33.2 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Adakah ”Biden Effect” di Konsensus Pajak Digital?

JULI 2021 akan menjadi momen terpenting dalam penentuan konsensus pajak digital yang tak kunjung tercapai. Hal itu lantaran inclusive framework OECD yang beranggota 139 negara akan memutuskan kesepakatan pajak digital dunia yang telah sekian lama menemui kebuntuan. Jika konsensus tercapai, mimpi indah seluruh negara sumber, termasuk Indonesia, untuk memperoleh hak pemajakan yang lebih adil tanpa mengesampingkan hak pemajakan negara domisili segera menjadi kenyataan.

Ada dua alasan penting konsensus pajak digital menjadi isu pajak internasional yang mendesak untuk dituntaskan. Pertama, diduga ada unsur ketidakadilan pemajakan terhadap perusahaan-perusahaan digital raksasa dunia antara negara sumber (negara yang menjadi sumber penghasilan perusahaan digital dunia) dan negara domisili (negara domisili perusahaan digital dunia).

Mengutip Darussalam dan Danny Septriadi (2008), OECD model tax treaty yang dipakai banyak negara lebih mendukung hak pemajakan dilakukan negara domisili jika penghasilan diperoleh tidak melalui bentuk usaha tetap (BUT). Hal itu lantaran aturan penentuan subjek pajak (pajak penghasilan) digital secara internasional masih mewajibkan kehadiran fisik (physical presence) melalui ada atau tidaknya BUT.

Namun, teknologi sekarang memungkinkan perusahaan digital di sebuah negara melakukan usaha di negara lain tanpa adanya kehadiran fisik (BUT). Melainkan dengan kehadiran ekonomi signifikan (significant economic presence). Ketentuan itu akhirnya berdampak lebih menguntungkan negara domisili dan merugikan negara sumber. Jadi, OECD model tax treaty tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman sehingga mesti disesuaikan.

Kedua, pembayaran pajak perusahaan-perusahaan digital sebenarnya sangat ditunggu hampir seluruh negara di dunia yang terdampak pandemi Covid-19. Hal itu lantaran hilangnya potensi pajak di banyak negara di tengah kelesuan ekonomi. Sementara itu, platform bisnis digital menjadi salah satu the potential winner yang memperoleh banyak keuntungan di saat lockdown dan penerapan social distancing seperti sekarang.

 

Harapan Bernama Biden Effect

 

Sayangnya, berbagai upaya negosiasi mencari kesepakatan global yang dimotori Uni Eropa melalui OECD/G20 dan AS justru semakin jauh panggang dari api. Trump (2020) pernah mengancam akan melakukan perang dagang terhadap negara mana pun yang mengenakan pajak digital. Hal itu wajar lantaran mayoritas perusahaan raksasa digital dunia kebetulan berasal dari AS sehingga pengenaan pajak digital jelas berpengaruh terhadap penerimaan AS.

Baca Juga :  Pelayanan Terpadu untuk Warga Desa

Ancaman Trump bukan gertak sambal belaka. Hal itu dibuktikan dengan rencana pengenaan bea masuk 100 persen atas produk-produk ekspor Prancis jika Negara Mode itu mengenakan GAFA (Google Apple Facebook Amazon) tax terhadap perusahaan raksasa digital dunia. Hal yang sama akan dilakukan Trump kepada Italia dan Inggris. Bahkan, tahun lalu pihak AS menarik diri dari negosiasi dengan OECD karena memilih fokus pada pemilihan presiden dan wakil presiden.

Akan tetapi, kontestasi itu sekarang sudah selesai dan keadaan mulai berubah. Ada ”Biden effect” yang telah tampak dan dapat diharapkan berkontribusi secara nyata terhadap pencapaian konsensus pajak digital. Kemenangan Biden dan Kamala Harris sebagai presiden dan wakil presiden ke-46 AS seolah memberikan ekspektasi yang tinggi bagi dunia internasional. Contohnya adalah penguatan saham di banyak bursa dunia seperti Nasdaq, Dow Jones (AS), dan Nikkei (Jepang).

Hal yang sama terjadi di Hang Seng (Hongkong), S&P/ASX 200 (Australia), DAX (Jerman), CAC 40 (Prancis), dan IDX (Indonesia). ”Biden effect” ternyata tidak hanya berpengaruh terhadap bursa saham dunia. Bahkan, Bloomberg juga menyatakan kemenangan Biden mendongkrak harga minyak dan emas internasional. Uni Eropa pun berharap AS kembali bergabung dalam Perjanjian Paris tentang perubahan iklim yang sempat ditinggal Trump. Akankah ”Biden effect” berlanjut ke ranah pajak digital?

Pro-Kontra Dalam Negeri

Menurut hemat penulis, ada sinyal-sinyal positif dalam kebijakan ekonomi era Biden atau Bidenomics yang mendukung tercapainya konsensus pajak digital. Pertama, penunjukan Janet Yellen sebagai menteri keuangan AS yang sangat pro terhadap penerapan tarif pajak digital minimum global. Bahkan, dalam beberapa kesempatan, Yellen menyatakan komitmennya untuk menyelesaikan sengketa pajak ekonomi digital dunia.

Baca Juga :  Kepala Daerah, SDM, dan Infrastruktur

Kedua, Biden juga membuat tim perpajakan internasional yang mumpuni. Hal itu terlihat dari penunjukan Prof Kimberly Clausing sebagai ketua tim analisis Departemen Keuangan AS di awal Februari lalu. Kim (2020) menyadari sepenuhnya bahwa polemik pengenaan pajak digital dunia telah mengakibatkan ketegangan politik dan ekonomi antarnegara maju di dunia yang sangat berdampak pada negara-negara lain di dunia. Sudah saatnya ketegangan itu diakhiri untuk perbaikan ekonomi global.

Ketiga, menaikkan tarif pajak korporasi dari 21 persen menjadi 28 persen. Hal itu dilakukan untuk membiayai pemulihan ekonomi karena dampak pandemi dan pembangunan infrastruktur fisik yang lebih baik. Nah, konsensus pajak digital rencananya digunakan Biden untuk mencegah pengalihan keuntungan atau usaha ke luar AS pasca kenaikan tarif pajak korporasi seperti yang dikhawatirkan banyak pihak.

Secara logika, hal itu sangat tepat karena dunia internasional juga menerapkan tarif pajak digital minimum global. Sehingga perusahaan digital dunia yang kebetulan mayoritas berasal dari AS akan dihadapkan pada dua pilihan. Pilihan itu adalah dikenakan tarif pajak korporasi lebih tinggi di AS atau dikenakan tarif pajak digital minimum global di luar AS.

Mengutip pendapat Sri Mulyani (2021), kebijakan ekonomi era Biden yang mendukung stabilisasi sistem perpajakan internasional dengan penetapan tarif pajak minimum global justru mendapat tantangan secara politik dari dalam negerinya. Jadi, sangat menarik menonton sepak terjang Yellen dan timnya untuk mengubah kebijakan pajak domestik dan internasional AS. Namun, satu yang pasti, ”Biden effect” menjadi salah satu kunci penting untuk mempercepat penyelesaian polemik pajak digital dunia. (*)

 

*) Indrajaya Burnama, Staf Direktorat Jenderal Pajak

JULI 2021 akan menjadi momen terpenting dalam penentuan konsensus pajak digital yang tak kunjung tercapai. Hal itu lantaran inclusive framework OECD yang beranggota 139 negara akan memutuskan kesepakatan pajak digital dunia yang telah sekian lama menemui kebuntuan. Jika konsensus tercapai, mimpi indah seluruh negara sumber, termasuk Indonesia, untuk memperoleh hak pemajakan yang lebih adil tanpa mengesampingkan hak pemajakan negara domisili segera menjadi kenyataan.

Ada dua alasan penting konsensus pajak digital menjadi isu pajak internasional yang mendesak untuk dituntaskan. Pertama, diduga ada unsur ketidakadilan pemajakan terhadap perusahaan-perusahaan digital raksasa dunia antara negara sumber (negara yang menjadi sumber penghasilan perusahaan digital dunia) dan negara domisili (negara domisili perusahaan digital dunia).

Mengutip Darussalam dan Danny Septriadi (2008), OECD model tax treaty yang dipakai banyak negara lebih mendukung hak pemajakan dilakukan negara domisili jika penghasilan diperoleh tidak melalui bentuk usaha tetap (BUT). Hal itu lantaran aturan penentuan subjek pajak (pajak penghasilan) digital secara internasional masih mewajibkan kehadiran fisik (physical presence) melalui ada atau tidaknya BUT.

Namun, teknologi sekarang memungkinkan perusahaan digital di sebuah negara melakukan usaha di negara lain tanpa adanya kehadiran fisik (BUT). Melainkan dengan kehadiran ekonomi signifikan (significant economic presence). Ketentuan itu akhirnya berdampak lebih menguntungkan negara domisili dan merugikan negara sumber. Jadi, OECD model tax treaty tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman sehingga mesti disesuaikan.

Kedua, pembayaran pajak perusahaan-perusahaan digital sebenarnya sangat ditunggu hampir seluruh negara di dunia yang terdampak pandemi Covid-19. Hal itu lantaran hilangnya potensi pajak di banyak negara di tengah kelesuan ekonomi. Sementara itu, platform bisnis digital menjadi salah satu the potential winner yang memperoleh banyak keuntungan di saat lockdown dan penerapan social distancing seperti sekarang.

 

Harapan Bernama Biden Effect

 

Sayangnya, berbagai upaya negosiasi mencari kesepakatan global yang dimotori Uni Eropa melalui OECD/G20 dan AS justru semakin jauh panggang dari api. Trump (2020) pernah mengancam akan melakukan perang dagang terhadap negara mana pun yang mengenakan pajak digital. Hal itu wajar lantaran mayoritas perusahaan raksasa digital dunia kebetulan berasal dari AS sehingga pengenaan pajak digital jelas berpengaruh terhadap penerimaan AS.

Baca Juga :  Pelayanan Terpadu untuk Warga Desa

Ancaman Trump bukan gertak sambal belaka. Hal itu dibuktikan dengan rencana pengenaan bea masuk 100 persen atas produk-produk ekspor Prancis jika Negara Mode itu mengenakan GAFA (Google Apple Facebook Amazon) tax terhadap perusahaan raksasa digital dunia. Hal yang sama akan dilakukan Trump kepada Italia dan Inggris. Bahkan, tahun lalu pihak AS menarik diri dari negosiasi dengan OECD karena memilih fokus pada pemilihan presiden dan wakil presiden.

Akan tetapi, kontestasi itu sekarang sudah selesai dan keadaan mulai berubah. Ada ”Biden effect” yang telah tampak dan dapat diharapkan berkontribusi secara nyata terhadap pencapaian konsensus pajak digital. Kemenangan Biden dan Kamala Harris sebagai presiden dan wakil presiden ke-46 AS seolah memberikan ekspektasi yang tinggi bagi dunia internasional. Contohnya adalah penguatan saham di banyak bursa dunia seperti Nasdaq, Dow Jones (AS), dan Nikkei (Jepang).

Hal yang sama terjadi di Hang Seng (Hongkong), S&P/ASX 200 (Australia), DAX (Jerman), CAC 40 (Prancis), dan IDX (Indonesia). ”Biden effect” ternyata tidak hanya berpengaruh terhadap bursa saham dunia. Bahkan, Bloomberg juga menyatakan kemenangan Biden mendongkrak harga minyak dan emas internasional. Uni Eropa pun berharap AS kembali bergabung dalam Perjanjian Paris tentang perubahan iklim yang sempat ditinggal Trump. Akankah ”Biden effect” berlanjut ke ranah pajak digital?

Pro-Kontra Dalam Negeri

Menurut hemat penulis, ada sinyal-sinyal positif dalam kebijakan ekonomi era Biden atau Bidenomics yang mendukung tercapainya konsensus pajak digital. Pertama, penunjukan Janet Yellen sebagai menteri keuangan AS yang sangat pro terhadap penerapan tarif pajak digital minimum global. Bahkan, dalam beberapa kesempatan, Yellen menyatakan komitmennya untuk menyelesaikan sengketa pajak ekonomi digital dunia.

Baca Juga :  Kepala Daerah, SDM, dan Infrastruktur

Kedua, Biden juga membuat tim perpajakan internasional yang mumpuni. Hal itu terlihat dari penunjukan Prof Kimberly Clausing sebagai ketua tim analisis Departemen Keuangan AS di awal Februari lalu. Kim (2020) menyadari sepenuhnya bahwa polemik pengenaan pajak digital dunia telah mengakibatkan ketegangan politik dan ekonomi antarnegara maju di dunia yang sangat berdampak pada negara-negara lain di dunia. Sudah saatnya ketegangan itu diakhiri untuk perbaikan ekonomi global.

Ketiga, menaikkan tarif pajak korporasi dari 21 persen menjadi 28 persen. Hal itu dilakukan untuk membiayai pemulihan ekonomi karena dampak pandemi dan pembangunan infrastruktur fisik yang lebih baik. Nah, konsensus pajak digital rencananya digunakan Biden untuk mencegah pengalihan keuntungan atau usaha ke luar AS pasca kenaikan tarif pajak korporasi seperti yang dikhawatirkan banyak pihak.

Secara logika, hal itu sangat tepat karena dunia internasional juga menerapkan tarif pajak digital minimum global. Sehingga perusahaan digital dunia yang kebetulan mayoritas berasal dari AS akan dihadapkan pada dua pilihan. Pilihan itu adalah dikenakan tarif pajak korporasi lebih tinggi di AS atau dikenakan tarif pajak digital minimum global di luar AS.

Mengutip pendapat Sri Mulyani (2021), kebijakan ekonomi era Biden yang mendukung stabilisasi sistem perpajakan internasional dengan penetapan tarif pajak minimum global justru mendapat tantangan secara politik dari dalam negerinya. Jadi, sangat menarik menonton sepak terjang Yellen dan timnya untuk mengubah kebijakan pajak domestik dan internasional AS. Namun, satu yang pasti, ”Biden effect” menjadi salah satu kunci penting untuk mempercepat penyelesaian polemik pajak digital dunia. (*)

 

*) Indrajaya Burnama, Staf Direktorat Jenderal Pajak

Terpopuler

Artikel Terbaru