28.4 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Berharap Tes Swab Segera Jadi Standar Pemeriksaan

Dr dr Tri Maharani MSi SpEM harus menukar
sementara jas putih yang biasa dikenakan saat bertugas dengan baju pasien.
Dokter yang dikenal jago menangani bisa ular itu terkonfirmasi Covid-19. Begitu
pulang dari rumah sakit (RS), dia punya tekad membuat alat rapid PCR.

Adinda Azmarani, Surabaya

”Aku ini diberi kesempatan hidup kedua oleh Tuhan,” kata dokter Maha (sapaan dr
Tri Maharani) saat bercerita melalui telepon Kamis malam (18/6). Dia bertutur
bahwa sejumlah kenalannya masuk daftar puluhan dokter yang meninggal karena
Covid-19. ”Sungguh luar biasa sembuh,” ucapnya.

Dari dua kali tes swab yang dilakukan pada Senin dan Selasa lalu, dokter
spesialis emergensi itu dinyatakan negatif. Sesuai standar WHO, dia dinyatakan
sembuh. Tapi, dia belum pulang. Virus Sars-CoV-2 membuatnya terkena pneumonia.
Pagi ini rencananya dia menjalani CT scan toraks untuk melihat kondisi
paru-parunya. ”Untuk pulang, semua kelainan itu harus sudah benar-benar
minimal,” ucap perempuan 48 tahun tersebut.
Maha merasa tertular Covid-19 dari seorang petugas laundry di RS Daha Kediri,
tempat dia bertugas. Seorang pria paro baya yang merasakan batuk, sesak napas,
mual, dan demam. ”Saya pikir, ’Waduh, ini kan gejala Covid-19. Mau enggak Pak
saya antar ke Tulungagung?’” katanya.
Maha menawari pasien tersebut memeriksakan diri ke RS rujukan Covid-19 di kota
sebelah. Sebab, di RS tempatnya tidak disediakan tes swab. Bersama anak dan
istri pasien itu, Maha berangkat ke Tulungagung. Maha sendiri menyadari bahwa
kondisinya sedang sangat lelah karena bekerja 16 jam sehari sebelumnya.
Sesampai di sana, pasien drop dan dilarikan ke UGD. ”Dari hasil pemeriksaan,
hasilnya kurang bagus. Secara patologis klinis dia dinyatakan suspect Covid-19.
Tapi, rapid test-nya nonreaktif,” katanya.
Pasien kemudian dirawat inap dan Maha memutuskan pulang. Sebelumnya Maha juga
sudah menjalani rapid test dan hasilnya nonreaktif. Keesokan harinya pada 6
Juni seorang dokter kenalan Maha menawari tes swab gratis. Syaratnya hanya
mengurus berkas BPJS Kesehatan. Melihat kondisi petugas laundry itu, tanpa
pikir panjang Maha mengiyakan.

Sekaligus meminta dirinya dan beberapa rekan
tenaga medisnya ikut dites. Pada 11 Juni hasil tes keluar. Maha dinyatakan
terkonfirmasi Covid-19. ”Rasanya kayak kena petir, tapi ya bagaimana lagi? Aku
kan dokter, harus bisa menghadapinya,” tutur dia.
Setelah melapor ke dinas kesehatan setempat, Maha menjalani karantina mandiri
di rumah. Namun, baru dua hari di rumah, dia merasa tidak aman. ”Di rumah
banyak orang dan anak-anak. Kalau mereka tidak terproteksi menyeluruh,
kasihan,” kata dokter yang sempat menjadi relawan di RS rujukan Covid-19 RSPI
Sulianti Saroso Jakarta selama dua minggu itu.
Selain itu, yang bikin Maha tidak nyaman adalah respons orang-orang di sekitar.
Begitu dia dinyatakan positif, rasanya semua orang jadi panik. Ketua RT, RW,
sampai camat menghubungi keluarganya. Wali kota juga mengumumkannya di radio.
Keluarga Maha mendapat banjir telepon. Tak sedikit yang bernada negatif.
”Saking banyaknya tekanan masyarakat, sampai kakak ikut menyalahkan, kok aku
bisa kena. Ya aku bilang, enggak tahu Mbak, wong sudah proteksi maksimal,”
jelasnya.
Beberapa pasiennya juga menelepon. Khawatir ketularan. Namun, Maha menyebut
risiko itu kecil sekali. Selama bertugas, dia selalu melengkapi diri dengan APD
level III. Tidak ada sentuhan langsung dan setiap pertemuan hanya berjalan 1–5
menit. ”Tapi, untuk mereka yang tetap khawatir, ya enggak apa-apa kalau mau
tes,” katanya.

Baca Juga :  Anak Desa Umpang Semangat Ikut Khitanan Massal Gratis

Hari itu Maha kemudian menelepon Pelayanan Gawat Darurat Public Safety Center
(PSC) 119. Dia dijemput untuk periksa ke RS Kilisuci Kediri. Menjalani tes
darah dan foto toraks, diketahui ternyata Maha terkena pneumonia. Gula darahnya
juga mendadak tinggi. ”Bahaya sekali kan Covid ini. Tak sampai seminggu saya yang
awalnya segar bugar, sudah begitu,” ujarnya.
Menyadari kondisinya tidak baik-baik, Maha mengambil opsi untuk isolasi di RS
Gambiran. Jika sebelumnya berstatus asimtomatis, karena ada pneumonia, kini dia
masuk kategori bergejala alias simtomatis. Pada 6–11 Juni itu, Maha mengaku
memang tak merasakan keluhan yang kuat. Paling hanya pegal-pegal.

Dia menganggapnya karena lelah bekerja.
Sampai dinyatakan terkonfirmasi, dia juga belum punya keluhan. Pada 13 Juni
saat mulai isolasi itulah baru tubuhnya terasa sakit sekali. ”Di sekujur tubuh
nyeri. Rasanya kayak orang dipukuli,” ceritanya.
Pada 14 Juni dini hari mulai pukul 12 sampai 3 Maha batuk terus. Namun,
setelahnya kondisi berangsur membaik. Bisa tidur dengan nyenyak, juga makan
dengan lahap. Obat yang diminum sebelum masuk RS adalah obat yang dianjurkan
untuk pasien flu burung oseltamivir, antibiotik azitromisin, dan vitamin C. Dia
mendapatkan resep dari rekannya seorang dokter paru yang juga survivor
Covid-19.
Saat sudah masuk RS, obatnya ditambah dengan levofloksasin untuk meredakan
pneumonianya. ”Dan beberapa obat simtomatis sesuai dengan keluhan dan keadaan
saya. Misalnya nyeri, ya diberi antinyeri,” katanya. Meski haru menjalani semua
itu, Maha mengaku tidak pernah menyesal membantu petugas laundry tersebut.
”Saya malah senang karena beliau dapat perawatan yang tepat,” ujarnya.
Hanya, Maha ingin terus mengingatkan bahwa Covid-19 ini adalah penyakit serius.
Dia sedih melihat masih ada yang menganggap sakit ini sepele sehingga tak
mengindahkan protokol kesehatan. Maha juga menyayangkan prosedur tes di
Indonesia yang terlalu berbelit-belit. Pasien baru bisa melakukan swab test
jika hasil rapid test-nya reaktif. Padahal, semua tahu rapid test kurang
akurat. Maha pun mendapat hasil nonreaktif pada rapid test hingga tiga kali.
Namun nyatanya, setelah dua kali swab test, hasilnya positif.
Maha berpendapat, sudah seharusnya tes swab menjadi acuan standar yang bisa
dilakukan masyarakat umum. Tidak seperti sekarang. Rapid test reaktif baru
di-swab. ”Harusnya pakai kriteria WHO, yakni confirm atau nonconfirm. Itu
dengan cara PCR atau swab. Jadi, enggak usah ada istilah OTG, PDP, dan
sebagainya. Akibatnya, kita jadi enggak tahu angka pastinya dan tidak bisa buat
kurva epidemiologinya,” tutur dia.
Maha juga berharap pihak RS tidak malu mengakui jika ada nakes yang positif dan
meminta memperlakukannya dengan baik. ”Tolong di-support. Dan kalau ada nakes
yang positif, RS juga hendaknya mau ditutup untuk menghindari penularan,”
katanya. Maha juga mengharapkan stigma masyarakat terhadap pasien Covid-19 berubah.
Tidak perlu terlalu kepo hingga mengganggu keluarga pasien atau melakukan
perundungan. Begitu pulang nanti, Maha akan menjalani isolasi mandiri di rumah
selama 14 hari.
Saat-saat itu akan digunakannya untuk menyelesaikan sejumlah hal yang sudah
direncanakan. Termasuk membuat alat rapid PCR. ”Dengan alat ini nanti tes swab
bisa dilakukan dengan efisien dan hasilnya juga cepat diketahui,” katanya

Baca Juga :  Mengobati Dahaga di Masjid Nabawi, Mengenal Sejarah Kota Madinah

Dr dr Tri Maharani MSi SpEM harus menukar
sementara jas putih yang biasa dikenakan saat bertugas dengan baju pasien.
Dokter yang dikenal jago menangani bisa ular itu terkonfirmasi Covid-19. Begitu
pulang dari rumah sakit (RS), dia punya tekad membuat alat rapid PCR.

Adinda Azmarani, Surabaya

”Aku ini diberi kesempatan hidup kedua oleh Tuhan,” kata dokter Maha (sapaan dr
Tri Maharani) saat bercerita melalui telepon Kamis malam (18/6). Dia bertutur
bahwa sejumlah kenalannya masuk daftar puluhan dokter yang meninggal karena
Covid-19. ”Sungguh luar biasa sembuh,” ucapnya.

Dari dua kali tes swab yang dilakukan pada Senin dan Selasa lalu, dokter
spesialis emergensi itu dinyatakan negatif. Sesuai standar WHO, dia dinyatakan
sembuh. Tapi, dia belum pulang. Virus Sars-CoV-2 membuatnya terkena pneumonia.
Pagi ini rencananya dia menjalani CT scan toraks untuk melihat kondisi
paru-parunya. ”Untuk pulang, semua kelainan itu harus sudah benar-benar
minimal,” ucap perempuan 48 tahun tersebut.
Maha merasa tertular Covid-19 dari seorang petugas laundry di RS Daha Kediri,
tempat dia bertugas. Seorang pria paro baya yang merasakan batuk, sesak napas,
mual, dan demam. ”Saya pikir, ’Waduh, ini kan gejala Covid-19. Mau enggak Pak
saya antar ke Tulungagung?’” katanya.
Maha menawari pasien tersebut memeriksakan diri ke RS rujukan Covid-19 di kota
sebelah. Sebab, di RS tempatnya tidak disediakan tes swab. Bersama anak dan
istri pasien itu, Maha berangkat ke Tulungagung. Maha sendiri menyadari bahwa
kondisinya sedang sangat lelah karena bekerja 16 jam sehari sebelumnya.
Sesampai di sana, pasien drop dan dilarikan ke UGD. ”Dari hasil pemeriksaan,
hasilnya kurang bagus. Secara patologis klinis dia dinyatakan suspect Covid-19.
Tapi, rapid test-nya nonreaktif,” katanya.
Pasien kemudian dirawat inap dan Maha memutuskan pulang. Sebelumnya Maha juga
sudah menjalani rapid test dan hasilnya nonreaktif. Keesokan harinya pada 6
Juni seorang dokter kenalan Maha menawari tes swab gratis. Syaratnya hanya
mengurus berkas BPJS Kesehatan. Melihat kondisi petugas laundry itu, tanpa
pikir panjang Maha mengiyakan.

Sekaligus meminta dirinya dan beberapa rekan
tenaga medisnya ikut dites. Pada 11 Juni hasil tes keluar. Maha dinyatakan
terkonfirmasi Covid-19. ”Rasanya kayak kena petir, tapi ya bagaimana lagi? Aku
kan dokter, harus bisa menghadapinya,” tutur dia.
Setelah melapor ke dinas kesehatan setempat, Maha menjalani karantina mandiri
di rumah. Namun, baru dua hari di rumah, dia merasa tidak aman. ”Di rumah
banyak orang dan anak-anak. Kalau mereka tidak terproteksi menyeluruh,
kasihan,” kata dokter yang sempat menjadi relawan di RS rujukan Covid-19 RSPI
Sulianti Saroso Jakarta selama dua minggu itu.
Selain itu, yang bikin Maha tidak nyaman adalah respons orang-orang di sekitar.
Begitu dia dinyatakan positif, rasanya semua orang jadi panik. Ketua RT, RW,
sampai camat menghubungi keluarganya. Wali kota juga mengumumkannya di radio.
Keluarga Maha mendapat banjir telepon. Tak sedikit yang bernada negatif.
”Saking banyaknya tekanan masyarakat, sampai kakak ikut menyalahkan, kok aku
bisa kena. Ya aku bilang, enggak tahu Mbak, wong sudah proteksi maksimal,”
jelasnya.
Beberapa pasiennya juga menelepon. Khawatir ketularan. Namun, Maha menyebut
risiko itu kecil sekali. Selama bertugas, dia selalu melengkapi diri dengan APD
level III. Tidak ada sentuhan langsung dan setiap pertemuan hanya berjalan 1–5
menit. ”Tapi, untuk mereka yang tetap khawatir, ya enggak apa-apa kalau mau
tes,” katanya.

Baca Juga :  Anak Desa Umpang Semangat Ikut Khitanan Massal Gratis

Hari itu Maha kemudian menelepon Pelayanan Gawat Darurat Public Safety Center
(PSC) 119. Dia dijemput untuk periksa ke RS Kilisuci Kediri. Menjalani tes
darah dan foto toraks, diketahui ternyata Maha terkena pneumonia. Gula darahnya
juga mendadak tinggi. ”Bahaya sekali kan Covid ini. Tak sampai seminggu saya yang
awalnya segar bugar, sudah begitu,” ujarnya.
Menyadari kondisinya tidak baik-baik, Maha mengambil opsi untuk isolasi di RS
Gambiran. Jika sebelumnya berstatus asimtomatis, karena ada pneumonia, kini dia
masuk kategori bergejala alias simtomatis. Pada 6–11 Juni itu, Maha mengaku
memang tak merasakan keluhan yang kuat. Paling hanya pegal-pegal.

Dia menganggapnya karena lelah bekerja.
Sampai dinyatakan terkonfirmasi, dia juga belum punya keluhan. Pada 13 Juni
saat mulai isolasi itulah baru tubuhnya terasa sakit sekali. ”Di sekujur tubuh
nyeri. Rasanya kayak orang dipukuli,” ceritanya.
Pada 14 Juni dini hari mulai pukul 12 sampai 3 Maha batuk terus. Namun,
setelahnya kondisi berangsur membaik. Bisa tidur dengan nyenyak, juga makan
dengan lahap. Obat yang diminum sebelum masuk RS adalah obat yang dianjurkan
untuk pasien flu burung oseltamivir, antibiotik azitromisin, dan vitamin C. Dia
mendapatkan resep dari rekannya seorang dokter paru yang juga survivor
Covid-19.
Saat sudah masuk RS, obatnya ditambah dengan levofloksasin untuk meredakan
pneumonianya. ”Dan beberapa obat simtomatis sesuai dengan keluhan dan keadaan
saya. Misalnya nyeri, ya diberi antinyeri,” katanya. Meski haru menjalani semua
itu, Maha mengaku tidak pernah menyesal membantu petugas laundry tersebut.
”Saya malah senang karena beliau dapat perawatan yang tepat,” ujarnya.
Hanya, Maha ingin terus mengingatkan bahwa Covid-19 ini adalah penyakit serius.
Dia sedih melihat masih ada yang menganggap sakit ini sepele sehingga tak
mengindahkan protokol kesehatan. Maha juga menyayangkan prosedur tes di
Indonesia yang terlalu berbelit-belit. Pasien baru bisa melakukan swab test
jika hasil rapid test-nya reaktif. Padahal, semua tahu rapid test kurang
akurat. Maha pun mendapat hasil nonreaktif pada rapid test hingga tiga kali.
Namun nyatanya, setelah dua kali swab test, hasilnya positif.
Maha berpendapat, sudah seharusnya tes swab menjadi acuan standar yang bisa
dilakukan masyarakat umum. Tidak seperti sekarang. Rapid test reaktif baru
di-swab. ”Harusnya pakai kriteria WHO, yakni confirm atau nonconfirm. Itu
dengan cara PCR atau swab. Jadi, enggak usah ada istilah OTG, PDP, dan
sebagainya. Akibatnya, kita jadi enggak tahu angka pastinya dan tidak bisa buat
kurva epidemiologinya,” tutur dia.
Maha juga berharap pihak RS tidak malu mengakui jika ada nakes yang positif dan
meminta memperlakukannya dengan baik. ”Tolong di-support. Dan kalau ada nakes
yang positif, RS juga hendaknya mau ditutup untuk menghindari penularan,”
katanya. Maha juga mengharapkan stigma masyarakat terhadap pasien Covid-19 berubah.
Tidak perlu terlalu kepo hingga mengganggu keluarga pasien atau melakukan
perundungan. Begitu pulang nanti, Maha akan menjalani isolasi mandiri di rumah
selama 14 hari.
Saat-saat itu akan digunakannya untuk menyelesaikan sejumlah hal yang sudah
direncanakan. Termasuk membuat alat rapid PCR. ”Dengan alat ini nanti tes swab
bisa dilakukan dengan efisien dan hasilnya juga cepat diketahui,” katanya

Baca Juga :  Mengobati Dahaga di Masjid Nabawi, Mengenal Sejarah Kota Madinah

Terpopuler

Artikel Terbaru