PALANGKA
RAYA- Takdir memang sudah diatur Yang Kuasa. Manusia hanya
bisa berusaha dan terus berdoa. Meski sudah berjuang, tapi terkadang nasib baik
belum memihak. Seperti kehidupan Iwan, Rusita, dan ketiga anaknya di sebuah
tenda di pinggir jalan.
Jauh dari kata
cukup, apalagi istimewa. Sebuah tenda kecil dikelilingi dan beratapkan terpal. Tiangnya
dari potongan kayu yang tak seberapa kuatnya. Di situlah tinggal sepasang suami
istri beserta tiga anaknya yang masih kecil. Anak pertama berusia tujuh tahun,
kedua berusia dua tahun, dan bungsunya belum genap tiga bulan.
Tenda kecil berukuran sekitar
tiga kali lima meter itu tampak seperti sebuah warung. Ternyata, tenda itu sekaligus
sebagai tempat tinggal lima orang ini. Tepat berada di jembatan kecil Jalan
Mahir Mahar, menuju simpang empat arah Jalan RTA Milono, Kota Palangka Raya.
Saya (penulis, red) mencoba
mampir di tenda tersebut. Menyapa sosok perempuan berkulit sawo matang. Ia
adalah Rusita, ibu rumah tangga di tenda kecil itu. Orangnya ramah. Langsung
menyapa dan mempersilahkan saya duduk pada sebuah kursi plastik berwana hijau.
Tak butuh waktu lama untuk
bisa akrab. Ibu tiga anak ini memberitahu saya bahwa suaminya sedang tak berada
di rumah karena bekerja. Menjadi tukang bangunan, tak jauh dari tempat mereka
tinggal. Berangkat pukul 07.00 dan pulang pada sore hari. Hanya dengan berjalan
kaki, menempuh jarak sekitar dua kilometer.
Pada dasarnya,
memutuskan tinggal di tenda pinggir jalan itu bukanlah kehendak mereka. Kondisi
ekonomilah yang membuat mereka tak punya pilihan lain. Semenjak menikah dengan sang
suami pada 2015 lalu, hidup Rusita selalu berpindah-pindah. Dari satu tempat ke
tempat lainnya, bahkan hingga ke luar kota dan ke luar provinsi.
Pada 2015 lalu, Rusita
dipersunting oleh seorang pemuda asal Makassar bernama Iwan. Awalnya Iwan
datang ke Kalteng untuk bekerja di salah satu perkebunan sawit. Sementara Rusita
bersama ibunya membuka usaha warung kopi.
Pertemuan Rusita dan
suaminya terjadi di warung itu. Karena sudah dilamar, Rusita pun memutuskan
menikah dengan Iwan yang saat itu masih berusia 21 tahun. Usia keduanya terpaut
jauh. Saat dilamar itu, Rusita sudah berusia 32 tahun.
“Dulu ibu saya punya
warung kopi, tapi sekarang sudah tutup. Saat suami saya membeli kopi, lalu kenal
sama saya. Tidak lama kemudian saya menikah dan memiliki anak,†katanya.
Setelah menikah,
pasutri ini dikarunia anak pertama, berjenis kelamin perempuan, dan diberi nama
Elena. Kemudian, pasangan suami istri (pasutri) ini memutuskan kembali ke Makassar,
ke tempat kelahiran suaminya. Empat tahun berada di Makassar, selalu berpindah-pindah,
dari satu daerah ke daerah lain. Tetap saja mereka tak menemukan kesuksesan. Bahkan
perekonomian lebih sulit daripada di Palangka Raya. Anak kedua mereka lahir di
sana.
Pada 2018 lalu,
keluarga ini kembali ke Kalteng dan memutuskan tinggal di Sampit. Suaminya
bekerja di sebuah bengkel dan digaji Rp1 juta per bulan.Akan tetapi, penghasilan
sang suami itu belum bisa mencukupi kebutuhan keluarga dengan dua orang anak.
“Akhirnya kami
memutuskan kembali ke Palangka Raya dan menyewa barak selama tiga bulan. Suami
saya kerja di bangunan. Kadang jika tidak ada pekerjaan, ya memancing ikan
untuk dijual. Kerjaan saya mencari sayur seperti kelakai dan daun singkong
untuk dijual,†ungkap perempuan kelahiran 1983 ini.
Tenda yang ia tempati
saat ini merupakan tenda yang dibangun kakaknya beberapa waktu lalu sebagai
warung kopi. Karena suami sang kakak mengalami sakit, Rusita dipersilakan untuk
menggunakan tenda itu, dengan membayar Rp200 ribu sebagai ganti rugi. Sejak itu,
Rusita mulai menekuni pekerjaan sebagai penjual kopi. Meskipun tak banyak, tapi
hasilnya bisa mencukupi untuk makan dan kebutuhan sehari-hari.
“Awal saya jualan di
sini (tenda, red). Suami saya satu bulan tidak kerja. Hanya mancing dan
hasilnya dijual, tapi lumayan untuk mencukupi kebutuhan hidup. Karena waktu itu
saya masih menyewa barak, barang-barang di warung (tenda,red) banyak dicuri orang.
Akhirnya kami putuskan untuk tinggal di tenda dan tidak menyewa barak lagi,â€
beber perempuan kelahiran 18 Juni ini.
Tidak lama setelah menempati
tenda itu, anak bungsunya lahir. Proses melahirkan dibantu oleh ibunya.
Kebetulan ibunya juga seorang janda, tinggal di salah satu barak sederhana, tak
jauh dari tempat tinggal Rusita dan keluarga kecilnya. Persalinan berjalan
lancar. Memanggil bidan hanya untuk pembersihan saja.
“Tuhan mahabaik. Meski
keadaan kami seperti ini, tapi diberi kemudahan bagi saya untuk melahirkan,â€
tegasnya.
Di tengah kesulitan
hidup, keluarga ini tak lupa selalu mengucap syukur pada Tuhan. Setiap malam mereka
berdoa agar diberi berkah. Meski saat ini suaminya memiliki pekerjaan, tapi sebagian
besar upah yang diterima habis digunakan untuk membeli susu bagi si bungsu.
Namanya Wilona.
“Bayi saya memang tidak
rewel, tetapi ASI saya tidak keluar, sehingga harus minum susu formula. Gaji
suami saya sebagian besar untuk susu si bungsu,†ucap Rusita.
Aktivitas harian
keluarg ini sebagian besar dilakukan di dalam tenda ini. Mulai dari memasak hingga
tidur. Tak ada tempat tidur. Ruangnya cukup sempit. Â Di situlah Iwan, Rusita, dan tiga anaknya. Tak
jarang pada malam hari, anak kedua dan bungsu jadi rewel karena kepanasan.
Mirisnya lagi, tak ada penerangan pada malam hari.
“Jika malam, ya tidur
di sini, dicukupkan. Kadang kalau malam, dua anak ini rewel karena kepanasan,â€
tambahnya.
Alih-alih dapat bekerja
maksimal setelah tak lagi menyewa barak, malah terjadi pandemi Covid-19.
Warungnya kopinya mulai sepi. Akhirnya berhenti berjualan. Sebagai tukang
bangunan, suaminya pun tidak bekerja
setiap hari. Bersyukurnya, selama dua minggu terakhir ini sang suami menerima
upah lebih banyak dari biasanya, Rp120 ribu per hari.
“Keadaan seperti ini Mbak. Sejak adanya Covid-19,
warung sepi sehingga saya berhenti berjualan. Semoga keadaan ini segera
berakhir,†pungkas perempuan 37 tahun ini.