32.1 C
Jakarta
Saturday, May 24, 2025

Kalau Mau Tembak, Tembaklah

AKHIR-akhir ini muncul kisah lama tentang
malapetaka dan pertolongan Tuhan, yang dibagiulangkan untuk banyak orang. Salah
satunya seperti ini.

Ada seorang imam yang daerahnya kebanjiran. Datanglah tukang perahu untuk
menolong, tapi ia tak mau. Ia memutuskan naik ke atas bukit sambil berkata,
”Tuhan akan menolongku.” Banjir makin besar, perahu datang lagi, tapi ia ngeyel
dan terus naik ke puncak.

Akhirnya banjir menenggelamkannya dan ia mati. Sang imam protes kepada
Tuhan, ”Kenapa Engkau tak menolongku?” Dengan tenang Tuhan berkata, ”Kan sudah
Aku kirim tukang perahu dan perahunya?”

Tentu saja kisah itu dibagiulangkan di berbagai jejaring media sosial untuk
mengingatkan orang tentang pentingnya melakukan ikhtiar, melengkapi tawakal
kepada Tuhan. Terutama di tengah wabah virus korona seperti sekarang.

Meskipun begitu, saya juga jadi tergelitik untuk melanjutkan dialog sang
imam dengan Tuhan. Saya membayangkan sang imam tetap protes. ”Bagaimana aku
tahu itu perahu kiriman-Mu?” tanya sang imam sambil mengingatkan Tuhan tentang
orang Troy yang menerima pemberian hadiah perdamaian berupa kuda kayu raksasa.

Bukannya memberi kedamaian, ternyata malah membawa bala tentara musuh.
Bagaimana jika perahu itu malah membawa petaka?

Ketakutan adalah hal yang alamiah, sebagaimana hidup akan selalu menghadapi
berbagai ancaman. Dari ancaman sepele hingga ancaman yang bisa berujung
kematian. Dalam menghadapi ketakutan, otak manusia terbiasa bereaksi dengan dua
cara. Melawan atau lari. Untuk menentukan apakah ia melawan atau lari, tentu ia
harus berhitung.

Permasalahannya, bagaimana cara seseorang berhitung? Apakah ia bisa
menghitung besar kecilnya ancaman? Apakah ia juga mampu menghitung kekuatan
dirinya menghadapi ancaman tersebut.

Baca Juga :  Sinergitas dan Koordinasi Menghadapi Pilkada Serentak 2024

Kita mungkin cenderung akan menertawakan sang imam. Sebagian akan
menganggapnya sebagai orang yang beragama, tapi tak mempergunakan isi
kepalanya. Bagi kita, dengan akal pikiran, melihat air yang terus naik,
melompat ke perahu jelas lebih mungkin untuk selamat.

Masalahnya, akal pikiran kadang kala tak berjalan dengan baik di tengah
ketakutan. Saya sering melihat orang yang berlari panik menjerit-jerit hanya
karena melihat ulat. Kenapa ia harus berlari? Kenapa harus menjerit? Kita tahu
ulat tak akan bisa mengejarnya.

Faktor lain yang sering kali melipatgandakan ketakutan, sekaligus
menumpulkan akal pikiran, adalah kebingungan. Seseorang tak bisa membuat
perhitungan, dan pada akhirnya tak bisa membuat keputusan yang tepat. Naik ke
atas bukit dan berharap mukjizat Tuhan atau menerima pertolongan tukang perahu
yang ada di depan mata?

Varian terbaru virus korona tak banyak dikenali kebanyakan orang. Bahkan,
sampai hari ini, manusia belum menemukan vaksin maupun antivirusnya. Pada saat
yang sama, kasusnya di berbagai negara memberi gambaran mengerikan. Tak hanya
kematian, tapi juga penutupan kota dan negara.

Bagi saya ketakutan atas wabah ini nyata. Orang-orang mulai mencuci tangan
lebih sering. Saya menyuruh anak untuk mencuci tangan bahkan sambil menyanyikan
lagu Happy Birthday, untuk memastikan dia mencucinya lama. Di situasi terburuk,
orang memborong mi instan. Masker menghilang dari toko-toko.

Saya yakin orang lain juga sama khawatirnya. Tapi, kenapa masih banyak
orang berlalu-lalang? Masih banyak yang kumpul-kumpul? Bahkan ada anggota DPRD
yang dengan pongah menolak diperiksa tim kesehatan ketika pulang dari
perjalanan luar kota.

Baca Juga :  Bupati Kapuas Izinkan Salat Idulfitri Berjamaah di Masjid

Kenapa kita tidak bisa satu barisan, bersama-sama melawan ketakutan,
melawan wabah yang tak hanya memorak-porandakan tubuh, tapi juga jiwa (lelah,
cemas), serta kehidupan sosial (curiga, renggang)?

Saya jadi teringat satu dialog dari film koboi lawas karya Sergio Leone
berjudul The Good, The Bad and The Ugly:
”When you have to shoot, shoot! Don’t talk!
”

Di banyak film, kalau ada seorang bocah atau tokoh yang lemah menodongkan
pistol ke penjahat, penjahatnya akan terus ngoceh, mengalihkan perhatiannya.
Membuatnya bingung, membuatnya tak bisa mengambil keputusan dengan tepat.

Di tengah kecemasan menghadapi wabah ini, kita juga melihat rakyat yang
bingung, gagap membuat keputusan penting untuk mereka sendiri. Di rumah saja
atau tetap keluar demi sesuap nasi? Pergi Jumatan atau salat di rumah?

Mereka seperti bocah dengan pistol yang tak tahu harus menembak atau tidak,
sementara para pemimpin malah membuatnya tambah bingung. Di awal wabah,
Presiden Jokowi masih mempromosikan diskon hotel agar pariwisata tetap tumbuh.
Menteri kesehatan? Ia bilang, korona penyakit yang bisa sembuh sendiri.

Bahkan, sampai sekarang, kita tak tahu apakah penjarakan sosial merupakan
imbauan serius? Toh, orang masih keluar rumah tanpa ada sanksi.

Saya ingin mengingatkan kembali akan dialog film koboi tadi untuk para
pemimpin kita. Ketika harus menembak, segera tembak! Terlalu banyak omong,
malah kita ditembak duluan. Itu aturan penting di dunia koboi, dan saya pikir
aturan penting juga di masa krisis, di dunia nyata.

(penulis adalah novellis)

AKHIR-akhir ini muncul kisah lama tentang
malapetaka dan pertolongan Tuhan, yang dibagiulangkan untuk banyak orang. Salah
satunya seperti ini.

Ada seorang imam yang daerahnya kebanjiran. Datanglah tukang perahu untuk
menolong, tapi ia tak mau. Ia memutuskan naik ke atas bukit sambil berkata,
”Tuhan akan menolongku.” Banjir makin besar, perahu datang lagi, tapi ia ngeyel
dan terus naik ke puncak.

Akhirnya banjir menenggelamkannya dan ia mati. Sang imam protes kepada
Tuhan, ”Kenapa Engkau tak menolongku?” Dengan tenang Tuhan berkata, ”Kan sudah
Aku kirim tukang perahu dan perahunya?”

Tentu saja kisah itu dibagiulangkan di berbagai jejaring media sosial untuk
mengingatkan orang tentang pentingnya melakukan ikhtiar, melengkapi tawakal
kepada Tuhan. Terutama di tengah wabah virus korona seperti sekarang.

Meskipun begitu, saya juga jadi tergelitik untuk melanjutkan dialog sang
imam dengan Tuhan. Saya membayangkan sang imam tetap protes. ”Bagaimana aku
tahu itu perahu kiriman-Mu?” tanya sang imam sambil mengingatkan Tuhan tentang
orang Troy yang menerima pemberian hadiah perdamaian berupa kuda kayu raksasa.

Bukannya memberi kedamaian, ternyata malah membawa bala tentara musuh.
Bagaimana jika perahu itu malah membawa petaka?

Ketakutan adalah hal yang alamiah, sebagaimana hidup akan selalu menghadapi
berbagai ancaman. Dari ancaman sepele hingga ancaman yang bisa berujung
kematian. Dalam menghadapi ketakutan, otak manusia terbiasa bereaksi dengan dua
cara. Melawan atau lari. Untuk menentukan apakah ia melawan atau lari, tentu ia
harus berhitung.

Permasalahannya, bagaimana cara seseorang berhitung? Apakah ia bisa
menghitung besar kecilnya ancaman? Apakah ia juga mampu menghitung kekuatan
dirinya menghadapi ancaman tersebut.

Baca Juga :  Sinergitas dan Koordinasi Menghadapi Pilkada Serentak 2024

Kita mungkin cenderung akan menertawakan sang imam. Sebagian akan
menganggapnya sebagai orang yang beragama, tapi tak mempergunakan isi
kepalanya. Bagi kita, dengan akal pikiran, melihat air yang terus naik,
melompat ke perahu jelas lebih mungkin untuk selamat.

Masalahnya, akal pikiran kadang kala tak berjalan dengan baik di tengah
ketakutan. Saya sering melihat orang yang berlari panik menjerit-jerit hanya
karena melihat ulat. Kenapa ia harus berlari? Kenapa harus menjerit? Kita tahu
ulat tak akan bisa mengejarnya.

Faktor lain yang sering kali melipatgandakan ketakutan, sekaligus
menumpulkan akal pikiran, adalah kebingungan. Seseorang tak bisa membuat
perhitungan, dan pada akhirnya tak bisa membuat keputusan yang tepat. Naik ke
atas bukit dan berharap mukjizat Tuhan atau menerima pertolongan tukang perahu
yang ada di depan mata?

Varian terbaru virus korona tak banyak dikenali kebanyakan orang. Bahkan,
sampai hari ini, manusia belum menemukan vaksin maupun antivirusnya. Pada saat
yang sama, kasusnya di berbagai negara memberi gambaran mengerikan. Tak hanya
kematian, tapi juga penutupan kota dan negara.

Bagi saya ketakutan atas wabah ini nyata. Orang-orang mulai mencuci tangan
lebih sering. Saya menyuruh anak untuk mencuci tangan bahkan sambil menyanyikan
lagu Happy Birthday, untuk memastikan dia mencucinya lama. Di situasi terburuk,
orang memborong mi instan. Masker menghilang dari toko-toko.

Saya yakin orang lain juga sama khawatirnya. Tapi, kenapa masih banyak
orang berlalu-lalang? Masih banyak yang kumpul-kumpul? Bahkan ada anggota DPRD
yang dengan pongah menolak diperiksa tim kesehatan ketika pulang dari
perjalanan luar kota.

Baca Juga :  Bupati Kapuas Izinkan Salat Idulfitri Berjamaah di Masjid

Kenapa kita tidak bisa satu barisan, bersama-sama melawan ketakutan,
melawan wabah yang tak hanya memorak-porandakan tubuh, tapi juga jiwa (lelah,
cemas), serta kehidupan sosial (curiga, renggang)?

Saya jadi teringat satu dialog dari film koboi lawas karya Sergio Leone
berjudul The Good, The Bad and The Ugly:
”When you have to shoot, shoot! Don’t talk!
”

Di banyak film, kalau ada seorang bocah atau tokoh yang lemah menodongkan
pistol ke penjahat, penjahatnya akan terus ngoceh, mengalihkan perhatiannya.
Membuatnya bingung, membuatnya tak bisa mengambil keputusan dengan tepat.

Di tengah kecemasan menghadapi wabah ini, kita juga melihat rakyat yang
bingung, gagap membuat keputusan penting untuk mereka sendiri. Di rumah saja
atau tetap keluar demi sesuap nasi? Pergi Jumatan atau salat di rumah?

Mereka seperti bocah dengan pistol yang tak tahu harus menembak atau tidak,
sementara para pemimpin malah membuatnya tambah bingung. Di awal wabah,
Presiden Jokowi masih mempromosikan diskon hotel agar pariwisata tetap tumbuh.
Menteri kesehatan? Ia bilang, korona penyakit yang bisa sembuh sendiri.

Bahkan, sampai sekarang, kita tak tahu apakah penjarakan sosial merupakan
imbauan serius? Toh, orang masih keluar rumah tanpa ada sanksi.

Saya ingin mengingatkan kembali akan dialog film koboi tadi untuk para
pemimpin kita. Ketika harus menembak, segera tembak! Terlalu banyak omong,
malah kita ditembak duluan. Itu aturan penting di dunia koboi, dan saya pikir
aturan penting juga di masa krisis, di dunia nyata.

(penulis adalah novellis)

Terpopuler

Artikel Terbaru