Site icon Prokalteng

Nasib Mantan Kepala Daerah yang Bertarung pada Pileg 2019

nasib-mantan-kepala-daerah-yang-bertarung-pada-pileg-2019

PALANGKA RAYA-Proses rekapitulasi penghitungan
suara pemilu 2019 di Kalteng telah selesai diplenokan pada tingkat provinsi. Hasilnya
pun sudah dapat diketahui. Siapa calon legislatif (caleg) yang akan menjabat lima
tahun ke depan, periode 2019-2024. Baik tingkat kabupaten/kota, provinsi,
maupun pusat.


Melihat hasil pleno yang dilakukan mulai dari
tingkat kabupaten/kota hingga tingkat provinsi beberapa waktu lalu, banyak kejutan
terjadi. Tak sedikit calon petahana yang gagal mempertahankan kursi empuk
dewan. Sebagai contoh, di DPRD provinsi hanya ada 10 calon petahana yang
bertahan.

Selain banyaknya calon petahana gagal
bertahan, pemilihan legislatif (pileg) tahun ini juga menjadi ajang pertarungan
para mantan kepala daerah, baik itu mantan gubernur, bupati, wakil bupati,
maupun wakil wali kota. Total ada 19 caleg eks pimpinan daerah yang
“mengadu nasib” pada pesta demokrasi lima tahunan ini.  

Dari belasan caleg tersebut, 11 orang meraih
keberuntungan dan terpilih menjadi wakil rakyat. Sisanya belum berhasil
menggapai keinginan menduduki kursi di legislatif.  

Terkait gagalnya mantan kepala daerah dalam
beradu memperebutkan kursi legislatif, pengamat politik Kalteng John Retey berpendapat,
tingkat popularitas seseorang, terutama yang pernah menjabat sebagai kepala
daerah, tidak memengaruhi tingkat elektabilitas seorang caleg.

Popularitas memang cukup memengaruhi elektabilitas.
Salah satu contoh, kata dia, calon anggota DPD RI Agustin Teras Narang, yang
meraup suara cukup signifikan. Memang lanjutnya, ada kepala daerah yang
diketahui publik khususnya pada basis masing-masing. Namun, apabila belum ada
langkah strategis yang dilakukan dalam upaya memenangkan saat mencalonkan diri,
maka hal itu juga menjadi persoalan.

“Masalahnya seperti ini, pemilu ini kan
sistem nomor dan bukan sistem gambar. Dengan sistem ini, para caleg harus mampu
meyakinkan konstituennya untuk memilih mereka, dengan tidak perlu membaca satu
per satu calon yang tertera. Para pemilik hak suara sudah digiring untuk
memilih partai dan nomor yang sudah disosialisasikan,” tuturnya.

Selain itu, meski memiliki popularitas yang
tinggi, tapi tidak melakukan pelatihan, maka akan mengalami kesulitan. Karena
waktu yang cukup singkat, maka pemilih harus sudah memiliki pilihan sebelum
berada di bilik suara.

“Jika tidak ada sosialisasi dan
pencerahan, maka mungkin saja yang terjadi adalah pemilih hanya menentukan
lilihan kepada partai politik, tapi tidak memilih calon sesuai dengan nomor yang
bersangkutan,” tegasnya.

Menurutnya, kepala daerah yang masih belum
lolos (gagal), bisa jadi secara teknis tidak membekali konstituen berdasarkan
basis yang ada. Selain itu, popularitas tidak menentukan elektabilitas. Karena
itu, belum tentu dipilih meskipun sudah populer.

“Walaupun berstatus mantan kepala daerah,
tapi pemilih akan melihat rekam jejak terkait prestasi yang dikerjakan
sebelumnya. Jadi hal ini akan menjadi pertimbangan pemilih saat pemilihan umum
sebelumnya,” tuturnya.

Kemudian, secara umum ia menilai bahwa pemilu
yang baru diselenggarakan berjalan cukup baik sesuai jadwal yang telah
ditetapkan. Meski demikian, sangat perlu untuk dilakukan evaluasi, agar pelaksanaan
ke depannya lebih baik lagi. Dari aspek partisipasi, sudah meningkat. Namun
tidak hanya dilihat jumlah pemilih yang datang ke tempat pemungutan suara (TPS),
tetapi perlu dilihat apa yang menyebabkan orang berpartisipasi.

“Pemilu tahun ini secara serentak
berkaitan dengan kondisi politik nasional. Ada pertarungan head to head antara dua kubu capres. Karena itulah ada upaya yang
dilakukan parpol maupun calon untuk mendorong para pemilih untuk menggunakan
hak pilih,” jelasnya.

Selain itu, berbagai isu pilpres, misalnya
terkait kelompok minoritas dan lain-lain, juga dapat mendorong masyarakat untuk
datang ke TPS. Kalau dari konteks angka cukup bagus. Sedangkan terkait kesalahan
penghitungan dan rekapitulasi di tingkat TPS, perlu untuk dicermati, apakah murni
karena kelalaian manusia (human error) atau adanya kesengajaan.

“Kalau murni human error, maka bisa
dipahami. Sebab, sistem pemilu kali ini termasuk hal baru, karena menggabungkan
pilpres dan pileg,” tuturnya.

Lebih lanjut dikatakannya, SDM para pelaksana
pemilu mesti diperhatikan. Dengan demikian, berbagai persoalan teknis di
lapangan saat pemilihan bisa diatasi dengan cepat.

“Sebagai contoh, terjadi penumpukan atau
antrean untuk pemilih yang belum terdaftar dalam DPT dan menggunakan KTP-el. Apabila
SDM petugas pemilu mumpuni, maka persoalan-persoaln seperti  yang dicontohkan itu tidak terjadi, sehingga hak
pilih masyarakat yang diakui secara UU tidak hilang begitu saja,” ucapnya.

Ditegaskannya, melihat realita
penyelenggaraan pemilu beberapa waktu lalu, masih ditemukan banyak kekurangan.
Namun, jika pleno rekapitulasi tingkat nasional oleh KPU RI selesai, maka secara
normatif KPU dan Bawaslu telah selesai menjalankan tugasnya dengan baik.

Melihat banyaknya pelanggaran-pelanggaran
yang terjadi, maka pemilu perlu dievaluasi kembali. Jangan hanya dilakukan
secara formal oleh pihak-pihak yang terkait langsung dengan pemilu. Evaluasi
harus benar-benar memberikan masukan yang baik untuk perubahan secara teknis
maupun yuridis terhadap UU pemilu,” tambahnya.
(nue/ce/ala)

Exit mobile version