30.1 C
Jakarta
Sunday, September 22, 2024

Sajak Ambigu

ILUSTRASI. (BUDIONO/JAWA POS)

Sajak Ambigu

 

 

Ambigu

aku melihat merah-putih penuh air mata

dan itu karena kemurungannya tidak lagi terbendung

apakah puisi harus berkemas diri

dari pergulatan hidup, yang tidak pernah tuntas

selalu saja kegelisahan dan kesedihan

melekat erat di urat nadi tradisi

entah, apakah merah-putih itu hanya simbol dari peradaban

sebab nyatanya penguasa kian bangga dengan busana kolonial

2024

Apologi Tirani

bangku-bangku telah lebam

lebih usang dari masa purba

dan tanah-tanah ini membiarkannya tetap tumbuh

entah, apakah karena mata ini tak mampu lagi membaca

atau puisi memang terlalu penat untuk dibacakan

selain bercengkerama dengan para pendusta

yang menganggap tanah-tanah leluhur ini miliknya sendiri

Baca Juga :  Tangisan Sedu Sedan di Antara Siaran Iklan Radio

esok, akan ’kupinjam catatan Chairil Anwar

dan sempurnakan ’’binatang jalang” yang belum tuntas

dan ’kunyanyikan dalam senandung apologi tirani

2024

Pro Bono Publico

kita kecil bukan karena menjadi rakyat

kita besar bukan karena menjadi raja

karena kita semua adalah sederet huruf

yang membuat kata-kata bermakna

apakah huruf itu sudah adil bagi huruf yang lain

hanya puisi, tempat yang memberikan cinta bagi kata-kata itu

dan hari ini, tanah-tanah menjadi kejenakaan dari kerumitan kata-kata

hanya seorang raja dari negeri antah-berantah yang mampu menyatukannya

meski makna hukum harus bertelanjang diri

puisi menjadi skeptis, sebab takut dengan intimidasi

yang penting bisa memuluskan jalan-jalan berkarpet merah

Baca Juga :  Distopia

dan mewujudkan impian permaisuri

sebab puisi memang semesta cinta yang sederhana

untuk menulis pesan: demi kepentingan umum

—- pro bono publico

di tanah-tanah yang telah kehilangan wajah!

ILUSTRASI. (BUDIONO/JAWA POS)

Sajak Ambigu

 

 

Ambigu

aku melihat merah-putih penuh air mata

dan itu karena kemurungannya tidak lagi terbendung

apakah puisi harus berkemas diri

dari pergulatan hidup, yang tidak pernah tuntas

selalu saja kegelisahan dan kesedihan

melekat erat di urat nadi tradisi

entah, apakah merah-putih itu hanya simbol dari peradaban

sebab nyatanya penguasa kian bangga dengan busana kolonial

2024

Apologi Tirani

bangku-bangku telah lebam

lebih usang dari masa purba

dan tanah-tanah ini membiarkannya tetap tumbuh

entah, apakah karena mata ini tak mampu lagi membaca

atau puisi memang terlalu penat untuk dibacakan

selain bercengkerama dengan para pendusta

yang menganggap tanah-tanah leluhur ini miliknya sendiri

Baca Juga :  Tangisan Sedu Sedan di Antara Siaran Iklan Radio

esok, akan ’kupinjam catatan Chairil Anwar

dan sempurnakan ’’binatang jalang” yang belum tuntas

dan ’kunyanyikan dalam senandung apologi tirani

2024

Pro Bono Publico

kita kecil bukan karena menjadi rakyat

kita besar bukan karena menjadi raja

karena kita semua adalah sederet huruf

yang membuat kata-kata bermakna

apakah huruf itu sudah adil bagi huruf yang lain

hanya puisi, tempat yang memberikan cinta bagi kata-kata itu

dan hari ini, tanah-tanah menjadi kejenakaan dari kerumitan kata-kata

hanya seorang raja dari negeri antah-berantah yang mampu menyatukannya

meski makna hukum harus bertelanjang diri

puisi menjadi skeptis, sebab takut dengan intimidasi

yang penting bisa memuluskan jalan-jalan berkarpet merah

Baca Juga :  Distopia

dan mewujudkan impian permaisuri

sebab puisi memang semesta cinta yang sederhana

untuk menulis pesan: demi kepentingan umum

—- pro bono publico

di tanah-tanah yang telah kehilangan wajah!

Terpopuler

Artikel Terbaru

/