Bapaknya telah lama bertabah-tabah demi Gendon dan dua kakaknya bisa sekolah walaupun tak ada yang sampai kuliah. Harapan diterima di perguruan tinggi negeri pun, anak-anaknya tak ada yang bisa memenuhi. Demi laju bahtera ekonomi rumah tangga tidak karam, bapaknya harus pandai berhemat. Bapaknya tidak ikut-ikutan kredit motor seperti teman-temannya.
Sepeda ontel yang ada dalangan-nya adalah tunggangan yang setia membawanya pulang pergi dari dan ke tempat mengajar sepuluh kilometer jauhnya. Setiap tanggal muda setengah karung beras yang penguk bin apek serta dipenuhi kutu nangkring di boncengan.
Gendon dan dua kakaknya sering diboncengkan sang bapak keliling kota. Kakak beradik yang seperti anak kembar itu duduk berimpitan di boncengan bagaikan sepasang kampret dan berkali-kali mendapat peringatan.
”Hati-hati! Jangan guyonan! Kakinya jangan sampai kecepit ruji!”
Gendon duduk di dalangan sepeda, di antara setang dan perut bapaknya. Posisi duduk Gendon menyamping seperti perempuan dan jangan ditanya bagaimana perasaan pantatnya waktu melewati jalan berlubang-lubang, sementara besi bundar seukuran lengan itu menendang-nendang gumpalan dagingnya yang tak seberapa tebal.
Ibunya tak kurang tabah demi Gendon dan dua saudaranya bisa terus makan dan punya pakaian. Bersuami guru yang sudah melewati dua orde dengan kualitas gaji yang kurang lebih sama telah membuat perempuan berumur 60 tahun itu pandai mengelola ekonomi dengan cara yang efektif melebihi kelihaian menteri keuangan.
Kalau sang menteri bisa utang ke negara sana, pinjam duit ke negeri sini, memajaki barang itu, memalaki pendapatan ini, ibu yang penyabar itu tak bisa melakukannya. Ia cuma bisa memangkas ukuran tahu dan tempe, memotong gundukan nasi, mengurangi kerimbunan sayur kangkung, dan menyuruh anak-anaknya segera mencari kerja begitu lulus SMA.
Sakit hati yang tak terobati itu dialami Gendon ketika bapaknya kecopetan sepulang dari mengambil uang pensiunan di kantor pos. Bika ambon yang sedianya hendak diiris tipis-tipis lalu dibagikan kepada tiga anaknya tidak jadi dibeli. Begitu juga rokok kretek klangenan merek Sukun yang serpihan baranya pernah membuat kasur bapaknya hampir terbakar. Bapaknya pulang ke rumah hanya membawa uang yang tak seberapa dan masih bisa tertawa-tawa, memperlihatkan gigi ompongnya.
”Untung uangnya sudah Bapak ambil selembar! Coba kalau Bapak tadi tidak naik becak. Uangnya pasti diambil copet semua!”
Gendon berkeyakinan ketabahan ada batasnya dan ia tidak bisa setabah orang tuanya. Walaupun bapaknya sudah mengikhlaskan uang pensiunannya, bahkan mendoakan uang yang sedianya untuk makan sebulan, membayar listrik, dan biaya sekolah anak-anaknya itu bisa memberi manfaat bagi si pencopet, tidak demikian halnya dengan Gendon. Ia tahu, di balik tawa yang sumbang itu tersimpan kepedihan.
Esoknya, sambil memasang wajah geram Gendon mendatangi para pencopet yang biasa beroperasi di Pasar Senen, Terminal Kampung Rambutan, Terminal Pasar Rebo, serta tempat-tempat lain. Gendon ingin balas dendam.
”Temui Ali Moestopo! Ilmu mencopetnya sudah setingkat dewa!” kata mereka yang ditemuinya.
Ali Moestopo adalah raja copet yang telah pensiun lalu beralih profesi menjadi penjual gorengan. Tinggalnya di Bekasi. Pada masa lalu Ali Moestopo dikenal sebagai penguasa Pasar Senen. Pada Peristiwa Malari 1974 yang membuat Pasar Senen terbakar hebat, 11 orang tewas, Hariman Siregar dan beberapa mahasiswa ditangkap, dan seorang jenderal dicopot dari jabatannya, Ali Moestopo disebut-sebut terlibat di dalamnya.
Tugasnya mencari massa, para preman dari seluruh penjuru Jakarta dan sekitarnya, lalu menyuruh mereka membaur di antara mahasiswa yang sedang demo menentang kedatangan PM Jepang, Tanaka, lalu membakar proyek Senen yang bernilai ratusan miliar rupiah itu.
Gendon mendapat alamat Ali Moestopo dari pencopet yang pernah berguru kepadanya, tapi tidak lulus. Meskipun usianya sudah menginjak 70 tahun, Ali Moestopo masih terlihat sangar. Codet yang dalam menghiasi pipi kanannya. Kabarnya bekas terjangan pisau Mitro, preman Terminal Senen yang juga ingin menguasai Pasar Senen. Itu sebelum Ali Moestopo menikam perut Mitro dan membuatnya hilang dari peredaran.
Gendon ditemui Ali Moestopo di amben bambu di teras rumah. Ali Moestopo hanya bersarung dan berkaus oblong. Setelah berbasa-basi, Gendon mengutarakan maksud sambil menjaga sikap sesopan mungkin. Selama Gendon bicara, Ali Moestopo tampak mengangguk-angguk. Wajahnya terlihat sangat serius. Kedua bibirnya mengatup. Dahinya berkerut. Sorot matanya terlihat seperti calon mertua yang sedang menyeleksi calon menantunya dan segera mengajukan pertanyaan ketika Gendon selesai bicara.
”Kamu sanggup belajar dengan caraku? Bakal kuat? Sudah ada lima orang yang ingin jadi muridku. Tapi hanya satu yang mampu bertahan sehari.”
Gendon menjawab tanpa ragu. ”Saya akan mencoba!”
Tanpa ampun, berdarah-darah, dan lebih sadis bila dibandingkan dengan pelatihan anggota pasukan khusus adalah cara Ali Moestopo mendidik agar Gendon bisa menjadi copet yang baik dan benar. Setiap malam, setelah warung tutup, dan tiang listrik dipukul 12 kali, Ali Moestopo memaksa Gendon mencelup-celupkan jari tengah dan telunjuk ke dalam panci hingga ratusan kali.
Isinya pasir yang sudah dipanaskan selama berjam-jam hingga hampir membara walaupun belum sampai mendidih sebab sudah pasti susah sekali, juga butuh waktu yang sangat lama.
Pendadaran penuh pengorbanan, tetesan keringat, dan jerit kesakitan itu dianggap cukup oleh Ali Moestopo setelah jari tengah dan telunjuk Gendon menghitam, mati rasa, dan tulangnya mungkin sudah gosong. Latihan model Shaolin tersebut membuat dua jari itu bisa bergerak secepat kilat, sekuat baja, dan selengket magnet.
Gendon lalu menjelajah dari terminal ke terminal, stasiun ke stasiun, dan dari pasar ke pasar. Wilayah kerjanya bukan hanya Jakarta, tapi melebar ke Karawang, Bekasi, Bogor, Depok, dan Serang.
Wajah dan kulitnya yang putih bersih memudahkan Gendon menjalankan aksinya sebab orang-orang mengiranya mahasiswa atau karyawan perusahaan asuransi jiwa sehingga tak berkeberatan ketika Gendon berdiri di dekat mereka.
Terbukti Gendon sangat ahli dalam bidangnya. Ketika pencopet lain harus memepet-mepet tubuh calon korbannya saat hendak mengambil dompet, Gendon tak perlu melakukannya. Sebagai gambaran, ia sanggup mencopet dompet yang sedang dipegang pemiliknya tanpa si pemilik menyadari.
Seperti Robin Hood yang suka membagi-bagikan hasil rampokannya, Gendon pun demikian halnya. Para pelacur memuja, tukang becak menghormati, pengasong, dan para pengamen menganggap Gendon sebagai saudara dan bersedia menjadi antek saat Gendon sedang menjalankan aksinya.
Entah mendapat info dari mana, setelah bertahun-tahun pada akhirnya bapak dan ibunya tahu profesi yang dijalani Gendon; bukan sales dompet kulit seperti yang dikatakannya.
Sebagai ungkapan kemarahan dan kekecewaan, bapak-ibunya mengembalikan semua barang yang pernah mereka terima dari Gendon: televisi, kulkas, gelang, kalung, perabotan rumah. Lalu sambil menangis bapaknya menceritakan kenangan buruknya saat kecopetan.
”Tahukah kamu? Waktu itu agar kalian tetap bisa makan, ada ongkos ke sekolah, mengantongi uang saku, ibumu terpaksa menjual kalungnya!” Bapaknya mengelap air mata. ”Bagaimana perasaanmu jika orang yang kamu copet itu ternyata keadaan ekonominya sama seperti orang tuamu!”
Gendon benar-benar terpukul. Ucapan itu tak ubahnya uppercut yang menghantam rahangnya dan membuatnya sempoyongan; hampir roboh.
”Iya, Pak!” Gendon menunduk. ”Saya akan berhenti mencopet!”
***
Pelaksanaan eksekusi hukuman mati dua jam lagi. Penjaga telah memberi Gendon kesempatan mengajukan permintaan terakhir. Mula-mula Gendon ingin bertemu istri, kedua anak, serta bapak dan ibunya. Namun, dengan pertimbangan tak suka melihat air mata, Gendon membatalkan keinginannya. Sebagai ganti ia minta kopi hitam tanpa gula dan Sukun kretek; rokok yang sering ia curi dari kantong bapaknya waktu ia masih remaja.
Sambil mencecap kopi dan memandangi gumpalan asap yang berpendar-pendar ditimpa remang cahaya, Gendon mengilas balik bagian terakhir dari perjalanan hidupnya. Betapa orang tua ternyata Tuhan yang kelihatan. Pantang dilanggar perintahnya. Bisa celaka!
Mestinya Gendon menepati janjinya dan tidak tergoda dompet yang menyembul dari saku celana jins laki-laki bertubuh kekar itu. Namun, beralasan ingin menjadikannya sebagai dompet terakhir, Gendon melanggar janjinya. Minuman bersoda itu tidak jadi dibelinya. Sambil berjalan keluar dari supermarket, dompet itu dicopetnya. Dari situlah celakanya bermula.
Seperti biasa, setelah mencopet, di tempat yang sepi Gendon segera memeriksa hasil copetannya. Dompet kulit bermerek luar negeri itu berisi uang yang cukup banyak. Ada surat-surat berharga, termasuk ATM. Namun, yang membuat Gendon gemetar adalah selembar kertas yang dilipat rapi dan diselipkan di lipatan STNK mobil. Sepertinya sengaja disembunyikan di situ.
Mula-mula Gendon berniat mengabaikan tulisan pada lembaran kertas itu. Bisa jadi itu hanya main-main. Namun, setelah membaca nama dan profesi pemilik dompet yang tertera di KTP, Gendon segera meralat pikirannya. Sepertinya si pemilik dompet tidak suka guyonan. Apalagi, sudah pasti si pemilik dompet ke mana-mana boleh membawa senjata api dan sudah pasti pula dengan mudah bisa menggunakannya.
Gendon merinding; tak bisa membayangkan kekacauan yang bakal timbul jika rencana itu sampai terlaksana. Ia harus segera bertindak. Apalagi, seperti yang tertulis dalam lembaran kertas, rencana keji itu akan dilakukan pada tanggal ini, hari ini, dan berarti kurang setengah jam lagi.
Gegas, Gendon memanggil tukang ojek dan menyuruhnya memacu sepeda motor. Walau tak paham kedaruratan macam mana yang sedang dihadapi penumpangnya, si tukang ojek segera berkelok-kelok di antara mobil yang merayap dan sesekali melewati trotoar.
Setelah 20 menit, mereka tiba di tujuan. Saking semangatnya, belum juga motor berhenti sempurna, Gendon segera melompat, lalu berlari secepatnya. Ia berniat menemui langsung orang yang sedang dalam bahaya itu.
Namun, baru juga lima meter menyeberang pintu gerbang, dua penjaga langsung menyergap Gendon. Ia dijatuhkan ke aspal, kedua tangannya ditelikung di belakang punggung, lalu digelandang ke dalam pos jaga.
Di dalam ruangan seukuran kandang monyet itu Gendon diperiksa dua penjaga bertubuh segede gorila. Lembaran kertas di kantong baju Gendon dirampas. Selanjutnya, Gendon diinterogasi sambil dipukul, ditendang, dan ditampar.
”Siapa yang menyuruhmu?”
”Tidak ada yang menyuruh. Saya…”
Duk! Ketupat bengkulu itu menghantam pelipis Gendon.
”Siapa saja gerombolanmu?”
”Gerombolan apa?”
Plak! Tamparan yang keras mendera mulut Gendon, membuat dua giginya goyang. Gubrak! Disusul tendangan sepatu lars yang menghantam tulang kering.
”Dasar teroris! Kamu kira semudah itu membunuh presiden?”
”Siapa yang akan…”
Pruk! Gendon tak sempat menyelesaikan ucapannya. Gagang pistol itu sudah lebih dulu menghantam tengkuknya. (*)
—
DEWANTO AMIN SADONO, Guru dan pengarang; tinggal di Kajen, Pekalongan