29.2 C
Jakarta
Thursday, September 19, 2024

Melihat dan Membahasakan Ulang Revolusi Indonesia

Oleh WAHYU HARJANTO, Peneliti di Mindset Institute Jogjakarta, alumnus Jurusan Sejarah FIB Universitas Gadjah Mada

Buku ini masih meletakkan ketegangan sebagai pusat dan suspens sebagian besar tulisan. Padahal, petani masih tetap menanam padi di sawah, pengasong dan wong mbarang (pengamen) terus beraksi di jalan-jalan kota selama masa revolusi.

PERSPEKTIF atau sudut pandang adalah persoalan klasik dalam metodologi umumnya dan historiografi atau sejarah penulisan sejarah Indonesia khususnya. Ia merupakan instrumen pokok para sejarawan dalam memahami dan memaknai realitas atau permasalahan tertentu, dan dalam pengembangan ilmu pengetahuan.

Mohammad Ali adalah sejarawan pertama Indonesia yang mengikhtiarkan adanya perspektif yang menurutnya ”khas Indonesia” dalam rekonstruksi sejarah Indonesia. Sebuah sudut pandang yang menurutnya akan mewakili tidak saja perasaan, tetapi juga kepentingan Indonesia dalam melihat dan menarasikan ulang pengalamannya yang terjadi di masa lalu.

Dari Nerlandosentris ke Indonesiasentris

Lewat buku Pengantar Ilmu Sedjarah Indonesia (1963), Ali dengan tegas menolak sejarah Indonesia yang ditulis ”dari atas geladak kapal Belanda”. Ia menolak historiografi Indonesia yang dibangun berdasar perspektif dan kepentingan kolonial (Nerlandosentris) sehingga lalu menawarkan perspektif Indonesiasentris dalam historiografi.

Pengembangan metodologi bercorak Indonesiasentris ini bagi Ali mendesak untuk dilakukan. Sebab, hanya dengan cara itu sejarah Indonesia bisa berada di pusat, tidak lagi di pinggir. Usulan Ali disambut hangat oleh kampus utama di Indonesia, seperti Universitas Indonesia (di bawah R. Mohammad Ali) dan Universitas Gadjah Mada (di bawah Sartono Kartodirdjo).

Alhasil, antara tahun 1970–1990 akhir adalah ”kurun emas” historiografi berperspektif Indonesiasentris. Karya-karya sejarah kampus hingga buku-buku ajar sejarah di sekolah menengah pertama-atas semuanya lalu ”berbau” Indonesiasentris.

Dari Indonesia ke Nasional

Pandangan esensialis Mohammad Ali dan Sartono Kartodirdjo tentang adanya realitas ”Indonesia” tersebut menjadi ciri utama historiografi Indonesia sepanjang 20 tahun itu. Celakanya, seiring perkembangan muncul keganjilan yang tak terduga. Penampilan sejarah Indonesia kemudian cenderung sangat politis, monolitik, dan elitis.

Baca Juga :  Waspada Orang Makan Orang

Hal itu terjadi ketika perspektif Indonesiasentris diadopsi dan dijabarkan sesuai kepentingan rezim Orba Soeharto. Politisasi sejarah lewat wacana nasionalisme tidak saja muncul sebagai warna dominan dalam historiografi, tetapi menjadi kaidah atau hukum (langue) yang akan memaksa orang yang berniat menata dan menarasikan ulang masa lalu Indonesia.

Rekonstruksi terhadap berbagai kejadian lain di masa lalu sebagaimana dilakukan oleh para peneliti sejarah atau sejarawan sekalipun mungkin memiliki nilai secara intelektual dan kesejarahan tidak bisa dilakukan di luar sistem bahasa dan tafsir Orba. Ruang lingkup kajian sejarah Indonesia dengan demikian menjadi sangat sempit dan terbatas.

Dari Nasional ke ”Pasca-Nasional”

Buku ini berangkat dari isu terakhir di atas. Ia merepresentasikan tarik-ulur sejarawan dalam melihat dan membahasakan revolusi Indonesia di tengah ”dunia” yang didominasi oleh perspektif politik militer. Poros kekuatan yang mendalilkan bahwa historiografi tentang revolusi harus menonjolkan semangat dan solidaritas perjuangan serta peran tentara.

Dalam perspektif politik militer, revolusi dilihat sebagai jalan paling menentukan dalam meraih dan mempertahankan buah liberasi politik Indonesia 1945. Revolusi secara nasional dinarasikan sebagai perang antara tentara Indonesia melawan tentara penjajah. Di dalamnya sarat dengan wacana keutamaan perjuangan dan ketokohan tentara republik.

Dari hal di atas, bunga rampai yang lahir dari kerja sama Departemen Sejarah UGM dan KITLV Belanda ini kemudian memilih untuk mengembangkan perspektif dan dinamika lokal. Dengan begitu, sekurang-kurangnya ada tiga hal penting dan menentukan dalam melihat dan membahasakan lima tahun revolusi Indonesia, sekaligus merupakan kekuatan buku ini.

Pertama, ia membuka celah apresiasi terhadap tema di luar perang. Kejadian yang diungkap tidak melulu tentang konflik dan perang, tetapi juga tentang situasi kota di Jawa dan luar Jawa selama revolusi. Demikian pula sosok dan peran yang diangkat tidak terbatas pada tentara, tetapi meliputi pedagang, seniman, jurnalis, pemuda, dan perempuan.

Kedua, ia mendekonstruksi tafsir politik militer yang menyimplifikasi masalah revolusi sebatas persoalan perang antara tentara Indonesia melawan tentara penjajah. Satu hal yang kemudian mengesampingkan jalinan realitas kompleks dalam revolusi dan keterkaitan revolusi dengan masyarakat.

Baca Juga :  Genderuwo

Ketiga, ia membuka kesempatan luas kepada para peneliti Belanda untuk mengorek dan menemui secara langsung perilaku sebagian leluhurnya terhadap bangsa Indonesia. Empati dan simpati ini di masa depan bermanfaat bagi mereka untuk membahasakan ulang historiografi pra kemerdekaan yang dilakukan oleh penulis Belanda tentang Indonesia.

Catatan

Meski menjanjikan perspektif dan dinamika lokal, buku ini belum menggali dunia pengalaman keseharian masyarakat di tengah revolusi. Buku ini masih meletakkan ketegangan sebagai pusat dan suspens sebagian besar tulisan. Padahal, petani masih tetap menanam padi di sawah, pengasong dan wong mbarang (pengamen) terus beraksi di jalan-jalan kota.

Aspek pengalaman keseharian ini berfaedah untuk mengurangi bias dan kekurangan lain yang mungkin ada dalam buku ini. Selain itu, aspek pengalaman keseharian. Juga untuk menegaskan bahwa sejatinya masyarakat sudah terbiasa dengan konflik dan perang yang terjadi jauh sebelum Indonesia muncul sebagai negara bangsa pada 1945.

Secara keseluruhan bunga rampai ini masih mencitrakan historiografi positif. Pusat dan tokoh cerita masih tentang kelompok sosial yang sejak awal paham dan digerakkan oleh revolusi. Kisah para pelacur dan klandestin yang bersimpati pada revolusi, misalnya, masih belum terjamah.

Terakhir, secara teknis buku ini sungguh sangat menyiksa. Mengikuti 17 tulisan yang digelar sepanjang 558 halaman dengan ukuran huruf (font) yang kecil sungguh sebuah penderitaan. Urat-urat mata tegang dan bola mata nanar, meski sudah dibantu dengan kacamata baca! Bukankah buku dicetak untuk dibaca, bukan untuk menyiksa pembacanya? (*)

Judul buku: Dunia Revolusi: Perspektif dan Dinamika Lokal pada Masa Perang Kemerdekaan Indonesia, 1945–1949

Editor: Abdul Wahid dkk

Penerbit: Obor, Jakarta

Tahun: Cetakan I, September 2023

Jumlah halaman: 558 + indeks

Oleh WAHYU HARJANTO, Peneliti di Mindset Institute Jogjakarta, alumnus Jurusan Sejarah FIB Universitas Gadjah Mada

Buku ini masih meletakkan ketegangan sebagai pusat dan suspens sebagian besar tulisan. Padahal, petani masih tetap menanam padi di sawah, pengasong dan wong mbarang (pengamen) terus beraksi di jalan-jalan kota selama masa revolusi.

PERSPEKTIF atau sudut pandang adalah persoalan klasik dalam metodologi umumnya dan historiografi atau sejarah penulisan sejarah Indonesia khususnya. Ia merupakan instrumen pokok para sejarawan dalam memahami dan memaknai realitas atau permasalahan tertentu, dan dalam pengembangan ilmu pengetahuan.

Mohammad Ali adalah sejarawan pertama Indonesia yang mengikhtiarkan adanya perspektif yang menurutnya ”khas Indonesia” dalam rekonstruksi sejarah Indonesia. Sebuah sudut pandang yang menurutnya akan mewakili tidak saja perasaan, tetapi juga kepentingan Indonesia dalam melihat dan menarasikan ulang pengalamannya yang terjadi di masa lalu.

Dari Nerlandosentris ke Indonesiasentris

Lewat buku Pengantar Ilmu Sedjarah Indonesia (1963), Ali dengan tegas menolak sejarah Indonesia yang ditulis ”dari atas geladak kapal Belanda”. Ia menolak historiografi Indonesia yang dibangun berdasar perspektif dan kepentingan kolonial (Nerlandosentris) sehingga lalu menawarkan perspektif Indonesiasentris dalam historiografi.

Pengembangan metodologi bercorak Indonesiasentris ini bagi Ali mendesak untuk dilakukan. Sebab, hanya dengan cara itu sejarah Indonesia bisa berada di pusat, tidak lagi di pinggir. Usulan Ali disambut hangat oleh kampus utama di Indonesia, seperti Universitas Indonesia (di bawah R. Mohammad Ali) dan Universitas Gadjah Mada (di bawah Sartono Kartodirdjo).

Alhasil, antara tahun 1970–1990 akhir adalah ”kurun emas” historiografi berperspektif Indonesiasentris. Karya-karya sejarah kampus hingga buku-buku ajar sejarah di sekolah menengah pertama-atas semuanya lalu ”berbau” Indonesiasentris.

Dari Indonesia ke Nasional

Pandangan esensialis Mohammad Ali dan Sartono Kartodirdjo tentang adanya realitas ”Indonesia” tersebut menjadi ciri utama historiografi Indonesia sepanjang 20 tahun itu. Celakanya, seiring perkembangan muncul keganjilan yang tak terduga. Penampilan sejarah Indonesia kemudian cenderung sangat politis, monolitik, dan elitis.

Baca Juga :  Waspada Orang Makan Orang

Hal itu terjadi ketika perspektif Indonesiasentris diadopsi dan dijabarkan sesuai kepentingan rezim Orba Soeharto. Politisasi sejarah lewat wacana nasionalisme tidak saja muncul sebagai warna dominan dalam historiografi, tetapi menjadi kaidah atau hukum (langue) yang akan memaksa orang yang berniat menata dan menarasikan ulang masa lalu Indonesia.

Rekonstruksi terhadap berbagai kejadian lain di masa lalu sebagaimana dilakukan oleh para peneliti sejarah atau sejarawan sekalipun mungkin memiliki nilai secara intelektual dan kesejarahan tidak bisa dilakukan di luar sistem bahasa dan tafsir Orba. Ruang lingkup kajian sejarah Indonesia dengan demikian menjadi sangat sempit dan terbatas.

Dari Nasional ke ”Pasca-Nasional”

Buku ini berangkat dari isu terakhir di atas. Ia merepresentasikan tarik-ulur sejarawan dalam melihat dan membahasakan revolusi Indonesia di tengah ”dunia” yang didominasi oleh perspektif politik militer. Poros kekuatan yang mendalilkan bahwa historiografi tentang revolusi harus menonjolkan semangat dan solidaritas perjuangan serta peran tentara.

Dalam perspektif politik militer, revolusi dilihat sebagai jalan paling menentukan dalam meraih dan mempertahankan buah liberasi politik Indonesia 1945. Revolusi secara nasional dinarasikan sebagai perang antara tentara Indonesia melawan tentara penjajah. Di dalamnya sarat dengan wacana keutamaan perjuangan dan ketokohan tentara republik.

Dari hal di atas, bunga rampai yang lahir dari kerja sama Departemen Sejarah UGM dan KITLV Belanda ini kemudian memilih untuk mengembangkan perspektif dan dinamika lokal. Dengan begitu, sekurang-kurangnya ada tiga hal penting dan menentukan dalam melihat dan membahasakan lima tahun revolusi Indonesia, sekaligus merupakan kekuatan buku ini.

Pertama, ia membuka celah apresiasi terhadap tema di luar perang. Kejadian yang diungkap tidak melulu tentang konflik dan perang, tetapi juga tentang situasi kota di Jawa dan luar Jawa selama revolusi. Demikian pula sosok dan peran yang diangkat tidak terbatas pada tentara, tetapi meliputi pedagang, seniman, jurnalis, pemuda, dan perempuan.

Kedua, ia mendekonstruksi tafsir politik militer yang menyimplifikasi masalah revolusi sebatas persoalan perang antara tentara Indonesia melawan tentara penjajah. Satu hal yang kemudian mengesampingkan jalinan realitas kompleks dalam revolusi dan keterkaitan revolusi dengan masyarakat.

Baca Juga :  Genderuwo

Ketiga, ia membuka kesempatan luas kepada para peneliti Belanda untuk mengorek dan menemui secara langsung perilaku sebagian leluhurnya terhadap bangsa Indonesia. Empati dan simpati ini di masa depan bermanfaat bagi mereka untuk membahasakan ulang historiografi pra kemerdekaan yang dilakukan oleh penulis Belanda tentang Indonesia.

Catatan

Meski menjanjikan perspektif dan dinamika lokal, buku ini belum menggali dunia pengalaman keseharian masyarakat di tengah revolusi. Buku ini masih meletakkan ketegangan sebagai pusat dan suspens sebagian besar tulisan. Padahal, petani masih tetap menanam padi di sawah, pengasong dan wong mbarang (pengamen) terus beraksi di jalan-jalan kota.

Aspek pengalaman keseharian ini berfaedah untuk mengurangi bias dan kekurangan lain yang mungkin ada dalam buku ini. Selain itu, aspek pengalaman keseharian. Juga untuk menegaskan bahwa sejatinya masyarakat sudah terbiasa dengan konflik dan perang yang terjadi jauh sebelum Indonesia muncul sebagai negara bangsa pada 1945.

Secara keseluruhan bunga rampai ini masih mencitrakan historiografi positif. Pusat dan tokoh cerita masih tentang kelompok sosial yang sejak awal paham dan digerakkan oleh revolusi. Kisah para pelacur dan klandestin yang bersimpati pada revolusi, misalnya, masih belum terjamah.

Terakhir, secara teknis buku ini sungguh sangat menyiksa. Mengikuti 17 tulisan yang digelar sepanjang 558 halaman dengan ukuran huruf (font) yang kecil sungguh sebuah penderitaan. Urat-urat mata tegang dan bola mata nanar, meski sudah dibantu dengan kacamata baca! Bukankah buku dicetak untuk dibaca, bukan untuk menyiksa pembacanya? (*)

Judul buku: Dunia Revolusi: Perspektif dan Dinamika Lokal pada Masa Perang Kemerdekaan Indonesia, 1945–1949

Editor: Abdul Wahid dkk

Penerbit: Obor, Jakarta

Tahun: Cetakan I, September 2023

Jumlah halaman: 558 + indeks

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutnya

Terpopuler

Artikel Terbaru