Oleh RISDA NUR WIDIA*
Pagi belum membuka gelapnya ketika dengan kaki bergetar, Pahar menggeret kapal memancing milik pamannya yang diparkir di naje. Dengan seluruh kekuatannya, kapal itu Pahar seret menuju bibir pantai Lamalera. Pahar berharap tak seorang pun melihatnya.
Orang-orang pasti akan mencegahnya untuk pergi ke laut seorang diri bila diketahui. Apalagi saat mereka tahu di lambung kapalnya ada sebuah tempuling milik bapa yang dahulu acap digunakan untuk memburu baleo, penduduk desa pasti akan menganggapnya akan bunuh diri.
Paha segera naik dan mendayung kapalnya. Ombak pagi yang belum terlalu tinggi memudahkannya mengemudikan kapal. Otot-otot Pahar yang telah terbiasa membantu pamannya –yang seorang atamola dan acap membuat kapal paledang– tidak goyah saat bertarung dengan ombak.
Pahar tidak membutuhkan bantuan seorang meng atau lamauri di buritan kapalnya. Pahar merasa dirinya adalah seorang lamafa pemberani yang siap menyerahkan nyawanya pada laut.
Ketika kapal sudah cukup jauh dari daratan, Pahar menatap kampungnya di bawah kaki gunung Labalekang. Lampu-lampu bersinar temaram. Pahar lalu mengerling ke bukit batu bertebing curam yang sering disebut sebagai gripe oleh penduduk desa.
Di sanalah ayahnya dahulu sering mengajak melihat keluasan laut Lamalera seraya menceritakan kisahnya saat bertarung dengan baleo. Namun, kini seluruh kisah yang diceritakan oleh ayahnya itu sering membuat dada Pahar sesak.
”Ayah, apakah kau masih hidup di laut?” gumam Pahar melengos ke tempuling-nya. ”Apakah kau kini telah menjadi seekor baleo seperti keinginanmu?”
Pahar menarik napas. Kapal secara perlahan bergerak menuju tengah laut. Di dalam hati kecilnya, Pahar tak tahu apakah perjalanannya pagi itu akan mendapatkan sesuatu yang dicarinya.
Lautan menyimpan seribu rahasia, baginya. Mungkin saja yang ia dapat hari itu adalah maut. Tetapi, bagi Pahar semuanya tak berarti apa pun. Ia tak punya pilihan selain tetap pergi. Hanya lautlah yang menyimpan jawabannya.
Di tengah badai kecamuk perasaannya, Pahar mendengar sayup-sayup suara dan melihat seorang wanita di sana.
Pelayaran gila ini bermula dari seorang wanita bernama Korie. Gadis cantik berkulit cokelat dengan rambut ikal layaknya ombak laut Lamalera itu merupakan sosok yang membuat Pahar nekat melakukan ini.
Mereka sudah saling mengenal selama satu tahun, tetapi tak memiliki hubungan apa pun. Mereka pertama bertemu saat upacara adat tobu nama fatta di bibir pantai Lamalera. Saat itu Pahar terpesona dengan hangat sikap Korie yang menyerupai Ina Lefa –seorang ratu lautan Halmahera. Pahar jatuh cinta padanya karena tidak mudah didekati.
Segala upaya dilakukan Pahar untuk menggait hati Korie. Tetapi, sebagai seorang wanita kalem, hati Korie tidak mudah ditaklukkan. Walaupun Pahar memiliki wajah rupawan, Korie sama sekali tak memedulikannya.
Ditambah lagi Korie tidak suka dengan pemuda-pemuda dari wilayah Lalifatan. Bagi Korie, para pemuda dari wilayah Lalifatan adalah sekumpulan pengangguran tak berguna. Orang-orang dari wilayah Halmahera bawah terkenal suka minum sagure hingga kehilangan akal dan berbuat onar.
Pahar tidak menyerah untuk mendapatkan hati gadis yang ditaksirnya. Ia beberapa kali datang ke gereja kampung yang berada di Tetilefo untuk mendekati Korie. Biasanya Pahar membawa sesuatu, baik itu bunga, makanan, atau kalung kerang yang ia buat sendiri.
Namun, Korie selalu menolak untuk menerimanya. Pahar tidak kecewa dengan penolakan itu. Bagi Pahar, semakin susah seorang wanita ditaklukkan, maka ia sangat layak untuk dijadikan istri.
Setelah hampir sepuluh bulan berjuang, Korie akhirnya memberikan kesempatan kepada Pahar. Korie baru tahu kalau Pahar bukanlah pria yang sering dibayangkannya. Beberapa hari sebelumnya, Korie mendapatkan cerita dari pamannya yang berkunjung ke rumah.
”Kau kini sedang dekat dengan Pahar?” kata pamannya. ”Aku sering melihatmu pulang berdua dari gereja.”
”Oh, tidak, Paman!” Korie segera menimpali. ”Pahar hanya menemuiku untuk memberikanku kalung kerang.”
Pamannya tersenyum. Pria itu kenal Pahar karena beberapa kali berpapasan dengannya di naje. Paman Korie bercerita kalau Pahar adalah pria tekun dan giat. Ia sangat jarang meninggalkan pekerjaannya karena ajakan yang tak penting.
Ia juga tak pernah meminum sagure. Demikianlah karena cerita itu, Korie akhirnya memberikan kesempatan kepada Pahar.
”Datanglah kau dan bapamu ke rumah,” tandas Korie. ”Biarkan keluargaku mengenal keluargamu terlebih dahulu.”
”Apakah itu tak berlebihan?” Pahar ragu. ”Karena…”
”Tidak,” Korie menimpali. ”Justru biar keluarga kita dahulu. Setelah itu baru kita.”
Pahar mengangguk kuyu dan pulang dengan hati berat. Ia tak berpikir akan sejauh itu Korie memintanya. Esok harinya, Pahar datang ke rumah Korie hanya dengan ibunya. Keluarga Korie pun sedikit tersinggung dengan hal itu.
Apalagi setelah tahu bahwa Pahar sudah lama ditinggal oleh bapanya. Demikianlah setelah pertemuan itu, Korie dan Pahar kembali bertemu. Kini mereka membuat janji di gripe.
”Keluargaku tak suka kau datang hanya dengan ibumu,” ucap Korie.
”Mereka pasti berpikir kalau aku bukan berasal dari keluarga baik,” Pahar mafhum.
”Jadi kau tidak tahu ke mana bapamu?” lanjut Korie.
”Yang aku tahu ia hanya pergi ke laut,” tandas Pahar. ”Dan tidak pernah kembali.”
Percakapan itu pun terpotong. Mereka berpisah. Akan tetapi, perpisahan itu menggerakkan hati Pahar untuk pergi ke laut. Karena –seperti yang acap kali orang-orang kampungnya katakan– di lautlah segala jawaban disediakan.
Ombak menyeretnya dengan begitu kasar, ganas, serta bengis. Pahar tak berusaha melawan arus laut Lamalera. Ia hanya berupaya untuk mengarahkan kapal kecilnya agar tak terbalik. Di tengah hamparan biru lautan, lengkung langit yang mencangkupi kepalanya, dan ombak ganas, Pahar terkenang bapa saat memancing dahulu…
Hampir setiap Jumat atau Sabtu, Pahar selalu diajak bapa memancing. Mereka biasanya akan pergi ke pinggiran laut dengan kapal kecil milik kakeknya.
”Ketika kau berada di tengah laut,” kata bapa. ”Jangan pernah kau menganggap dirimu hebat. Kau begitu kecil di sini. Laut bahkan bisa menelanmu.”
”Tapi aku ingin sepertimu,” ungkap Pahar. ”Aku ingin menjadi lamafa.”
Rahasia bebas diabetes? Cukup minum ini sebelum tidur!
Buka
”Kau tampaknya belum mengerti arti menjadi lamafa dan memburu seekor baleo.”
”Memang apa itu?”
”Baleo itu adalah diri kita sendiri. Jadi sebenarnya kita sedang menangkap diri kita sendiri.”
Pahar tidak paham soal itu. Bapa segera menjelaskan bahwa memburu baleo adalah wujud spiritual untuk menaklukkan diri sendiri. Baleo yang besar, gagah, dan kuat merupakan bentuk kebalikan dari diri manusia yang kecil, pongah, dan lemah.
Dengan berburu seekor baleo, sebenarnya seseorang sedang menyadarkan diri dengan maut yang mungkin saja datang kepadanya. Selain itu, dengan berburu baleo, orang akan tahu mengenai batas.
”Jadi bukan hanya menangkap seekor ikan besar saja?”
”Bukan!” timpal bapa. ”Kelak kau akan paham sendiri soal ini tanpa aku harus menjelaskannya.”
Bertahun-tahun kemudian, ia mulai paham mengenai nasihat bapa. Ia pergi ke laut saat ini untuk mencari jawaban atas pertanyaan yang ada di dalam dirinya, mengenai: di mana bapa? Jawaban itu Pahar percaya hanya dapat diketahui dengan memburu baleo.
Dengan memburu baleo, batas terakhir dari pertanyaannya yang sudah dipendam sejak kecil mengenai teka-teki hilangnya bapa.
”Apakah benar kau kini telah menjadi seekor baleo?” desis Pahar seorang diri.
Dahulu sekali, bapa sering berucap kepada teman-teman di naje kalau kelak dirinya mati ingin kembali hidup sebagai baleo. Termasuk pula dengan istrinya.
”Hidup kembali sebagai baleo tampaknya akan lebih beruntung daripada menjadi manusia,” ungkap bapa.
”Mengapa begitu?” tanya istrinya.
”Kau akan lebih memiliki makna bagi orang-orang di sekitarmu.”
”Bukankah kau hanya akan diburu dan dibunuh bila hidup kembali menjadi baleo.”
”Memang seperti itu kelihatannya,” bapa tersenyum. ”Tapi aku mati dengan membersihkan dosa mereka.”
Di tengah lamunannya, tiba-tiba ada seekor baleo naik ke permukaan dengan menyemburkan air dari lubang di punggungnya. Baleo itu mengibaskan ekornya yang besar –bahkan bila diukur akan lebih lebar dari kapalnya. Pahar sempat tertegun takjub melihat semburan dari punggung baleo tersebut.
Baleo itu beberapa kali keluar masuk laut, ia kemudian tertegun menatap Pahar. Kedua mata mereka saling tatap. Pahar sendiri tidak mengerti mengapa hal ini terjadi. Akan tetapi, karena hal aneh ini, Pahar menjadi ragu dengan dirinya sendiri. Kakinya bergetar hebat. Tatapan baleo itu begitu ganas seolah ingin melahapnya.
”Apakah kau menantangku?” gumam Pahar.
Pahar lantas teringat ucapan bapa mengenai pertarungan seorang lamafa dan baleo. Ingatan itu membuat Pahar segera mengayuh kapal kecilnya mendekat. Akan tetapi, baleo itu sama sekali tidak bergerak. Bahkan ketika Pahar mulai ambil kuda-kuda untuk menusukkan tempuling-nya ke tubuh baleo, ikan besar itu tak memberi respons apa pun.
Begitulah ketika tempuling Pahar sudah menancap, segera baleo itu mengepakkan ekornya. Baleo itu juga melompat beberapa meter ke udara dan membuat Pahar terpelanting. Cuma Pahar tidak melepaskan tempuling-nya meski sang baleo menyeretnya ke dasar laut.
”Aku tidak akan menyerah!” desis Pahar di dalam hati. ”Ini pertarunganku!”
Pahar terus bertahan dengan seretan baleo. Tubuhnya seakan digiring menuju suatu dasar laut yang gelap. Hanya saja, Pahar seakan telah membulatkan tekadnya. Ia tidak akan melepaskan tempuling yang dimilikinya –sebelum baleo besar itu kalah.
Begitulah semakin dalam baleo itu menyeretnya ke dasar laut, ia seakan melihat fragmen-fragmen hidupnya –khususnya seluruh kenangan dengan bapa.
”Kau baik-baik saja kan?” suara bapa seketika muncul.
”Bapa!?” Pahar kaget.
”Lepaskanlah kalau kau tidak sanggup,” desis bapa. ”Ingatlah pertarunganmu dengan baleo sama seperti kau melawan dirimu sendiri. Ada batasnya.”
”Aku tahu,” ungkap Pahar. ”Oleh karena itu, aku ingin mengalahkan diriku sendiri dan melihat batas itu.”
Baleo itu kini berubah menjadi bapa. Paledang yang digunakan Pahar untuk menyerang tadi mendadak menghilang. Akan tetapi, di dasar laut Pahar sudah kehilangan keinginannya untuk memenangkan pertarungan. Pahar hanya ingin ikut dengan baleo itu menuju suatu batas yang masih tak diketahuinya sebelum sampai ke sana.
Di tepi pantai Lamalera, para wanita dan pria berkumpul. Ibu Pahar tidak bisa menahan tangisannya. Para pria tampak sibuk menyiapkan kapal untuk menyusul Pahar. Korie tertegun dengan bersalah.
Ia tak menyangka Pahar akan nekat pergi mencari bapa ke laut. Demikianlah ketika para pria sudah pergi meninggalkan bibir pantai, kapal kecil Pahar perlahan menepi dari tengah laut ke bibir pantai. Akan tetapi, Pahar sudah tidak ada di sana. (*)
RISDA NUR WIDIA, Staf pengajar di Prodi PGSD Universitas Nahdlatul Ulama Jogjakarta. Sedang menempuh pendidikan doktor di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UNY. Buku tunggalnya Berburu Buaya di Hindia Timur (2020) dan Membunuh Harimau Jawa (2023).