31.3 C
Jakarta
Friday, December 27, 2024

Roh Dewi Sri

Asri sudah tidak tahan ingin melepas rindunya kepada bapak, emak dan
kelima adiknya di kampung. Perjalanan dari Jakarta dilaluinya menggunakan
kereta api seperti tanpa menapak rel.

MESKIPUN tidak untel-untelan lagi perjalanan kereta api tetap saja
cukup melelahkan. Otaknya dengan spontan membenarkan betapa besar makna harapan
buat manusia. Harapannya kini hanya satu. Berkumpul dengan keluarga besarnya di
desa, membeli sawah atau ladang dan mengolahnya. Dia telah jenuh bekerja
sebagai supervisor di sebuah hotel bintang lima di kota Jakarta.

Baginya hidup di Jakarta seperti
hidup di rimba dengan segala margasatwa yang hanya mementingkan dirinya
sendiri, individualis, egois dan segala sesuatunya diukur dengan uang. Hal
inilah yang menyulut pemberontakan dalam batinnya.

“Asri, surat izin cuti kamu sudah
aku terima dan kamu boleh ambil cuti terhitung mulai besok. Cepat balik ya,”
kata manajernya kemarin.

Bukan cuti. Tapi resign. Dengus
Asri dalam hatinya. Pekerjaannya sebagai seorang supervisor dengan take home
pay yang lumayan besar tak lagi menarik baginya. Menurut Asri, Jakarta tak
lebih sebagai sebuah dunia yang sudah kelebihan kata-kata tanpa makna. Tak
terasa sudah hampir sepuluh jam sejak dia menjejakkan kaki di Stasiun Gambir
akhirnya dia turun dari kereta api dan menuju sebuah pangkalan ojek dekat
stasiun. Tukang ojek membawanya membelah jalan berkelok yang basah mengkilap
ditimpa gerimis sisa hujan siang tadi. 

Sekitar dua kilometer lagi dia
akan melewati kantor kecamatan, lalu rumah pak lurah, sebuah gerbang bekas
benteng penjajah, kebun pisang, pos ronda dan kemudian masuk sedikit ke kiri.
Jalan berbatu yang kasar dan juga berlumpur beberapa tahun lalu kini sudah
mulus dibalut hotmix. Asri turun dari ojek dan memberikan ongkos beberapa
lembar uang puluhan ribu lalu menyelusuri jalan setapak dengan tas punggung
yang cukup besar menggantung dipundaknya. Setelah melewati sebuah empang Asri
berbelok ke kanan menapaki jalan sempit mendaki menuju rumah yang letaknya di
kaki bukit. Disitulah bapak, emak dan adik-adiknya menunggu.

Keluarga Asri tinggal di sebuah
desa yang berjarak tujuh kilometer dari kecamatan dan empat puluh kilometer
dari kota kabupaten. Dari ketinggian bukit Asri melihat banyak sekali tiang
pancang bangunan ditegakkan di tepi sebuah sungai di desanya. Tiba-tiba dari
sebuah lepau kopi di simpang jalan, seseorang bergegas menghampirinya.

“Nduk …Betul kan ini nduk Asri?
Nduk Asri Kumalasari,” seorang pria separuh baya yang terkenal sebagai sesepuh
di desa itu menyapanya.

“Eh…Pakdhe  Sutikno. Kados pundi pawartosipun ? Betul, saya
Asri”

Mereka saling menanyakan kabar
masing-masing dan ngobrol singkat setelah sekitar lima tahun tidak bertemu
karena Asri harus mengadu nasib ke ibukota. Pakdhe Sutikno sudah dianggapnya
seperti paman sendiri. Dari pakdhe Sutikno, Asri mendapatkan informasi bahwa
tiang-tiang pancang bangunan itu untuk mendirikan sebuah pabrik rokok. Kabarnya
telah terjadi manipulasi atas harga tanah desa. Desa merasa ditipu dan
dirugikan. Kepala Asri tiba-tiba berdengkang-dengkang.

Bagaimana masa depan bangsa ini
jika lahan-lahan pertanian dijadikan tempat mendirikan banyak gedung dan
bangunan.  Apalagi menggunakan cara-cara
yang radikal dan tidak sesuai ketentuan. Sawah dan ladang adalah sumber
kehidupan yaitu pancaran nafas para penduduk. Penduduk desa telah mengalami
pahitnya “asas pemerataan” oleh ulah buldoser. Mereka menjadi korban
pembangunan. Ternyata tidak di kota tidak di desa selalu saja ada persoalan.

“Ya sudah, nduk Asri segera
pulang. Kasihan, bapak dan emakmu pasti sudah menunggumu di rumah,” suara berat
pakdhe Sutikno menutup pembicaraan.

Tiga hari kemudian sebuah truk
mengangkut lima belas semen untuk dikirim ke rumah orang tua Asri. Menyusul
berikutnya satu truk batu bata, satu truk pondasi, dan satu truk mengangkut
satu sak pasir. Sesampainya di jalan desa barang-barang itu dipikul oleh para
tetangga Asri yang sambatan  dengan
berjalan kaki karena jalan setapak menuju rumah orang tua Asri tak bisa dilalui
kendaraan roda empat.

Asri memang penyandang dana
keluarga. Bapaknya hanyalah seorang buruh tani di sawahnya pak bayan. Sementara
itu emaknya seperti yang saat ini dilihat Asri sedang menggoyang-goyang
badannya pelan-pelan sambil menepuk-nepuk panggul adiknya yang mau tidur
digendongan ibunya dengan lembut. Asri masih punya adik yang berumur dua
setengah tahun.

“Masih berapa sisa uangmu, Asri?
Jangan dihabiskan. Adikmu si Pendi minta sepeda motor untuk dipakai kerja, si
Asih juga minta sepeda onthel untuk sekolah” emak Asri memulai pembicaraan
sambil menggendong anak bungsunya. “

“Mbak Asri, Bowo minta uang lagi  untuk beli baju baru ya. Baju Bowo banyak
yang sudah lusuh” cerocos Bowo tiba-tiba masuk ke senthong. Rambut Bowo sudah lengket oleh pomade. Celana jins baru
juga sudah dipakainya.

“Kan Bowo sudah Mbak belikan
celana itu” ucap Asri. Asri menyerongkan pandangannya kearah lemari yang tak
berpasak lagi engselnya. Asri menuju almari dan diambilnya sebuah amplop dari
lipatan tumpukan baju di almari. Dia menyibak lidah amplop dan mengeluarkan
lembaran-lembaran uang. Lalu diulurkan beberapa lembar uang kepada emakya.

Baca Juga :  Lelaki Sepi dan Secangkir Kopi

“Mak besok ke pasar ya? Ini untuk
beli sprei tempat tidur, baju untuk Bowo dan baju emak” Asri merasa sedih sprei
tempat tidur yang kumal dan daster emaknya yang sudah pucat.

“Horeee” teriak Bowo yang masih
duduk di bangku TK kegirangan dan berlari keluar hampir menubruk dinding senthong yang rontok separuh kapurnya.

Emak Asri menerima uang pemberian
Asri dengan wajah sumringah. Terpancar gejala kemanjaan seorang emak-emak yang
minta perhatian ekstra dari anaknya. “Mak, Asri ingin beli sawah. Asri ingin
berkebun sayur dan pisang” ucap Asri.

“Lhoh…lhoh. Lalu bagaimana dengan
kerjamu yang di Jakarta, nduk?”

“Asri mau berhenti”

Emak Asri terbengong. Emak Asri
tak habis pikir. Selama ini dirinya dan suaminya kerja tambal sulam untuk
menghidupi anak-anaknya. Untuk membuat rumah juga apa adanya. Sebelum Asri di
terima bekerja di Jakarta, emak Asri bekerja menjadi buruh cuci. Setelah Asri
mendapat pekerjaan, dia mulai bisa bernafas lega dengan bekerja momong
anak-anaknya di rumah saja. Keluarga Asri mulai terentaskan dari hidup yang
serba melarat dan morat-marit karena sering gali lubang tutup lubang. Keluarga
Asri tidak mempunyai ladang atau sawah sendiri seperti kebanyakan tetangga di
desanya.

Emak Asri menarik tangan anak
sulungnya dan mengajaknya duduk di atas amben . Asri bukan wanita yang cantik
sekali sebenarnya. Namun Asri mempunyai kekhasan daya tarik yang sulit
diterangkan.  Beberapa saat emak dan anak
itu duduk bergeming di atas amben dengan
pikiran mereka masing-masing.

“Sekitar seminggu yang lalu
sebelum kau datang, seorang tamu datang kesini mengaku dari Jakarta. “ Emak
Asri memecah keheningan.

“Siapa, Mak?”

“Kau pasti mengenalnya.
Pakaiannya bagus seperti turunan priyayi, nduk. Dia naik taksi meteran kesini
dari ibukota provinsi. Katanya sebelumnya dia naik pesawat dari Jakarta. Pasti
hanya orang berpangkat dan kaya yang sanggup naik pesawat. Kelihatan dari
keluarga terhormat dan bermartabat,” kata emak Asri berbunga-bunga.

Wajah Asri tiba-tiba kelihatan
serius, “Apakah namanya Bunyamin, mak?”

“Benar, nduk. Iya, iya namanya
Bunyamin, Apakah kau juga menyukainya?”

Asri yang sebelumnya berharap
bahwa orang yang dimaksud bukan Bunyamin terhenyak kaget. Sendi-sendi tubuhnya
seperti digigiti ribuan anai-anai. Ratusan lebah berdengung telah menyobek
labirin gendang telinganya. Seluruh inci tubuhnya bergetar hebat.

“Manajer cabul itu…,” desis Asri
lirih.

“Apa, nduk. Kau ngomong apa
tadi?”

Daripada kepalang basah,
cepat-cepat Asri meralat omongannya, “Manajer hotel itu, mak. Istrinya sudah
dua,” mulut Asri dengan lancar menyambung ucapannya.

***

Keesokan harinya Asri
melihat-lihat sawah yang terhampar luas menguning dengan tanaman padinya yang
sudah mulai kepayahan menahan bulir-bulir padi yang menjulur ke bawah. Panorama
senja itu disapu angin dan suara gemericik air yang mengalir dari parit yang
membatasi galengan.  Matahari sudah mulai terbenam menyisakan
cahayanya yang keemasan. Tiba-tiba beberapa burung mengepakkan sayapnya terbang
ketakutan beberapa tombak dari tempatnya berdiri. Pakdhe Sutikno datang. Pria
separuh baya itu setiap sore hari tak lupa menengok sawahnya setelah sepanjang
pagi sampai siang juga menjaga sawahnya dari burung-burung emprit pemakan biji
padi.

Asri sangat ingin membeli sawah
milik pakdhe Sutikno. Dia menarik napas panjang. Matanya menatap
lengkungan-lengkungan pucuk daun padi yang bergerak tertiup angin. Gerah hari
sirna terhempas hembusan yang bertiup semilir dan senja yang tinggal secuil. Para
petani telah memberinya banyak ilmu tentang kedamaian, kesabaran dan
kesederhanaan yang sejatinya tidak sederhana. Mereka seharusnya bercerita pada
anak dan cucu mereka kenapa kehidupan ini menjadi gelap. Mereka seharusnya
berkisah bahwa sebenarnya ada sumber kehidupan yang murni dan terang di atas
tanah ladang atau sawah petani dan di bawah terik matahari di siang hari.

Asri membayangkan dirinya sendiri
seperti burung piaraan yang telah terlepas dari sangkar tiga empat hari dan
kini menjadi tutut yang turun ke tanah. Kelaparan dan tidak bisa mencari makan
sendiri. Ditatapnya langit yang penuh mega-mega yang berarak bagaikan aliran
mimpi. Muncul di pelupuk matanya anak-anak gelandangan di ibukota Jakarta yang
hanya duduk-duduk atau tidur-tiduran. Mereka bertebaran di sudut-sudut kota
sambil memeluk gitar kecil atau kecrekan dengan mata sayu jauh dari sinar
kebahagian. Mengapa orang desa harus berbondong-bondong ke kota jika di desa
ada kehidupan yang bisa dijelajahi. Kehidupan yang bisa menjadi anugerah bagi
orang-orang yang terbuka mata dan batinnya. Orang-orang yang belum mengalami
akan selalu bisa keliru. Senja bergetar melawan takdir. Emaknya kemarin
menyuruhnya balik ke Jakarta. Bekerja di kota dan menerima tawaran Bunyamin
yang ingin menikahinya.

Baca Juga :  Lebaran, Ibu, dan Seekor Kucing

“Ingat Asri. Adik-adikmu butuh
banyak biaya” ujar sebuah suara dalam ingatannya.

Asri tersenyum ramah pada Pakdhe
Sutikno yang menghampirinya. Sosok Pakdhe Sitikno yang terlihat sehat, tidak
pernah sakit-sakitan dibalut otot-ototnya yang kekar. Badannya masih begitu
tegap di usinya yang menuju senja. Kehidupannya adalah rangkuman dari
kepingan-kepingan waktu. Menjalani kehidupan bergelut dengan sawah dan ladang
telah memberinya kematangan tentang bagaimana ruang dan waktu bersekutu.
Pengabdiannya dengan membanting tulang untuk jalannya roda kehidupan  tergambar dari sorot mata dan garis-garis
kerut pendek dan bergelombang di kening pria itu.

“Ada apa Asri sendirian di sini?
Nanti kesambet lho”

“Indah sekali pakdhe suasana
disini. Asri mencari keong sawah. Lihat itu pakdhe banyak sekali keongnya.”
Asri menunjuk ke arah sawah berair bening terbias cahaya cemerlang yang
berkeratap pada buih.

Sore itu Asri pulang membawa
seember keong sawah. Dia menyusuri rimbun rumpun pisang, semak-semak belukar
yang penuh dengan tanaman putri malu dan lantana. Setelah melewati tanah yang
kosong dia sampai di rumahnya. Bowo yang sedang makan semprong di teras rumah
menyambutnya. 

“Kapan mbak Asri balik ke
Jakarta. Ditunggu mas Bunyamin. Enak mbak semprong oleh-oleh dari mas Bunyamin,”
cerocos Bowo. Asri tercenung.

***

Setelah menghabiskan nasi di piring
yang telah diajangkan oleh emaknya. Asri berpamitan kepada emak, bapak dan
adik-adiknya untuk kembali ke Jakarta. Hatinya masygul. Gambar sawah dan ladang
para petani di desanya masih terus saja berkeriyap-keriyap di hatinya.

Di dalam angkot yang dinaiki dia
disentak-sentak angin pagi yang begitu dingin dua puluh derajat yang membesut
di antara kaca jendela. Dia memutuskan naik angkot menuju terminal bus yang
akan membawanya ke Jakarta. Sesekali angkot berpapasan dengan truk atau mobil
pick up yang mengangkut hasil bumi seperti sayur-mayur, palawija, kelapa atau
buah-buahan untuk diangkut ke kota. Hamparan sawah dan batang-batang pohon
melintas tanpa menyapa. Dari kaca jendela angkot dapat dilihatnya tiang-tiang
pancang pembangunan pabrik rokok di desanya. Tiang-tiang itu akan menjadi
malapetaka karena persekongkolan umum yang tidak berpikir jangka panjang.

“Bekerja di dunia pertanian itu
bernilai abadi dalam hidup ini karena dari pertanian kita bisa menciptakan
sumber-sumber kehidupan dan kemakmuran bersama secara merata. Menyerobot lahan
pertanian untuk pembangunan adalah sebuah keangkuhan dan penghinaan yang besar
pada kemanusiaan. Apalagi jika orang-orang desa meninggalkan desanya untuk
mengadu nasib ke kota itu adalah pengkhianatan pada tanah airnya. Jika banyak
orang mau bersenyawa dengan sawah dan ladang, Tuhan pasti akan menghilangkan
kecentang perenangan hidup manusia di zaman inflasi tinggi seperti sekarang
ini,” kata-kata pakdhe Sutikno di sawah tempo hari kembali terngiang.

Sejak kecil Asri memang terbiasa
bergaul dengan orang-orang kecil dan miskin di desanya. Namun dia kini mengakui
bahwa mereka itu sebenarnya bukan orang kecil. Mereka adalah orang besar dengan
jiwanya dan kaya karena memiliki banyak saudara dalam ikatan kekeluargaan yang
terjaga. Orang-orang desa yang sebagian besar bermata pencaharian sebagai
petani masih membumikan budaya sambatan 
dalam menyangga tegaknya kehidupan dalam sistem dan norma yang begitu
mengakar.

“Kiri…. Kiri…!” teriak Asri
tiba-tiba. Sopir segera menepikan angkotnya. Sejurus kemudian terdengar pintu
angkot terbanting. asri berlari menghamburkan dirinya ke tengah sawah di
pinggir jalan memanggil-manggil orang yang tampaknya sangat di kenalnya.

“Pakdhe… Pakdhe menanam apa. Biar
Asri bantu.” Asri dengan cekatan mengambil 
tumpukan benih bibit tanaman bayam yang siap di tanam di tanah yang baru
dicangkul oleh pakdhe Sutikno. “Wah…pakdhe sawahnya banyak, ya? Ini sawah
pakdhe juga?” sambung Asri.

Orang yang di panggil pakdhe
segera menoleh dan terperanjat kaget. “Lha, dalah…Asri kenapa kamu kesini.
Kotor. Bukannya kamu harus segera balik ke Jakarta?” Pakdhe Sutikno masih
terpana melihat Asri.

“Enggak, pakdhe. Kasihan pakdhe
sendiri. Saya ingin membantu pakdhe mengolah sawah saja.”

“Pakdhe tidak sendiri. Itu ada
Darmaji anak pakdhe.” Pakdhe Sutikno menunjuk seseorang yang baru datang yang
bernama Darmaji. Seorang pemuda desa dengan cangkul di pundaknya.

***

YOGYANTORO. Lahir di Trenggalek. Menulis cerpen dan puisi. Menulis Buku
Kumpulan Puisi Fajar di Atas Menoreh (2019) dan terpilih untuk mengikuti
Musyawarah Nasional Sastrawan Indonesia (MUNSI III) 2020 di Jakarta

Keterangan:

Nduk :  Panggilan sayang orang yang lebih tua kepada
anak perempuan (Bahasa Jawa)

Pakdhe :
Paman

Kados pundi
pawartosipun :

Bagaimana kabarnya? (Bahasa Jawa)

Sambatan : Gotong
royong

Senthong : Kamar (Bahasa Jawa)

Amben : Balai-balai dari bambu yang
digunakan sebagai tempat tidur. (Bahasa Jawa)

Galengan
:
Pematang
sawah

Asri sudah tidak tahan ingin melepas rindunya kepada bapak, emak dan
kelima adiknya di kampung. Perjalanan dari Jakarta dilaluinya menggunakan
kereta api seperti tanpa menapak rel.

MESKIPUN tidak untel-untelan lagi perjalanan kereta api tetap saja
cukup melelahkan. Otaknya dengan spontan membenarkan betapa besar makna harapan
buat manusia. Harapannya kini hanya satu. Berkumpul dengan keluarga besarnya di
desa, membeli sawah atau ladang dan mengolahnya. Dia telah jenuh bekerja
sebagai supervisor di sebuah hotel bintang lima di kota Jakarta.

Baginya hidup di Jakarta seperti
hidup di rimba dengan segala margasatwa yang hanya mementingkan dirinya
sendiri, individualis, egois dan segala sesuatunya diukur dengan uang. Hal
inilah yang menyulut pemberontakan dalam batinnya.

“Asri, surat izin cuti kamu sudah
aku terima dan kamu boleh ambil cuti terhitung mulai besok. Cepat balik ya,”
kata manajernya kemarin.

Bukan cuti. Tapi resign. Dengus
Asri dalam hatinya. Pekerjaannya sebagai seorang supervisor dengan take home
pay yang lumayan besar tak lagi menarik baginya. Menurut Asri, Jakarta tak
lebih sebagai sebuah dunia yang sudah kelebihan kata-kata tanpa makna. Tak
terasa sudah hampir sepuluh jam sejak dia menjejakkan kaki di Stasiun Gambir
akhirnya dia turun dari kereta api dan menuju sebuah pangkalan ojek dekat
stasiun. Tukang ojek membawanya membelah jalan berkelok yang basah mengkilap
ditimpa gerimis sisa hujan siang tadi. 

Sekitar dua kilometer lagi dia
akan melewati kantor kecamatan, lalu rumah pak lurah, sebuah gerbang bekas
benteng penjajah, kebun pisang, pos ronda dan kemudian masuk sedikit ke kiri.
Jalan berbatu yang kasar dan juga berlumpur beberapa tahun lalu kini sudah
mulus dibalut hotmix. Asri turun dari ojek dan memberikan ongkos beberapa
lembar uang puluhan ribu lalu menyelusuri jalan setapak dengan tas punggung
yang cukup besar menggantung dipundaknya. Setelah melewati sebuah empang Asri
berbelok ke kanan menapaki jalan sempit mendaki menuju rumah yang letaknya di
kaki bukit. Disitulah bapak, emak dan adik-adiknya menunggu.

Keluarga Asri tinggal di sebuah
desa yang berjarak tujuh kilometer dari kecamatan dan empat puluh kilometer
dari kota kabupaten. Dari ketinggian bukit Asri melihat banyak sekali tiang
pancang bangunan ditegakkan di tepi sebuah sungai di desanya. Tiba-tiba dari
sebuah lepau kopi di simpang jalan, seseorang bergegas menghampirinya.

“Nduk …Betul kan ini nduk Asri?
Nduk Asri Kumalasari,” seorang pria separuh baya yang terkenal sebagai sesepuh
di desa itu menyapanya.

“Eh…Pakdhe  Sutikno. Kados pundi pawartosipun ? Betul, saya
Asri”

Mereka saling menanyakan kabar
masing-masing dan ngobrol singkat setelah sekitar lima tahun tidak bertemu
karena Asri harus mengadu nasib ke ibukota. Pakdhe Sutikno sudah dianggapnya
seperti paman sendiri. Dari pakdhe Sutikno, Asri mendapatkan informasi bahwa
tiang-tiang pancang bangunan itu untuk mendirikan sebuah pabrik rokok. Kabarnya
telah terjadi manipulasi atas harga tanah desa. Desa merasa ditipu dan
dirugikan. Kepala Asri tiba-tiba berdengkang-dengkang.

Bagaimana masa depan bangsa ini
jika lahan-lahan pertanian dijadikan tempat mendirikan banyak gedung dan
bangunan.  Apalagi menggunakan cara-cara
yang radikal dan tidak sesuai ketentuan. Sawah dan ladang adalah sumber
kehidupan yaitu pancaran nafas para penduduk. Penduduk desa telah mengalami
pahitnya “asas pemerataan” oleh ulah buldoser. Mereka menjadi korban
pembangunan. Ternyata tidak di kota tidak di desa selalu saja ada persoalan.

“Ya sudah, nduk Asri segera
pulang. Kasihan, bapak dan emakmu pasti sudah menunggumu di rumah,” suara berat
pakdhe Sutikno menutup pembicaraan.

Tiga hari kemudian sebuah truk
mengangkut lima belas semen untuk dikirim ke rumah orang tua Asri. Menyusul
berikutnya satu truk batu bata, satu truk pondasi, dan satu truk mengangkut
satu sak pasir. Sesampainya di jalan desa barang-barang itu dipikul oleh para
tetangga Asri yang sambatan  dengan
berjalan kaki karena jalan setapak menuju rumah orang tua Asri tak bisa dilalui
kendaraan roda empat.

Asri memang penyandang dana
keluarga. Bapaknya hanyalah seorang buruh tani di sawahnya pak bayan. Sementara
itu emaknya seperti yang saat ini dilihat Asri sedang menggoyang-goyang
badannya pelan-pelan sambil menepuk-nepuk panggul adiknya yang mau tidur
digendongan ibunya dengan lembut. Asri masih punya adik yang berumur dua
setengah tahun.

“Masih berapa sisa uangmu, Asri?
Jangan dihabiskan. Adikmu si Pendi minta sepeda motor untuk dipakai kerja, si
Asih juga minta sepeda onthel untuk sekolah” emak Asri memulai pembicaraan
sambil menggendong anak bungsunya. “

“Mbak Asri, Bowo minta uang lagi  untuk beli baju baru ya. Baju Bowo banyak
yang sudah lusuh” cerocos Bowo tiba-tiba masuk ke senthong. Rambut Bowo sudah lengket oleh pomade. Celana jins baru
juga sudah dipakainya.

“Kan Bowo sudah Mbak belikan
celana itu” ucap Asri. Asri menyerongkan pandangannya kearah lemari yang tak
berpasak lagi engselnya. Asri menuju almari dan diambilnya sebuah amplop dari
lipatan tumpukan baju di almari. Dia menyibak lidah amplop dan mengeluarkan
lembaran-lembaran uang. Lalu diulurkan beberapa lembar uang kepada emakya.

Baca Juga :  Lelaki Sepi dan Secangkir Kopi

“Mak besok ke pasar ya? Ini untuk
beli sprei tempat tidur, baju untuk Bowo dan baju emak” Asri merasa sedih sprei
tempat tidur yang kumal dan daster emaknya yang sudah pucat.

“Horeee” teriak Bowo yang masih
duduk di bangku TK kegirangan dan berlari keluar hampir menubruk dinding senthong yang rontok separuh kapurnya.

Emak Asri menerima uang pemberian
Asri dengan wajah sumringah. Terpancar gejala kemanjaan seorang emak-emak yang
minta perhatian ekstra dari anaknya. “Mak, Asri ingin beli sawah. Asri ingin
berkebun sayur dan pisang” ucap Asri.

“Lhoh…lhoh. Lalu bagaimana dengan
kerjamu yang di Jakarta, nduk?”

“Asri mau berhenti”

Emak Asri terbengong. Emak Asri
tak habis pikir. Selama ini dirinya dan suaminya kerja tambal sulam untuk
menghidupi anak-anaknya. Untuk membuat rumah juga apa adanya. Sebelum Asri di
terima bekerja di Jakarta, emak Asri bekerja menjadi buruh cuci. Setelah Asri
mendapat pekerjaan, dia mulai bisa bernafas lega dengan bekerja momong
anak-anaknya di rumah saja. Keluarga Asri mulai terentaskan dari hidup yang
serba melarat dan morat-marit karena sering gali lubang tutup lubang. Keluarga
Asri tidak mempunyai ladang atau sawah sendiri seperti kebanyakan tetangga di
desanya.

Emak Asri menarik tangan anak
sulungnya dan mengajaknya duduk di atas amben . Asri bukan wanita yang cantik
sekali sebenarnya. Namun Asri mempunyai kekhasan daya tarik yang sulit
diterangkan.  Beberapa saat emak dan anak
itu duduk bergeming di atas amben dengan
pikiran mereka masing-masing.

“Sekitar seminggu yang lalu
sebelum kau datang, seorang tamu datang kesini mengaku dari Jakarta. “ Emak
Asri memecah keheningan.

“Siapa, Mak?”

“Kau pasti mengenalnya.
Pakaiannya bagus seperti turunan priyayi, nduk. Dia naik taksi meteran kesini
dari ibukota provinsi. Katanya sebelumnya dia naik pesawat dari Jakarta. Pasti
hanya orang berpangkat dan kaya yang sanggup naik pesawat. Kelihatan dari
keluarga terhormat dan bermartabat,” kata emak Asri berbunga-bunga.

Wajah Asri tiba-tiba kelihatan
serius, “Apakah namanya Bunyamin, mak?”

“Benar, nduk. Iya, iya namanya
Bunyamin, Apakah kau juga menyukainya?”

Asri yang sebelumnya berharap
bahwa orang yang dimaksud bukan Bunyamin terhenyak kaget. Sendi-sendi tubuhnya
seperti digigiti ribuan anai-anai. Ratusan lebah berdengung telah menyobek
labirin gendang telinganya. Seluruh inci tubuhnya bergetar hebat.

“Manajer cabul itu…,” desis Asri
lirih.

“Apa, nduk. Kau ngomong apa
tadi?”

Daripada kepalang basah,
cepat-cepat Asri meralat omongannya, “Manajer hotel itu, mak. Istrinya sudah
dua,” mulut Asri dengan lancar menyambung ucapannya.

***

Keesokan harinya Asri
melihat-lihat sawah yang terhampar luas menguning dengan tanaman padinya yang
sudah mulai kepayahan menahan bulir-bulir padi yang menjulur ke bawah. Panorama
senja itu disapu angin dan suara gemericik air yang mengalir dari parit yang
membatasi galengan.  Matahari sudah mulai terbenam menyisakan
cahayanya yang keemasan. Tiba-tiba beberapa burung mengepakkan sayapnya terbang
ketakutan beberapa tombak dari tempatnya berdiri. Pakdhe Sutikno datang. Pria
separuh baya itu setiap sore hari tak lupa menengok sawahnya setelah sepanjang
pagi sampai siang juga menjaga sawahnya dari burung-burung emprit pemakan biji
padi.

Asri sangat ingin membeli sawah
milik pakdhe Sutikno. Dia menarik napas panjang. Matanya menatap
lengkungan-lengkungan pucuk daun padi yang bergerak tertiup angin. Gerah hari
sirna terhempas hembusan yang bertiup semilir dan senja yang tinggal secuil. Para
petani telah memberinya banyak ilmu tentang kedamaian, kesabaran dan
kesederhanaan yang sejatinya tidak sederhana. Mereka seharusnya bercerita pada
anak dan cucu mereka kenapa kehidupan ini menjadi gelap. Mereka seharusnya
berkisah bahwa sebenarnya ada sumber kehidupan yang murni dan terang di atas
tanah ladang atau sawah petani dan di bawah terik matahari di siang hari.

Asri membayangkan dirinya sendiri
seperti burung piaraan yang telah terlepas dari sangkar tiga empat hari dan
kini menjadi tutut yang turun ke tanah. Kelaparan dan tidak bisa mencari makan
sendiri. Ditatapnya langit yang penuh mega-mega yang berarak bagaikan aliran
mimpi. Muncul di pelupuk matanya anak-anak gelandangan di ibukota Jakarta yang
hanya duduk-duduk atau tidur-tiduran. Mereka bertebaran di sudut-sudut kota
sambil memeluk gitar kecil atau kecrekan dengan mata sayu jauh dari sinar
kebahagian. Mengapa orang desa harus berbondong-bondong ke kota jika di desa
ada kehidupan yang bisa dijelajahi. Kehidupan yang bisa menjadi anugerah bagi
orang-orang yang terbuka mata dan batinnya. Orang-orang yang belum mengalami
akan selalu bisa keliru. Senja bergetar melawan takdir. Emaknya kemarin
menyuruhnya balik ke Jakarta. Bekerja di kota dan menerima tawaran Bunyamin
yang ingin menikahinya.

Baca Juga :  Lebaran, Ibu, dan Seekor Kucing

“Ingat Asri. Adik-adikmu butuh
banyak biaya” ujar sebuah suara dalam ingatannya.

Asri tersenyum ramah pada Pakdhe
Sutikno yang menghampirinya. Sosok Pakdhe Sitikno yang terlihat sehat, tidak
pernah sakit-sakitan dibalut otot-ototnya yang kekar. Badannya masih begitu
tegap di usinya yang menuju senja. Kehidupannya adalah rangkuman dari
kepingan-kepingan waktu. Menjalani kehidupan bergelut dengan sawah dan ladang
telah memberinya kematangan tentang bagaimana ruang dan waktu bersekutu.
Pengabdiannya dengan membanting tulang untuk jalannya roda kehidupan  tergambar dari sorot mata dan garis-garis
kerut pendek dan bergelombang di kening pria itu.

“Ada apa Asri sendirian di sini?
Nanti kesambet lho”

“Indah sekali pakdhe suasana
disini. Asri mencari keong sawah. Lihat itu pakdhe banyak sekali keongnya.”
Asri menunjuk ke arah sawah berair bening terbias cahaya cemerlang yang
berkeratap pada buih.

Sore itu Asri pulang membawa
seember keong sawah. Dia menyusuri rimbun rumpun pisang, semak-semak belukar
yang penuh dengan tanaman putri malu dan lantana. Setelah melewati tanah yang
kosong dia sampai di rumahnya. Bowo yang sedang makan semprong di teras rumah
menyambutnya. 

“Kapan mbak Asri balik ke
Jakarta. Ditunggu mas Bunyamin. Enak mbak semprong oleh-oleh dari mas Bunyamin,”
cerocos Bowo. Asri tercenung.

***

Setelah menghabiskan nasi di piring
yang telah diajangkan oleh emaknya. Asri berpamitan kepada emak, bapak dan
adik-adiknya untuk kembali ke Jakarta. Hatinya masygul. Gambar sawah dan ladang
para petani di desanya masih terus saja berkeriyap-keriyap di hatinya.

Di dalam angkot yang dinaiki dia
disentak-sentak angin pagi yang begitu dingin dua puluh derajat yang membesut
di antara kaca jendela. Dia memutuskan naik angkot menuju terminal bus yang
akan membawanya ke Jakarta. Sesekali angkot berpapasan dengan truk atau mobil
pick up yang mengangkut hasil bumi seperti sayur-mayur, palawija, kelapa atau
buah-buahan untuk diangkut ke kota. Hamparan sawah dan batang-batang pohon
melintas tanpa menyapa. Dari kaca jendela angkot dapat dilihatnya tiang-tiang
pancang pembangunan pabrik rokok di desanya. Tiang-tiang itu akan menjadi
malapetaka karena persekongkolan umum yang tidak berpikir jangka panjang.

“Bekerja di dunia pertanian itu
bernilai abadi dalam hidup ini karena dari pertanian kita bisa menciptakan
sumber-sumber kehidupan dan kemakmuran bersama secara merata. Menyerobot lahan
pertanian untuk pembangunan adalah sebuah keangkuhan dan penghinaan yang besar
pada kemanusiaan. Apalagi jika orang-orang desa meninggalkan desanya untuk
mengadu nasib ke kota itu adalah pengkhianatan pada tanah airnya. Jika banyak
orang mau bersenyawa dengan sawah dan ladang, Tuhan pasti akan menghilangkan
kecentang perenangan hidup manusia di zaman inflasi tinggi seperti sekarang
ini,” kata-kata pakdhe Sutikno di sawah tempo hari kembali terngiang.

Sejak kecil Asri memang terbiasa
bergaul dengan orang-orang kecil dan miskin di desanya. Namun dia kini mengakui
bahwa mereka itu sebenarnya bukan orang kecil. Mereka adalah orang besar dengan
jiwanya dan kaya karena memiliki banyak saudara dalam ikatan kekeluargaan yang
terjaga. Orang-orang desa yang sebagian besar bermata pencaharian sebagai
petani masih membumikan budaya sambatan 
dalam menyangga tegaknya kehidupan dalam sistem dan norma yang begitu
mengakar.

“Kiri…. Kiri…!” teriak Asri
tiba-tiba. Sopir segera menepikan angkotnya. Sejurus kemudian terdengar pintu
angkot terbanting. asri berlari menghamburkan dirinya ke tengah sawah di
pinggir jalan memanggil-manggil orang yang tampaknya sangat di kenalnya.

“Pakdhe… Pakdhe menanam apa. Biar
Asri bantu.” Asri dengan cekatan mengambil 
tumpukan benih bibit tanaman bayam yang siap di tanam di tanah yang baru
dicangkul oleh pakdhe Sutikno. “Wah…pakdhe sawahnya banyak, ya? Ini sawah
pakdhe juga?” sambung Asri.

Orang yang di panggil pakdhe
segera menoleh dan terperanjat kaget. “Lha, dalah…Asri kenapa kamu kesini.
Kotor. Bukannya kamu harus segera balik ke Jakarta?” Pakdhe Sutikno masih
terpana melihat Asri.

“Enggak, pakdhe. Kasihan pakdhe
sendiri. Saya ingin membantu pakdhe mengolah sawah saja.”

“Pakdhe tidak sendiri. Itu ada
Darmaji anak pakdhe.” Pakdhe Sutikno menunjuk seseorang yang baru datang yang
bernama Darmaji. Seorang pemuda desa dengan cangkul di pundaknya.

***

YOGYANTORO. Lahir di Trenggalek. Menulis cerpen dan puisi. Menulis Buku
Kumpulan Puisi Fajar di Atas Menoreh (2019) dan terpilih untuk mengikuti
Musyawarah Nasional Sastrawan Indonesia (MUNSI III) 2020 di Jakarta

Keterangan:

Nduk :  Panggilan sayang orang yang lebih tua kepada
anak perempuan (Bahasa Jawa)

Pakdhe :
Paman

Kados pundi
pawartosipun :

Bagaimana kabarnya? (Bahasa Jawa)

Sambatan : Gotong
royong

Senthong : Kamar (Bahasa Jawa)

Amben : Balai-balai dari bambu yang
digunakan sebagai tempat tidur. (Bahasa Jawa)

Galengan
:
Pematang
sawah

Terpopuler

Artikel Terbaru