28.6 C
Jakarta
Sunday, December 22, 2024

Labirin Liris tentang Orang-Orang Kalah

Raudal Tanjung Banua bertutur dalam Cerobong Tua Terus Mendera dengan gaya bahasa yang luwes serta kekuatan meletakkan diksi-diksi yang menghidupkan imajinasi pembaca.

KEBERHASILAN pengarang adalah saat ia meninggalkan kesan di hati pembaca. Saya rasa Raudal Tanjung Banua berhasil melakukannya melalui cerita-cerita pendeknya dalam kumpulan cerpen (kumcer) Cerobong Tua Terus Membara. Membaca dan menikmati cerita Raudal, kita seperti diajak pada labirin berlapis, liris, namun kompleks dengan pilihan diksi yang matang.

Tema-tema pada cerita Raudal di dalam buku ini tidak bisa lepas dari tema-tema sosial serta terasa kuat sekali akar kebudayaan dan ingatan orang pesisir. Pembaca bakal kerap berjumpa dengan kata ”laut”, ”ombak”, ”batu”, ”kerang”, ”karam”, ”ikan”, dan ”pantai”.

Saya mencatat hampir separo dari sebelas kumcernya berlatar dan bernapas laut maupun pesisir. Di antaranya, Aida Kreol, Lebaran di Laut, di Laut, Ibrahim dari Barus, Sri Tanjung Jaya Prana, Kepala Siluman, Ular-Ular Gelondongan, Naga Sisik Hitam, serta Saputangan dari Kayeli

Kita mahfum, peradaban darat akan terasa berbeda dengan peradaban laut. Dunia laut yang akrab dengan tantangan, kekejaman, kenangan indah/pahit, serta kematian yang selalu mengintai tidak bisa dilepaskan dari kehidupan pesisir. Hidup di pesisir seperti hidup bertaruh sekaligus kompleks.

Silakan merasakan aroma orang pesisir yang selalu teringat dan tak lepas dari kenangan-kenangan yang digumulinya. Ini bisa ditemukan pada cerita Lebaran di Laut, di Laut.

Cerita tersebut mengulas kehidupan ABK (anak buah kapal) yang merantau dan melaut untuk mengubah nasib. Ia teringat ibunya yang ditinggalnya, tapi laut telah membawa nasib dan juga dirinya ke negeri antah-berantah.

Ia kangen ibunya, tetapi tak bisa mencari ke mana. Kehidupan yang dirindukannya, melaut tak selalu membawanya pada ketenangan. Kegetiran nasib pelaut ini diungkap Raudal dengan menyisakan getir dan perih di hati pembaca.

Baca Juga :  Sekali Lagi, Menyegarkan Pemahaman Agama

Orang Biasa

Tokoh-tokoh dalam cerita Raudal tampak sebagai orang biasa, malah lebih pada orang-orang kalah. Di awal kita disuguhi cerpen yang dijadikan judul kumcer ini: Cerobong Tua Terus Mendera.

Saya semula mengira cerita ini akan mengisahkan perlawanan buruh pabrik ala Wiji Thukul yang mengajak demo pabrik tekstil di Solo kala itu. Ternyata, Raudal mengangkat perlawanan si tokoh dengan nada sangat liris.

Ia angkat Wiji buruh pabrik gula dengan dibumbui mitos demit (hantu) untuk sekadar menggambarkan betapa apes nasib si Wiji. Sudah kalah dalam percintaan, nasib hidup yang melarat, ditambah ketika ia harus mendengar deru pabrik dari cerobong tua yang membuatnya perih seperti orang gila. Perih sekaligus sakit yang membuat tubuhnya tak kuat.

Di cerpen bertajuk Matinya Seorang Guru Mengaji, pembaca diajak menyimak kisah Encu Eba seorang guru ngaji di daerah Bali dengan rumah panggung kampung khas Loloan yang sederhana. Ia dikisahkan sebagai penjual makanan di pagi hari di desanya sekaligus mengajar anak-anak di desa yang sepi, jauh dari hiruk pikuk.

Ditambah lagi nasibnya yang miskin, suami yang lebih sering menyusahkan. Encu Eba memberikan gambaran kepada kita tentang kesetiaan serta ketulusan seorang guru ngaji yang makin langka di era sekarang.

Nasib dan kondisi pribadinya yang didera kemiskinan tak membuatnya terpengaruh pada semangatnya mendidik anak-anaknya mengaji. Kematiannya bahkan tak sempat diketahui oleh banyak orang kecuali murid mengajinya. Encu Eba seperti menggambarkan ironi seorang guru ngaji yang menanggung derita hidupnya sendiri dan berjuang demi menegakkan tegaknya hidup.

Meski cerita-cerita pendek dalam Cerobong Tua Terus Mendera berwatak jurnal atau majalah karena formatnya panjang, secara pribadi saya merasakan kekuatan Raudal untuk memikat pembaca sempurna sampai akhir. Gaya bahasanya yang luwes serta kekuatan meletakkan diksi-diksi yang menghidupkan imajinasi pembaca membuat kita betah seperti menyimak dongeng.

Baca Juga :  Sebab, Neraka Terlalu Lama

Raudal pun tidak kaku dan luwes menempatkan diri sebagai orang pertama atau ketiga untuk membuat cerita menjadi hidup di mata pembaca. Kegagalan penulis cerita pendek Indonesia untuk membuat cerpen panjang salah satunya disebabkan kegagalan memilih diksi yang pas hingga gagal pula menghidupkan suasana cerita.

Kemampuan Raudal mengingatkan kita pada cerpenis dunia Alice Munro yang mendapatkan Nobel pada 2013. Raudal dalam konteks ini berhasil dan mampu menulis cerita dengan napas panjang tanpa harus terganggu dengan bagaimana mengolah emosi pembaca maupun membuat pembaca terkesan. Ini menjadi salah satu kekuatan cerita Raudal di kumcer ini.

Saya ingin menutup ulasan pendek ini dengan kesan saya setelah membaca cerpen penutup berjudul Sapu Tangan dari Kaveli. Saya kagum dengan kemampuan Raudal menautkan semi pengalaman pribadinya dengan dunia imaji pada cerita ini yang mengangkat nasib perempuan Indonesia yang dijadikan jugun ianfu.

Pembaca diajak melayang antara memasuki dunia cerita yang pernah ditulis oleh Pram dalam bukunya Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer (1979) atau cerita Raudal sendiri.

Melalui cerita-cerita dalam kumcer Cerobong Tua Terus Mendera, pembaca diajak Raudal menikmati cerita tentang orang bawah, nasibnya yang kalah, maupun imaji manusia pesisir dengan segala persoalannya. (*)

 

Judul buku : Cerobong Tua Terus Mendera

Penulis : Raudal Tanjung Banua

Penerbit : Shira Media

Tahun : 2024

Tebal : 146 halaman

ISBN : 978-623-8678-07-5

*) ARIF YUDISTIRA, Tuan rumah Pondok Filsafat Solo, bergiat di Sarekat Taman Pustaka

Raudal Tanjung Banua bertutur dalam Cerobong Tua Terus Mendera dengan gaya bahasa yang luwes serta kekuatan meletakkan diksi-diksi yang menghidupkan imajinasi pembaca.

KEBERHASILAN pengarang adalah saat ia meninggalkan kesan di hati pembaca. Saya rasa Raudal Tanjung Banua berhasil melakukannya melalui cerita-cerita pendeknya dalam kumpulan cerpen (kumcer) Cerobong Tua Terus Membara. Membaca dan menikmati cerita Raudal, kita seperti diajak pada labirin berlapis, liris, namun kompleks dengan pilihan diksi yang matang.

Tema-tema pada cerita Raudal di dalam buku ini tidak bisa lepas dari tema-tema sosial serta terasa kuat sekali akar kebudayaan dan ingatan orang pesisir. Pembaca bakal kerap berjumpa dengan kata ”laut”, ”ombak”, ”batu”, ”kerang”, ”karam”, ”ikan”, dan ”pantai”.

Saya mencatat hampir separo dari sebelas kumcernya berlatar dan bernapas laut maupun pesisir. Di antaranya, Aida Kreol, Lebaran di Laut, di Laut, Ibrahim dari Barus, Sri Tanjung Jaya Prana, Kepala Siluman, Ular-Ular Gelondongan, Naga Sisik Hitam, serta Saputangan dari Kayeli

Kita mahfum, peradaban darat akan terasa berbeda dengan peradaban laut. Dunia laut yang akrab dengan tantangan, kekejaman, kenangan indah/pahit, serta kematian yang selalu mengintai tidak bisa dilepaskan dari kehidupan pesisir. Hidup di pesisir seperti hidup bertaruh sekaligus kompleks.

Silakan merasakan aroma orang pesisir yang selalu teringat dan tak lepas dari kenangan-kenangan yang digumulinya. Ini bisa ditemukan pada cerita Lebaran di Laut, di Laut.

Cerita tersebut mengulas kehidupan ABK (anak buah kapal) yang merantau dan melaut untuk mengubah nasib. Ia teringat ibunya yang ditinggalnya, tapi laut telah membawa nasib dan juga dirinya ke negeri antah-berantah.

Ia kangen ibunya, tetapi tak bisa mencari ke mana. Kehidupan yang dirindukannya, melaut tak selalu membawanya pada ketenangan. Kegetiran nasib pelaut ini diungkap Raudal dengan menyisakan getir dan perih di hati pembaca.

Baca Juga :  Sekali Lagi, Menyegarkan Pemahaman Agama

Orang Biasa

Tokoh-tokoh dalam cerita Raudal tampak sebagai orang biasa, malah lebih pada orang-orang kalah. Di awal kita disuguhi cerpen yang dijadikan judul kumcer ini: Cerobong Tua Terus Mendera.

Saya semula mengira cerita ini akan mengisahkan perlawanan buruh pabrik ala Wiji Thukul yang mengajak demo pabrik tekstil di Solo kala itu. Ternyata, Raudal mengangkat perlawanan si tokoh dengan nada sangat liris.

Ia angkat Wiji buruh pabrik gula dengan dibumbui mitos demit (hantu) untuk sekadar menggambarkan betapa apes nasib si Wiji. Sudah kalah dalam percintaan, nasib hidup yang melarat, ditambah ketika ia harus mendengar deru pabrik dari cerobong tua yang membuatnya perih seperti orang gila. Perih sekaligus sakit yang membuat tubuhnya tak kuat.

Di cerpen bertajuk Matinya Seorang Guru Mengaji, pembaca diajak menyimak kisah Encu Eba seorang guru ngaji di daerah Bali dengan rumah panggung kampung khas Loloan yang sederhana. Ia dikisahkan sebagai penjual makanan di pagi hari di desanya sekaligus mengajar anak-anak di desa yang sepi, jauh dari hiruk pikuk.

Ditambah lagi nasibnya yang miskin, suami yang lebih sering menyusahkan. Encu Eba memberikan gambaran kepada kita tentang kesetiaan serta ketulusan seorang guru ngaji yang makin langka di era sekarang.

Nasib dan kondisi pribadinya yang didera kemiskinan tak membuatnya terpengaruh pada semangatnya mendidik anak-anaknya mengaji. Kematiannya bahkan tak sempat diketahui oleh banyak orang kecuali murid mengajinya. Encu Eba seperti menggambarkan ironi seorang guru ngaji yang menanggung derita hidupnya sendiri dan berjuang demi menegakkan tegaknya hidup.

Meski cerita-cerita pendek dalam Cerobong Tua Terus Mendera berwatak jurnal atau majalah karena formatnya panjang, secara pribadi saya merasakan kekuatan Raudal untuk memikat pembaca sempurna sampai akhir. Gaya bahasanya yang luwes serta kekuatan meletakkan diksi-diksi yang menghidupkan imajinasi pembaca membuat kita betah seperti menyimak dongeng.

Baca Juga :  Sebab, Neraka Terlalu Lama

Raudal pun tidak kaku dan luwes menempatkan diri sebagai orang pertama atau ketiga untuk membuat cerita menjadi hidup di mata pembaca. Kegagalan penulis cerita pendek Indonesia untuk membuat cerpen panjang salah satunya disebabkan kegagalan memilih diksi yang pas hingga gagal pula menghidupkan suasana cerita.

Kemampuan Raudal mengingatkan kita pada cerpenis dunia Alice Munro yang mendapatkan Nobel pada 2013. Raudal dalam konteks ini berhasil dan mampu menulis cerita dengan napas panjang tanpa harus terganggu dengan bagaimana mengolah emosi pembaca maupun membuat pembaca terkesan. Ini menjadi salah satu kekuatan cerita Raudal di kumcer ini.

Saya ingin menutup ulasan pendek ini dengan kesan saya setelah membaca cerpen penutup berjudul Sapu Tangan dari Kaveli. Saya kagum dengan kemampuan Raudal menautkan semi pengalaman pribadinya dengan dunia imaji pada cerita ini yang mengangkat nasib perempuan Indonesia yang dijadikan jugun ianfu.

Pembaca diajak melayang antara memasuki dunia cerita yang pernah ditulis oleh Pram dalam bukunya Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer (1979) atau cerita Raudal sendiri.

Melalui cerita-cerita dalam kumcer Cerobong Tua Terus Mendera, pembaca diajak Raudal menikmati cerita tentang orang bawah, nasibnya yang kalah, maupun imaji manusia pesisir dengan segala persoalannya. (*)

 

Judul buku : Cerobong Tua Terus Mendera

Penulis : Raudal Tanjung Banua

Penerbit : Shira Media

Tahun : 2024

Tebal : 146 halaman

ISBN : 978-623-8678-07-5

*) ARIF YUDISTIRA, Tuan rumah Pondok Filsafat Solo, bergiat di Sarekat Taman Pustaka

Terpopuler

Artikel Terbaru

/