Tiba-tiba saya ingat: Tiongkok lagi mengembangkan kereta baru dengan kecepatan melebihi pesawat Boeing 777. Tentu ini proyek rahasia. Bagaimana bisa membuat kereta dengan kecepatan 1000 km/jam.
Saya pernah mendengar riset itu dilakukan di daerah yang jauh. Di kabupaten 大同, di provinsi 山西.
Saya pernah ke provinsi Shanxi. Saya memang sudah menjelajah ke semua provinsi di Tiongkok dan hafal nama-namanya –kecuali Tibet.
Saat ke Shanxi dulu saya hanya ke ibu kotanya: 太原. Sedang lokasi riset itu jauh di lima jam lebih ke utara.
Saya punya waktu dua hari sebelum jadwal bertemu dokter 5i di Beijing. Saya pun lihat peta: di mana itu kabupaten Datong. Jauh sekali. Lima jam pakai mobil dari Taiyuan, ibu kota Shanxi.
Provinsi Shanxi sendiri berada di sebelah timur laut provinsi Shanxi. Dua Shanxi tapi beda cara mengucapkannya. Yang satu diucapkan dengan nada datar (nada satu), satunya lagi diucapkan dengan nada sedikit naik (nada dua). Lebih mudah lagi membedakannya kalau Anda melihat tulisan Mandarinnya. 山西 dan 陕西. Yang 陕西 ber ibu kota di Xi’an.
Teman-teman di Beijing juga pernah mendengar proyek kereta 1000 km itu. Yang mereka dengar bukan hanya 1000 km/jam melainkan 1200. Tapi mereka tidak tahu di mana riset itu dilakukan.
Saya harus menemukannya. Setidaknya lokasinya. Saya pun pamit ke Datong. Naik kereta cepat dari Beijing.
Begitu pamit, suami Janet mengira saya akan melihat tambang batu bara. Shanxi memang salah satu pusat penambangan batu bara di Tiongkok. Sang suami pernah ke tambang-tambang itu.
Janet sendiri mengira saya akan berwisata: ke Xuan Kong Shi (悬空寺) dan Yun Gang Shi Ku (云冈石窟). Dua kuil itu berjauhan sejarak tiga jam naik mobil.
Dua-duanya “bintang lima” dalam ranking lokasi wisata Tiongkok. Masih ada wisata ”bintang lima” lainnya di Datong: Great Wall. Tembok Besar Tiongkok itu begitu panjangnya hingga sampai ke Datong –dan masih jauh lagi.
Saya tidak bercerita pada mereka mengenai keinginan saya yang sebenarnya. Saya takut mereka menakut-nakuti saya. Pokoknya saya ke kota Datong. Harus bisa menemukan lokasi riset itu.
Kereta dari Beijing pun melaju ke arah barat laut. Saya turun di stasiun Datong Timur. Stasiun baru. Ini kota terpencil tapi stasiunnya besar sekali. Indah sekali.
Dalam perjalanan ke hotel saya bertanya ke sopir taksi di mana lokasi kereta 1.000 km/jam itu. Tidak tahu.
Dari lantai atas hotel, saya melihat pemandangan seperti tembok benteng kuno. Hanya sepelemparan map ijazah dari hotel.
Lokasi yang dikelilingi tembok kuno itu luas sekali. Lebih 1 km2. Di dalam tembok itu penuh bangunan seperti di China Town. Saya pun turun ke lobi.
“Apa itu?” tanya saya.
“Itu kota tua Datong”.
“Kota tua? Asli?”
“Kota tua yang sudah direhabilitasi”.
“Rehabilitasi kota tua seluas itu?”.
“Dikerjakan selama empat tahun, dari tahun 2008 sampai 2012. Nanti malam Anda wajib jalan-jalan ke situ”.
Saya pun beralih ke soal kereta 1.000 km/jam.
“Pernah dengan Tiongkok akan buat kereta berkecepatan 1.000 km/jam?”.
“Tahu. 1.200 km/jam”.
“Di mana lokasinya?”
“Tidak tahu”.
Mentok. Jalan buntu.
“Seribu kepala sudah saya tanya. Seribu lidah sudah saya jelajah. Tidak ada yang tahu” –maafkan Kang Didi Kempot.
Setelah senja saya penuhi keinginan petugas hotel tadi. Saya ke kota tua yang baru itu. Terpana. Permainan arsitektur tua dan gemerlapnya modern cahaya bersatu dalam semangat menjadi yang terbaik.
Tiga jam tak terasa. Kaki seperti benar-benar tua. Untung sudah makan sate kambing pinggir jalan sebelum ke sana.
“Seribu kepala lagi saya tanya. Hasilnya sama saja”.
Apa boleh buat. Besok pagi terpaksa rekreasi saja. Ke dua lokasi bintang lima itu. Anda lihat sendiri video-videonya di Baidu: patung-patung Buddha di dalam gua-gua batu di tebing gunung.
Di lokasi satunya, Anda lihat, bagaimana kelenteng-kelenteng itu dibangun di tebing gunung yang tegak di posisi begitu tinggi.
Saya merenung di situ: alangkah sabar orang zaman dulu dalam mewujudkan semua itu. Satu patung bisa bertahun-tahun. Satu kelenteng bisa puluhan tahun. Rasanya bukan hasil keindahan fisiknya yang dikejar, tapi kematangan jiwa yang hanya bisa dihasilkan oleh kesabaran sekelas itu.
Mereka tidak memerlukan kereta secepat 1000 km/jam. Patung itu, kelenteng itu, kereta cepat itu. Masa lalu vs masa kini. Kesabaran vs kecepatan.(Dahlan Iskan