27.1 C
Jakarta
Saturday, November 23, 2024

Dexamethasone, Obat Dewa dan Pedang Bermata Dua

ADAKAH tenaga
kesehatan yang tidak mengenal obat ini? Adakah mahasiswa kedokteran yang
melupakan nama tenar ini? Sungguh kebangetan kalau seorang dokter belum pernah
meresepkan obat ”serbabisa” ini.

Selama
di bangku kuliah, obat inilah yang mungkin mendapatkan porsi pembelajaran yang
terbanyak. Dexamethasone sungguh fenomenal.

Tidak
harus datang ke fasilitas kesehatan, seorang pasien yang sangat awam mengenai
obat-obatan akan dengan mudah memperoleh obat yang seharusnya termasuk golongan
obat keras dan harus digunakan melalui resep dokter ini.

Orang
menyebutnya sebagai obat kelas warung atau kelas kaki lima. Namun, kini berita
dari negara seberang nan jauh, Inggris, tepatnya studi Oxford, menyebut obat
ini sebagai penyelamat pasien Covid-19 yang mengalami penderitaan antara hidup
dan mati.

Benarkah
kata peneliti dari Oxford University tersebut? Pemakaian Dexamethasone di dunia
medis sangat luas, mulai penyakit rematik (orang awam menyebutnya penyakit asam
urat), penyakit kulit, penyakit autoimun, alergi dengan berbagai manifestasi,
asma, penyakit paru obstruktifkronik, batuk, hingga pembengkakan otak.

Bahkan,
di bidang kebidanan dan kandungan, obat tersebut diindikasikan pada kehamilan
belum cukup bulan. Itu agar terjadi pematangan fungsi paru janin, sehingga
kualitas hidup bayi prematur akan meningkat.

Demikian
luasnya indikasi penggunaan obat tersebut, tidak mengherankan kalau tenaga
medis menyebutnya sebagai ”obat dewa”. Tidak hanya cukup di situ, obat yang
termasuk golongan steroid itu ternyata digunakan secara salah oleh orang-orang
tertentu. Baik untuk meningkatkan nafsu makan dan berat badan atau dijadikan
”jamu” maupun untuk mengatasi encok dan pegal-linu.

Saat
ini gema Dexamethasone semakin nyaring dengan ditelitinya sebagai obat
Covid-19, khususnya pasien-pasien yang dirawat di ICU (intensive care unit)
dengan menggunakan ventilator. Istilah kerennya untuk life saving.

Sebelum
Inggris, negara-negara lain, khususnya Tiongkok sebagai tempat asal virus corona
yang menyebabkan pandemi kali ini, juga menelitinya. Para ahli di Spanyol dan
Italia pun sepakat menggunakan obat tersebut sebagai life saving kasus Covid-19
yang berat.

Baca Juga :  Lord Didi

Walaupun,
tidak semua ahli seia-sekata dengan pendapat tersebut, termasuk WHO sebagai
organisasi kesehatan dunia. WHO menyatakan, obat itu tidak harus rutin
digunakan pada kondisi radang paru yang berat akibat virus corona.

Sesuatu
hal yang wajar terjadi pro dan kontra terhadap metode suatu pengobatan,
khususnya terhadap Covid-19, ketika tingkah laku virus penyebabnya pun belum
terlalu dikenali para ahli di seluruh dunia. Manifestasi klinis yang tampak
pada Covid-19 memang bervariasi. Tampak seperti spektrum, mulai yang tidak
bergejala, gejala ringan seperti influenza, hingga kasus-kasus yang memerlukan
perawatan intensif di ICU, bahkan berujung pada kematian.

Data
menunjukkan, 10-15 persen kasus yang memerlukan perawatan intensif, termasuk
yang lima persen akan mengalami perawatan di ICU dengan menggunakan ventilator.
Kondisi klinis berat seperti itulah yang memerlukan peran ”obat dewa” tersebut.

Kasus
Covid-19 yang berat dan menjurus pada kondisi gagal napas di dunia kedokteran,
diduga disebabkan terjadinya peradangan/inflamasi sistemik di seluruh
organ-organ tubuh, yang bisa berujung menjadi kegagalan fungsi masing-masing
organ tubuh yang terlibat.

Dalam
keadaan kritis demikian, terjadi ”tumpahan” komponen-komponen peradangan di
seluruh sirkulasi darah yang dikenal dengan istilah ”badai sitokin”. Sedangkan
sitokin itu sendiri adalah komponen-komponen peradangan yang timbul sebagai
akibat respons imunitas tubuh terhadap adanya sumber infeksi yang dalam hal ini
adalah virus corona.

Di
sinilah letak ”keajaiban” obat dewa tersebut. Obat itu memang disebut sebagai
imunosupresan (menekan sistem imun) sekaligus anti-inflamasi yang paling
potensial. Logika pikir yang mudah pasti akan mengatakan, pada kondisi yang
berat saja Dexamethasone mampu berperan begitu dominan, apalagi pada
kasus-kasus Covid-19 yang ringan, pasti obat itu akan dengan mudah melibas
virus corona yang sangat menular tersebut.

Sebab,
di satu sisi efeknya sebagai anti-inflamasi yang sangat menguntungkan tersebut.
Namun, di sisi lain, seperti ”pedang bermata dua”, obat itu dapat menekan
sistem imunitas yang justru dibutuhkan kapasitasnya untuk mengenyahkan virus corona
tersebut, terutama pada awal gejala klinis muncul.

Baca Juga :  Harus Ada Pegawai Khusus yang Tidak Bisa Diintervensi

Pemberian
obat yang terlalu dini justru akan memperlambat penyembuhan, bahkan virus corona
akan cenderung lebih lama ngendon di dalam tubuh manusia. Jadi, jelas,
penggunaan obat itu hanya untuk kepentingan life saving dan bukan bersifat
antivirus alias dapat membunuh virus.

Pemahaman
itu perlu ditanamkan kepada siapa pun. Sebab, seperti kata pepatah: obat adalah
bahan berbahaya, tapi di tangan ahlinya, obat bisa sangat bermanfaat. Indikasi
penggunaan maupun kontra indikasinya pun akan benar-benar dipertimbangkan
dengan saksama oleh dokter yang berkompeten.

Dexamethasone
selain efektif pada kasus-kasus tertentu, relatif sangat murah dan bisa
didapatkan dengan mudah di seluruh pelosok negeri. Namun, juga sering digunakan
secara salah dan tidak sesuai indikasi.

Dampak
yang nyata adalah tidak jarang dijumpai penyakit yang justru timbul akibat
penggunaan obat yang tergolong lawas tersebut. WHO memberikan rekomendasi
penggunaannya sejak 1961.

Efek
samping yang relatif sering terjadi adalah timbulnya jerawat, insomnia (sulit
tidur), depresi, euforia, pusing, nyeri kepala, peningkatan nafsu makan (justru
dipakai untuk ”obat” meningkatkan nafsu makan), penambahan berat badan,
hipertensi, risiko meningkatnya infeksi, peningkatan tekanan bola mata sampai
gangguan penglihatan, mual-muntah, penyakit lambung, lupa ingatan, gangguan
jiwa, sampai tidak sadarkan diri.

Bahaya
lain adalah timbulnya osteoporosis, gangguan pertumbuhan (pada anak), otot yang
mengecil-lemah, pemicu terjadinya kencing manis, penyakit jantung, dan masih
banyak lagi. Semoga dengan mengenal lebih baik tentang Dexamethasone, akan
lebih bijak lagi tidak menggunakannya tanpa petunjuk ahli yang berkompeten. (*)

 

 

*) Divisi Alergi-Imunologi Klinik Departemen/SMF Ilmu Penyakit Dalam
FKUA/RSUD dr Soetomo Surabaya

ADAKAH tenaga
kesehatan yang tidak mengenal obat ini? Adakah mahasiswa kedokteran yang
melupakan nama tenar ini? Sungguh kebangetan kalau seorang dokter belum pernah
meresepkan obat ”serbabisa” ini.

Selama
di bangku kuliah, obat inilah yang mungkin mendapatkan porsi pembelajaran yang
terbanyak. Dexamethasone sungguh fenomenal.

Tidak
harus datang ke fasilitas kesehatan, seorang pasien yang sangat awam mengenai
obat-obatan akan dengan mudah memperoleh obat yang seharusnya termasuk golongan
obat keras dan harus digunakan melalui resep dokter ini.

Orang
menyebutnya sebagai obat kelas warung atau kelas kaki lima. Namun, kini berita
dari negara seberang nan jauh, Inggris, tepatnya studi Oxford, menyebut obat
ini sebagai penyelamat pasien Covid-19 yang mengalami penderitaan antara hidup
dan mati.

Benarkah
kata peneliti dari Oxford University tersebut? Pemakaian Dexamethasone di dunia
medis sangat luas, mulai penyakit rematik (orang awam menyebutnya penyakit asam
urat), penyakit kulit, penyakit autoimun, alergi dengan berbagai manifestasi,
asma, penyakit paru obstruktifkronik, batuk, hingga pembengkakan otak.

Bahkan,
di bidang kebidanan dan kandungan, obat tersebut diindikasikan pada kehamilan
belum cukup bulan. Itu agar terjadi pematangan fungsi paru janin, sehingga
kualitas hidup bayi prematur akan meningkat.

Demikian
luasnya indikasi penggunaan obat tersebut, tidak mengherankan kalau tenaga
medis menyebutnya sebagai ”obat dewa”. Tidak hanya cukup di situ, obat yang
termasuk golongan steroid itu ternyata digunakan secara salah oleh orang-orang
tertentu. Baik untuk meningkatkan nafsu makan dan berat badan atau dijadikan
”jamu” maupun untuk mengatasi encok dan pegal-linu.

Saat
ini gema Dexamethasone semakin nyaring dengan ditelitinya sebagai obat
Covid-19, khususnya pasien-pasien yang dirawat di ICU (intensive care unit)
dengan menggunakan ventilator. Istilah kerennya untuk life saving.

Sebelum
Inggris, negara-negara lain, khususnya Tiongkok sebagai tempat asal virus corona
yang menyebabkan pandemi kali ini, juga menelitinya. Para ahli di Spanyol dan
Italia pun sepakat menggunakan obat tersebut sebagai life saving kasus Covid-19
yang berat.

Baca Juga :  Lord Didi

Walaupun,
tidak semua ahli seia-sekata dengan pendapat tersebut, termasuk WHO sebagai
organisasi kesehatan dunia. WHO menyatakan, obat itu tidak harus rutin
digunakan pada kondisi radang paru yang berat akibat virus corona.

Sesuatu
hal yang wajar terjadi pro dan kontra terhadap metode suatu pengobatan,
khususnya terhadap Covid-19, ketika tingkah laku virus penyebabnya pun belum
terlalu dikenali para ahli di seluruh dunia. Manifestasi klinis yang tampak
pada Covid-19 memang bervariasi. Tampak seperti spektrum, mulai yang tidak
bergejala, gejala ringan seperti influenza, hingga kasus-kasus yang memerlukan
perawatan intensif di ICU, bahkan berujung pada kematian.

Data
menunjukkan, 10-15 persen kasus yang memerlukan perawatan intensif, termasuk
yang lima persen akan mengalami perawatan di ICU dengan menggunakan ventilator.
Kondisi klinis berat seperti itulah yang memerlukan peran ”obat dewa” tersebut.

Kasus
Covid-19 yang berat dan menjurus pada kondisi gagal napas di dunia kedokteran,
diduga disebabkan terjadinya peradangan/inflamasi sistemik di seluruh
organ-organ tubuh, yang bisa berujung menjadi kegagalan fungsi masing-masing
organ tubuh yang terlibat.

Dalam
keadaan kritis demikian, terjadi ”tumpahan” komponen-komponen peradangan di
seluruh sirkulasi darah yang dikenal dengan istilah ”badai sitokin”. Sedangkan
sitokin itu sendiri adalah komponen-komponen peradangan yang timbul sebagai
akibat respons imunitas tubuh terhadap adanya sumber infeksi yang dalam hal ini
adalah virus corona.

Di
sinilah letak ”keajaiban” obat dewa tersebut. Obat itu memang disebut sebagai
imunosupresan (menekan sistem imun) sekaligus anti-inflamasi yang paling
potensial. Logika pikir yang mudah pasti akan mengatakan, pada kondisi yang
berat saja Dexamethasone mampu berperan begitu dominan, apalagi pada
kasus-kasus Covid-19 yang ringan, pasti obat itu akan dengan mudah melibas
virus corona yang sangat menular tersebut.

Sebab,
di satu sisi efeknya sebagai anti-inflamasi yang sangat menguntungkan tersebut.
Namun, di sisi lain, seperti ”pedang bermata dua”, obat itu dapat menekan
sistem imunitas yang justru dibutuhkan kapasitasnya untuk mengenyahkan virus corona
tersebut, terutama pada awal gejala klinis muncul.

Baca Juga :  Harus Ada Pegawai Khusus yang Tidak Bisa Diintervensi

Pemberian
obat yang terlalu dini justru akan memperlambat penyembuhan, bahkan virus corona
akan cenderung lebih lama ngendon di dalam tubuh manusia. Jadi, jelas,
penggunaan obat itu hanya untuk kepentingan life saving dan bukan bersifat
antivirus alias dapat membunuh virus.

Pemahaman
itu perlu ditanamkan kepada siapa pun. Sebab, seperti kata pepatah: obat adalah
bahan berbahaya, tapi di tangan ahlinya, obat bisa sangat bermanfaat. Indikasi
penggunaan maupun kontra indikasinya pun akan benar-benar dipertimbangkan
dengan saksama oleh dokter yang berkompeten.

Dexamethasone
selain efektif pada kasus-kasus tertentu, relatif sangat murah dan bisa
didapatkan dengan mudah di seluruh pelosok negeri. Namun, juga sering digunakan
secara salah dan tidak sesuai indikasi.

Dampak
yang nyata adalah tidak jarang dijumpai penyakit yang justru timbul akibat
penggunaan obat yang tergolong lawas tersebut. WHO memberikan rekomendasi
penggunaannya sejak 1961.

Efek
samping yang relatif sering terjadi adalah timbulnya jerawat, insomnia (sulit
tidur), depresi, euforia, pusing, nyeri kepala, peningkatan nafsu makan (justru
dipakai untuk ”obat” meningkatkan nafsu makan), penambahan berat badan,
hipertensi, risiko meningkatnya infeksi, peningkatan tekanan bola mata sampai
gangguan penglihatan, mual-muntah, penyakit lambung, lupa ingatan, gangguan
jiwa, sampai tidak sadarkan diri.

Bahaya
lain adalah timbulnya osteoporosis, gangguan pertumbuhan (pada anak), otot yang
mengecil-lemah, pemicu terjadinya kencing manis, penyakit jantung, dan masih
banyak lagi. Semoga dengan mengenal lebih baik tentang Dexamethasone, akan
lebih bijak lagi tidak menggunakannya tanpa petunjuk ahli yang berkompeten. (*)

 

 

*) Divisi Alergi-Imunologi Klinik Departemen/SMF Ilmu Penyakit Dalam
FKUA/RSUD dr Soetomo Surabaya

Terpopuler

Artikel Terbaru