Isu besar dalam negeri ini sayang
terpaksa kalah dengan berita virus Wuhan. Soal Kampus Merdeka itu. Gagasan
Mendikbud Nadiem Makarim itu.
Itulah gagasan Nadiem jilid dua.
Yang diluncurkan minggu lalu –dalam sebuah forum besar di Kemendikbud Jakarta.
Video paparannya sudah beredar luas. Lengkap. Dari awal sampai akhir. Sepanjang
35 menit. Sudah termasuk untuk memutar video hasil kuliah kerja nyata mahasiswa
Universitas Gajah Mada Jogjakarta selama 6 menit.
“Setiap melihat video ini
saya terharu. KKN dua bulan saja sudah bisa mengubah begitu banyak,” kata
Nadiem. “Apalagi kalau enam bulan. Apalagi kalau satu tahun,”
tambahnya.
Dari segi gaya, pidato Nadiem
sangat menarik. Intonasi suaranya, gaya bicaranya, dan tidak adanya podium di
panggung itu mengingatkan saya gaya seorang CEO perusahaan besar.
Ia memang tidak seperti pejabat
pemerintah biasa. Ia memang pengusaha besar. Ia salah satu dari empat menteri
di kabinet ini yang kekayaannya di atas Rp 1 triliun.
Judul gagasan itu sendiri sangat
seksi. Bukan seperti biasanya tema instansi pemerintahan. Lihatlah tema gagasan
itu: Kampus Merdeka.
Ups…Pidato itu bukan lagi
gagasan. Gagasan itu sudah dinyatakan sebagai kebijakan. Yang harus
dilaksanakan oleh perguruan tinggi.
Hanya detilnya yang belum
dirinci. Detail itu akan menjadi bagian dari kemerdekaan kampus itu sendiri
–untuk menetapkannya.
Maka dalam 100 hari masa
jabatannya itu Nadiem sudah meluncurkan dua kebijakan mendasar. Yang pertama
soal SD-SMP-SMA. Termasuk mengenai ujian nasional yang tidak lagi diperlukan.
Kini soal perguruan tinggi.
Hari-hari ini kampus tentu lagi
heboh. Banyak yang menilai kebijakan itu baru. Dan mendasar. Setidaknya untuk
Indonesia.
Sebagian lagi menilainya
menyimpang dari tujuan dasar pendidikan di universitas. Lalu mengaitkannya
dengan untuk apa ada politeknik.
Yang paling menarik adalah itu:
mahasiswa tidak lagi harus 4 tahun (8 semester) belajar di dalam kampus.
Sebagiannya boleh tidak usah datang ke kampus. Yakni yang tiga semester (1,5
tahun). Tapi yang benar-benar harus di luar kampus adalah dua semester, 1
tahun.
Berarti sepertiga waktu kuliah
tidak perlu lagi memikir kos di dekat kampus. Atau bagaimana harus mencari
tempat parkir yang kian sulit di kampus-kampus.
Selama dua semester mereka harus
bekerja di suatu perusahaan/lembaga. Atau harus magang di perusahaan/lembaga.
Atau membantu menjadi tenaga riset para guru besar dan mahasiswa S3.
Atau merintis dan menjalani
bisnis sendiri. Bagi mahasiswa yang selama ini sudah merangkap berbisnis
kecil-kecilan tentu tidak ada alasan lagi bisnisnya tidak berkembang –dengan
alasan sibuk kuliah.
Sering sekali saya diundang ke
kampus untuk memberi kuliah umum tentang bisnis. Saya selalu kaget –kaget yang
saya selalukan– melihat begitu banyak mahasiswa yang sudah mulai berbisnis.
Banyak juga yang sulit berkembang dengan alasan itu tadi –sibuk kuliah.
Dengan kebijakan baru ini tentu
kehidupan di kampus akan berubah total.
Sepertiga pengunjung kantin akan
hilang. Tempat kos lebih sepi. Tempat parkir motor bisa sedikit lebih longgar.
Tapi bukan itu yang penting.
Mahasiswa menjadi tidak lagi hanya berorientasi pada buku. Atau teori. Ketika
lulus S1 mereka juga sudah pernah belajar di kehidupan nyata.
Maka kampus-kampus kini sangat
sibuk untuk merumuskan detil kebijakan itu. Terutama dalam mengatur kembali
dosennya.
Misalnya soal tiga semester itu.
Baru dua semester yang disebut harus bekerja di luar kampus. Yang satu semester
lagi belum dijelaskan untuk apa.
Demikian juga kegiatan di luar
kampus itu ternyata belum sepenuhnya boleh merdeka. Masih harus mendapat
persetujuan universitas –bahkan persetujuan Kemendikbud.
Kemendikbud pun masih akan sangat
sibuk. Termasuk menilai kembali banyak kebijakan lama. Misalnya apakah
penentuan rasio jumlah dosen-mahasiswa yang ada sekarang masih relevan.
Begitu banyak detil yang harus
dibahas di kampus. Misalnya pada semester berapa mahasiswa boleh ‘kuliah’ di
luar kampus. Di awal? Pertengahan? Akhir?
Lalu berapa SKS yang mereka
peroleh selama ‘kuliah’ di luar kampus itu. Lalu bagaimana cara menilai mereka.
Tapi itu semua tidak akan sulit.
Sudah banyak contoh di negara maju. Tinggal meniru mereka saja. Atau
menyesuaikannya.
Yang sulit mungkin mencari
‘tempat kuliah’ itu. Di Indonesia perbandingan banyaknya mahasiswa dengan
tempat usaha tidak sebagus di negara maju.
Mahasiswa di Indonesia akan
banyak yang mengalami kesulitan berebut tempat kerja atau magang. Tapi
kesulitan itu baik juga –untuk menguji kegigihan mahasiswa dalam berjuang
sejak muda.
Bagi mahasiswa ilmu sosial dan
politik mungkin punya banyak tempat –kalau mereka diizinkan praktek menjadi
tim sukses para calon kepala daerah. Atau tim sukses para calon anggota DPR.
Atau menjadi asisten para anggota DPR/DPRD.
Bolehkah?
Atau mahasiswa bisa menjadi
asisten di kantor-kantor pemerintah. Sambil mengisi kekurangan tenaga di situ
akibat dihapuskannya pengangkatan tenaga honorer baru.
Yang juga akan menarik adalah
mahasiswa di universitas keguruan. Seberapa banyak mahasiswa yang akan memilih
tempat ‘kuliah’ di pedalaman Papua atau di kepulauan terpencil. Sambil
mengatasi kekurangan guru di sana.
Soal ‘kuliah’ di luar kampus ini
kelihatannya akan mendapat banyak dukungan.
“Topik ini bagian favorit
saya,” ujar Nadiem. Lebih favorit dari dua topik lain yang lebih dulu ia
kemukakan: pembukaan prodi dan akreditasi.
Penentangan hanya akan datang
dari fakultas kedokteran. Tapi Nadiem sudah menjelaskan bahwa untuk mahasiswa
kedokteran dikecualikan.
Tentu untuk mahasiswa kedokteran
memang tidak cocok ada kemerdekaan seperti itu.
Yang akan ribut kelihatannya soal
‘merdeka akreditasi’. Ribut senang dan ribut mutu. Universitas tentu senang di
soal kemerdekaan administrasinya.
Akreditasi tidak diharuskan. Soal
mutu diserahkan ke pasar. Yang mau akreditasi silakan. Tapi yang melakukan
akreditasi bukan lagi Kemendikbud. Tapi organisasi profesi dan atau asosiasi.
Misalnya fakultas ekonomi. Bisa
minta akreditasi dari KADIN. Atau Apkindo. Atau ISEI –ikatan sarjana ekonomi
Indonesia.
Yang jurusan akuntansi bisa minta
akreditasi dari Ikatan Akuntan Indonesia. Bahkan satu fakultas bisa saja
mendapat akreditasi dari banyak lembaga.
Misalnya lagi fakultas tehnik
sipil. Bisa saja mendapat akreditasi dari Persatuan Insinyur Indonesia. Juga
dari IAI –karena lulusan fakultas itu mampu menghitung satu konstruksi lengkap
dengan perhitungan akuntansi break even point-nya.
Hanya saja lembaga mana saja yang
diberi hak mengeluarkan akreditasi belum diatur. Atau biar lembaga itu sendiri
yang menyiapkan diri untuk mampu memberikan akreditasi.
Bebas. Merdeka.
Tapi, kata Nadiem, pemerintah
akan mengontrolnya dengan ketat. Misalnya lewat pengaduan masyarakat. Kok mutu
perguruan tinggi itu tidak cocok dengan kategori akreditasinya.
Atau lewat data alumninya. Kok
banyak alumni yang jadi pengangguran. Padahal akreditasinya A.
Semacam itu.
Kini semua universitas juga
diberi kemerdekaan membuka jurusan apa saja. Asal sudah memiliki kontrak
kerjasama dengan 100 perguruan tinggi tingkat dunia. Atau lembaga tingkat dunia
seperti Asian Development Bank, Bank Dunia, IMF, Unesco dan seterusnya.
Bahkan cukup kalau ada kerjasama
dengan perusahaan kelas dunia dan BUMN/BUMN.
Kerjasama itu harus dibuktikan
dengan terjadinya penyusunan kurikulum bersama, pemagangan dan lapangan kerja.
Yang juga menarik perhatian saya
adalah sosok Nadiem Makarim sendiri.
Dalam paparan itu pakaian Nadiem
rapi jali. Bajunya lengan panjang. Diseterika licin.
Tidak lagi ‘mbois’ seperti saat
pelantikan rektor Universitas Indonesia yang heboh itu.
Hari itu saya lihat Nadiem juga
mengenakan ‘simbol/pin menteri’ di bajunya bagian dada. Ia kelihatan tampil
lebih formal.
Dalam hal pin ini saya juga
kalah. Selama tiga tahun menjadi sesuatu dulu saya tidak pernah sekali pun
mengenakan simbol/pin menteri.
Pernah satu kali saya ingin
memakainya, tapi gagal –saya cari tidak ketemu.(Dahlan Iskan)