritik harus selalu dirawat dan dihargai. Tidak boleh dibungkam dan dikucilkan, tak terkecuali subjek-subjek yang aktif melontarkan kritik. Di sejumlah negara maju, yang indeks demokrasinya sudah mapan, kritik disambut dengan tangan terbuka, diterima sebagai sebuah ”gagasan segar” dan masukan untuk memperbaiki kehidupan politik. Kritik dipahami secara esensial, yakni untuk mendandani dan merias kehidupan politik agar cantik dan berwarna. Setali dua uang dengan apa yang diharapkan dan dicita-citakan masyarakat.

Namun, dalam kehidupan demokrasi kita, penghargaan terhadap kritik itu masih menjadi pertanyaan besar. Dengan kata lain, sebagai negara yang bercita-cita untuk membangun kehidupan politik yang lebih demokratis, kita belum benar-benar bisa menghargai kritik. Kritik sering kali dijustifikasi sebagai ekspresi kebencian, tidak dipandang sebagai bentuk kepedulian setiap subjek atas objek, yakni kehidupan demokrasi. Padahal, sebagaimana ditegaskan di muka, keberhasilan demokrasi suatu bangsa ialah berbanding lurus dengan penghargaan setiap subjek negara dan kekuasaan atas kritik yang ada.

Sikap tidak menghargainya subjek kekuasaan dan sebagian subjek negara terhadap kritik itu sangat tampak dalam beberapa tahun terakhir. Yang ditandai dengan adanya fenomena pembungkaman, penangkapan para aktivis, intimidasi, dan peretasan media. Pada 21 Agustus 2020, media yang terbilang ekstrem dalam mengawasi dan mengontrol kekuasaan, yakni Tempo.co, diretas. Bahkan, peretasan itu kabarnya terjadi hingga dua kali. Pada saat bersamaan, sebuah media yang tak kalah kritis, yakni Tirto.id, juga mengalami peretasan.

Baca Juga :  Mencari Alternatif Sumber Pertumbuhan Ekonomi

Yang terbaru, kasus peretasan juga dialami lima orang pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) setelah mengeluarkan meme bertulisan ”Jokowi: The King of Lip Service”. Selain itu, sejumlah hujatan datang dari beberapa pihak, netizen, dan sebagian malah dari subjek negara lainnya dan termasuk juga para buzzer di dalamnya. Fenomena tersebut, dalam hemat penulis, makin mempertegas kondisi politik kita yang tidak bisa menghargai ”kritik”. Sekali lagi, pada titik ini kritik selalu saja dianggap sebagai ekspresi kebencian yang berusaha menjatuhkan marwah kekuasaan negara.

Akibatnya, sebagai sesuatu yang berkelindan dengan kritik, kedudukan para pengkritik (anggaplah kritikus) selalu disamakan dengan para musuh negara. Bukan dimaknai sebagai sebuah keaktifan para subjek dalam mengawasi dan mengontrol kehidupan politik. Adanya persepsi yang menyamaratakan para pengkritik dengan musuh negara ini sungguh fatal dan bahaya. Sebab, dengan demikian, pada akhirnya subjek-subjek yang terbilang aktif melayangkan kritik akan dipersekusi oleh subjek lain yang merupakan bagian dari pendukung fanatik pemerintah dan kekuasaan. Di samping juga kekuasaan turut serta memersekusi melalui pemidanaan dan lainnya.

Hasil survei Indikator Politik Indonesia dan Komnas HAM (2020) menemukan fakta bahwa akhir-akhir ini masyarakat ”makin takut untuk mengkritik”. Sebanyak 47,7 persen responden Indikator menyatakan agak setuju bahwa masyarakat makin takut untuk mengkritik. Sementara 21,9 responden menyatakan sangat setuju akan adanya fenomena ketakutan masyarakat dalam mengkritik. Dalam survei yang sama, Indikator juga menanyakan soal setuju tidaknya warga makin sulit berdemonstrasi. Hasilnya, 20,3 responden sepakat bahwa masyarakat makin takut untuk berdemonstrasi. Dan 53 responden menyatakan agak setuju.

Baca Juga :  Adakah ”Biden Effect” di Konsensus Pajak Digital?

Sementara itu, hasil survei Komnas HAM yang dilakukan pada Juli hingga Agustus 2020 dan melibatkan 1.200 responden di 34 provinsi menemukan juga fakta tentang adanya ketakutan masyarakat untuk mengkritik. Sebanyak 29 persen responden Komnas HAM merasa takut mengkritik pemerintah. Lalu, 36,2 persen responden lainnya merasa takut melayangkan kritik melalui kanal-kanal internet maupun media sosial. Demikian juga terkait dengan mimbar dan kebebasan akademik, yang menurut Komnas HAM juga mulai terkikis 20,2 persen. Temuan Indikator dan Komnas HAM adalah fakta yang makin memperkuat fenomena sikap politik kita yang tidak bisa menghargai kritik.

Pembangunan demokrasi tidak akan pernah tegak lurus dan tidak akan mencapai puncaknya jika semua kita (subjek sesama subjek dan lebih-lebih kekuasaan politik) belum bisa menghargai dan menghayati arti penting dari kritik itu. Kritik adalah jantung demokrasi, yang setiap detaknya menandai hidupnya demokrasi. Di sisi yang berbeda, kritik juga adalah nutrisi yang akan memberikan energi terhadap organ-organ demokrasi –dan juga yang akan memperbaiki sel-sel demokrasi kita yang rusak.

Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 kita telah memberikan penghargaan luar biasa terhadap kritik. Dalam pasal 28E ayat (3) UUD 1945 ditegaskan, bahwa ”Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Karena itu, sekarang adalah giliran kita untuk menghargai kritik tersebut. Mari hargai setiap kritik sebagaimana kita menghargai gagasan dan pikiran-pikiran kita sendiri. Meminjam bahasa Debasih Mrida: ”Jika seseorang mengkritik Anda, beri dia pujian.” Dengan demikian, niscaya akan lebih bermutu kehidupan demokrasi ini. Wallahu a’lam. (*)

(AHMAD FARISI, Pengamat politik dan peneliti di Garawiksa Institute Jogjakarta)

Terpopuler

Artikel Terbaru