Kopi bukan sekadar asupan bagi tubuh untuk melawan rasa kantuk. Di tangan perupa Komunitas Wolukopi, kopi hadir lewat kanvas dan menyuguhkan aspek estetika bagi pengunjung pameran.
AROMA kopi terendus begitu mengunjungi Bilik Komunitas di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, Rabu (13/9) lalu. Meski demikian, tidak ditemukan secangkir kopi pun di ruangan tersebut. Tak dijumpai pula biji-biji kopi yang menghadirkan aroma itu.
Rupanya, aroma kopi tersebut datang dari 16 lukisan yang tergantung di dinding Bilik Komunitas. Ya, lukisan dari Komunitas Wolukopi itu ternyata dibuat dari kopi. Pameran bertajuk Kopi Saya Bundar oleh komunitas tersebut berlangsung mulai 7 hingga 21 September.
Wolukopi menyubstitusi fungsi cat air, akrilik, dan media lukis lainnya dalam pameran tersebut. Kopi yang biasanya diseduh dan diseruput sekarang ditorehkan ke kanvas. Wolukopi sendiri merupakan komunitas yang terbentuk karena sering nongkrong bareng. Dan Galeri Nasional Indonesia salah satu lokasi nongkrongnya. Anggota Wolukopi adalah Feriendas, Anton Krisdiyanto, Barlin Srikaton, Eddy Yoen, M. Hady Santoso, Norvadi, Patar Butarbutar, dan Titiek Sundari.
Feriendas dalam pameran itu memajang dua lukisan. Yakni, Too Much Love Will Kill You dan Can U See? Dalam Too Much Love Will Kill You, Feriendas menggambar tiga buah sayatan yang dikelilingi oleh bercak-bercak.
Saat melihat lebih detail tiga sayatan itu, terasa adanya kedalaman sayatan yang berbeda. Seakan sayatan tersebut nyata, menyobek masuk ke dalam kanvas. Feriendas menuturkan, melukis bukan sekadar memindahkan gambar ke dalam kanvas. ”Karenanya saya bermain ide,” tutur Feriendas.
Dalam lukisan itu, butiran-butiran atau bercak tersebut diibaratkan cinta. Cinta yang bila terlalu banyak bisa menimbulkan luka. Luka itu pun bisa menjadi penyebab kematian. ”Luka sayatan itu saya bikin dengan teknik yang menciptakan tiga dimensi. Seakan benar-benar kanvas terluka, sobek,” terang Feriendas.
Sedangkan dalam Can U See? Feriendas menggambarkan sudut ruangan langit-langit rumah atau plafon yang berlubang dan tampak sebagian menjuntai. Feriendas menuturkan, karya itu metafora sisi buruk manusia.
Menurut dia, manusia itu sering hanya melihat pada sebuah kesalahan. Satu kesalahan yang menutupi begitu banyak kebaikan. Bak sebuah plafon yang sebenarnya kuat, indah, tapi ada satu titik yang rusak. ”Ya, manusia hanya fokus pada yang rusak. Fokus pada tidak elok itu,” ujarnya.
Yang menarik dari pameran tersebut selain penggunaan kopi sebagai cat juga keseragaman bentuk kanvas yang bundar. ’’Jadi, seakan lukisan itu mewakili secangkir kopi yang siap dinikmati. Memang kami matangkan konsepnya begitu,” tutur Feriendas.
Penggunaan kopi sebagai media lukis itu pun sebenarnya dimulai dari kebiasaan yang sama. Suka ngopi dan melukis. Lantas, tercetus ide kenapa tidak melukis dengan media kopi. ”Itu bedanya dengan pelukis lain, mungkin banyak yang pakai kopi untuk nggambar. Tapi, tidak pameran,” kata Feriendas.
Menurut Feriendas, melukis memakai kopi memiliki kesulitan tersendiri. Salah satunya daya rekat kopi. Ketika kopi digoreskan, perlu waktu lebih lama untuk bisa menumpuknya dengan goresan berikutnya. Kalau terlalu cepat, goresan pertama bisa terangkat. ”Ngeletek kalau bahasa Jawa-nya,” ucap Feriendas.
Nah, tema pameran juga pelesetan dari lagu Topi Saya Bundar karya Soerjono atau Pak Kasur.. ”(Pelesetan) tema pameran itu spontan, eh malah menggelitik dan banyak yang bertanya-tanya,” kata Feriendas.
Sementara itu, pelaku seni Andri Feriyandi menuturkan, penggunaan bubuk kopi terus terang membuat penasaran. Sebab, merupakan sesuatu yang baru dalam dunia lukisan di Indonesia. ”Proficiat untuk perupa Wolukopi,” ujar lelaki yang mengoleksi sejumlah lukisan tersebut. (idr/c6/dra/jpc/hnd)