MUARA
TEWEH-Tak pernah terpikirkan sebelumnya, hari-hari pada masa
tuanya dilalui di penjara. Lantaran setengah hektare lahan miliknya terbakar,
ia pun mesti merasakan dinginnya ruang di balik jeruji besi.
Sekitar pukul
14.00 WIB, mobil tahanan
tiba di Pengadilan Negeri (PN) Muara Teweh. Saprudin alias Sapur langsung
digiring polisi dan jaksa menuju ruang tahanan. Sidang pada Senin (20/1) itu tak
seperti sidang-sidang yang dijalani sebelumnya. Kali ini Sapur tak
diperbolehkan berbincang lebih leluasa dengan keluarganya.
Pada sidang sebelumnya,
pria 61 tahun itu masih bisa ngobrol santai sambil lesehan di lantai yang tak
jauh dari ruang tahanan di lantai dasar. Tak dibatasi oleh jeruji besi. Akan
tetapi, kali ini sempat membuat pihak keluarga kecewa.
“Saya tidak tahu
kenapa dan tidak ada penjelasan. Bapak Langsung dimasukkan ke sel. Padahal
biasanya, sembari menunggu persidangan, kami bisa kumpul-kumpul duduk lesehan,”
ungkap Edi, anak pertama Sapur.
Pria 35 tahun itu berusaha
kuat menahan emosinya, melihat derita yang dialami ayahnya. Edi begitu khawatir
dengan kondisi kesehatan ayahnya yang kian hari kian menurun. Sapur mengalami
gangguan rabun mata dan pendengaran sebelum ditahan. Pada hari itu, Edi melihat
perubahan drastis pada ayahnya. “Tubuh bapak saya gemetaran,” sebut
Edi.
Penulis menghampiri
Sapur yang berdiri di balik jeruji. Memakai kopiah warna putih dan kemeja motif
batik. Tampak begitu rapi.
Sapur melemparkan
senyum ketika penulis memperkenalkan diri. Sapur tampak tegar, meski ketika
penulis bersalaman, tangannya terasa bergetar.
Suasana bahagia
bercampur haru tatkala mendengar suara Mulyono (65), rekan sejawatnya yang
hadir memenuhi panggilan sebagai saksi dan menemani penulis menghapirinya.
“Apa kabar pak?”
sapa penulis kepada Sapur.
“Alhamdulilah,
saya sehat. Cuma badan saya agak gemetaran. Mungkin karena lama tidak
bekerja,” ucapnya sembari tersenyum simpul. Sungguh jawaban yang membuat
lega hati.
Sapur sedikit bercerita
pengalamannya. Ia mengatakan bahwa selama dipenjara jarang melakukan aktivitas.
Bagi Sapur yang hari-harinya selalu bergelut dengan aktivitas di ladang, suasana
di ruang tahanan terasa sangat membosankan. Ingin membuat kerajinan tangan dan
sebagainya. Namun ada daya, penglihatannya
tak mendukung. “Kami yang biasa bekerja ini, kalau diam seperti ini.
badan malah sakit-sakitan,” ujarnya.
Sapur begitu ingin
melepas rindu dengan keluarganya untuk berbagi kisah. Namun, waktunya sangat
terbatas.
Sekitar pukul 16.30
WIB, sidang dimulai. Majelis Hakim yang diketuai Cipto Hosari Parsaoran Nababan
dan didampingi dua hakim anggota, membuka persidangan dengan agenda
menghadirkan saksi yang meringankan.
Mulyono, Sahrudin,
Karya Dwi Cahya, dan Baktor Kuling dihadirkan sebagai saksi dalam persidangan
itu. Disumpah untuk menyatakan kebenaran. Hakim menanyakan kepada penasihat hukum
terdakwa, Ditta. “Siapa yang terlebih dahulu?” tanya Cipto.
“Mulyono pak, saksi
mata pada waktu kejadian,” jawab Ditta.
Mulyono pun
menceritakan peristiwa pada 18 September 2019 lalu itu. Ia menerima kabar bahwa
kebun karet miliknya terbakar di daerah Juking Pajang, Kabupaten Murung Raya. Mendengar
itu, dirinya pun bergegas menuju kebun. Kebetulan ada lima anggota kepolisian saat
itu.
“Jadi kami berbarengan
ke kebun. Memang benar ada lahan terbakar, termasuk lahan saya. Jaraknya 100
meter dari punya Pak Sapur. Saya tidak pernah menuduh Pak Sapur, karena rasanya
tidak mungkin. Karena lahan punya saya terbakar pada hari itu, sedangkan lahan punya
beliau (Sapur, red) sudah dibakar dan jagung-jagung sudah tumbuh sekitar tinggi
20 cm,” bebernya.
Baktor Kuling selaku
ketua Dewan Adat Dayak Kabupaten Murung Raya, kali ini juga dihadirkan dalam persidangan.
Ia menjelaskan, menurut pandangannya, dari sisi budaya, membakar lahan telah menjadi
kearifan lokal yang turun-temurun.
“Berladang dengan
cara dibakar sudah menjadi budaya masyarakat adat Dayak sejak dahulu kala,”
ujarnya.
Sementara, kronologi sebagaimana
dalam dakwaan jaksa penuntut umum Kejari Murung Raya, pada Selasa 17 September
2019, sekira pukul 13.00 WIB, terdakwa bersama saksi Bendi menuju lahan milik terdakwa
di pinggir DAS Barito, Desa Juking Pajang Kecamatan Murung, Kabupaten Murung
Raya.
Sesampainya di lahan
itu, terdakwa mengumpulkan daun dan dahan yang sudah kering yang sebelumnya
telah ditebang dan ditebas menggunakan sebilah parang. Selanjutnya, terdakwa membakar
lahan menggunakan macis. Api disulut pada serabut kelapa untuk memudahkan
proses pembakaran. Kemudian, Rabu 18
September 2019, sekitar pukul 13.00 WIB, terdakwa bersama saksi Bendi kembali
ke lahan itu, dengan tujuan untuk melanjutkan pembakaran dan membersihkan sisa
pembakaran di atas lahan yang telah dibakar.
Sekitar pukul 15.00 WIB,
dua orang anggota Polres Murung Raya melihat ada lahan yang telah terbakar dan
api yang masih dalam keadaan menyala. Dua anggota polisi itu mendatangi terdakwa,
lalu melakukan penangkapan.
Terdakwa melakukan
pembakaran pada lahan miliknya, dengan luas sekitar dua hektare. Sementara,
luas lahan yang telah dibakar terdakwa saat itu sekitar setengah hektare. (adl/ce/ram/dar)