31.9 C
Jakarta
Sunday, April 20, 2025

Soal Karhutla di Kalteng, ILUNI UI Nyatakan Belum Selesai. Ini Persoal

PALANGKA RAYA – Kebakaran hutan dan lahan
(Karhutla) di Kalimantan, khususnya Kalteng yang berlangsung selama
berbulan-bulan, menjadi perhatian Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI
UI). Walau hujan mulai basahi Kalteng, tetapi ILUNI UI menilai persoalan kabut
asap di Kalteng belum berakhir.


Ketua Ikatan Alumni Universitas Indonesia
(ILUNI UI) Endang Mariani menyatakan, persoalan karhutla dan kabut asap di
Kalimantan, khususnya Kalteng belum selesai. “Persoalan asap sama sekali
belum selesai. Meskipun sudah membaik, di beberapa tempat, NAB PM 2.5 masih
fluktuatif dan udara pada waktu-waktu tertentu masih masuk dalam kategori tidak
sehat. Selain itu, asap yang muncul akibat terjadinya kebakaran hutan dan lahan
adalah bencana buatan manusia, yang sudah terjadi berulang kali. Hampir setiap
tahun. Artinya, ada permasalahan yang belum diselesaikan, yaitu penyebabnya,”
ucapnya usai berdiskusi dengan Rektor Universitas Palangka Raya (UPR) Andrie
Elia Embang.

Menurut Doktor Psikologi Lulusan UI ini,
banyak penelitian dan kajian dilakukan oleh perguruan tinggi, maupun para
pakar. Dengan segala kompleksitasnya, akar permasalahan pun sudah diketahui
dengan pasti.

Baca Juga :  Kalteng Perketat Pegawasan di Bandara dan Pelabuhan

“Banyak cara pencegahan dan rekomendasi
sudah diberikan. Persoalannya adalah sudah cukup kuatkah kemauan untuk
mengatasinya?” Ini persoalan yang sesungguhnya,” ujarnya.

Ditegaskannya, dampak dari asap kebakaran
hutan dan lahan, bukan hanya dirasakan saat kejadian, tapi panjang. Bukan saja
dengan munculnya keluhan-keluhan penyakit yang muncul, tapi akibat yang akan
dirasakan sampai puluhan tahun ke depan, khususnya oleh anak-anak dan balita,
bisa cukup serius dan dapat mengancam jiwa.

“Belum lagi kerugian secara ekonomis,
terkait biaya yang dikeluarkan untuk memadamkan api dan menanggulangi kondisi darurat.
Itupun masih ada biaya-biaya lain yang tidak terlihat dan tidak terhitung.
Secara psikologis, kondisi lingkungan yang dipenuhi asap sepanjang waktu, juga
sangat berpengaruh terhadap emosi, kesehatan jiwa dan produktivitas kerja,”
tegasnya.

Sementara itu, Rektor UPR, Andrie Elia
mengatakan, setiap terjadi kebakaran hutan, biaya yang dikeluarkan sangat
besar. Sekarang persoalannya, bukan bagaimana mengantisipasi jika terjadi lagi
kebakaran hutan.

“Lebih penting dari itu adalah bagaimana
kita bisa mencegahnya, supaya tidak perlu lagi keluar biaya triliunan untuk
memadamkan api,” ucapnya.

Baca Juga :  Sepakat ! Ditutup Sementara Saat Membersihkan Area Pasar Besar

Ellia menyebutkan, UPR harus masuk dalam
kelompok Perguruan Tinggi yang memasukkan kurikulum kebencanaan, karena
walaupun tidak berada di daerah rawan bencana, seperti gempa bumi, gunung
meletus, dan sebagainya, tapi kebakaran hutan termasuk bencana besar.
“Akan tetapi anggaran untuk itu belum ada posnya. Tanpa dukungan
pemerintah pusat, tidak akan mampu pemerintah daerah mengatasinya
sendiri,” ujarnya.

Menurut Ellia, sampai dengan saat ini UPR
punya puluhan ahli gambut, baik yang berpendidikan dalam negeri, maupun luar
negeri. Tanpa harus menyalahkan siapapun, baik masyarakat dan korporasi, semua
upaya yang dilakukan harus tepat dan berkelanjutan.

“Contohnya dengan program penanaman sejuta
pohon. Niatan itu sudah betul. Tapi dari sejuta itu, tidak pernah ada
monitoring, berapa yang benar-benar hidup. Usulan saya, pohon yang ditanam
haruslah tananaman produktif. Berikan tanggungjawab ke masyarakat untuk
memeliharanya sampai tumbuh betul dan bisa menghasilkan. Tapi jangan lupa,
berikan juga biaya penanaman dan pemeliharaannya. Misalnya seperti yang
diberlakukan kepada para transmigran,” pungkasnya. (arj/OL)

PALANGKA RAYA – Kebakaran hutan dan lahan
(Karhutla) di Kalimantan, khususnya Kalteng yang berlangsung selama
berbulan-bulan, menjadi perhatian Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI
UI). Walau hujan mulai basahi Kalteng, tetapi ILUNI UI menilai persoalan kabut
asap di Kalteng belum berakhir.


Ketua Ikatan Alumni Universitas Indonesia
(ILUNI UI) Endang Mariani menyatakan, persoalan karhutla dan kabut asap di
Kalimantan, khususnya Kalteng belum selesai. “Persoalan asap sama sekali
belum selesai. Meskipun sudah membaik, di beberapa tempat, NAB PM 2.5 masih
fluktuatif dan udara pada waktu-waktu tertentu masih masuk dalam kategori tidak
sehat. Selain itu, asap yang muncul akibat terjadinya kebakaran hutan dan lahan
adalah bencana buatan manusia, yang sudah terjadi berulang kali. Hampir setiap
tahun. Artinya, ada permasalahan yang belum diselesaikan, yaitu penyebabnya,”
ucapnya usai berdiskusi dengan Rektor Universitas Palangka Raya (UPR) Andrie
Elia Embang.

Menurut Doktor Psikologi Lulusan UI ini,
banyak penelitian dan kajian dilakukan oleh perguruan tinggi, maupun para
pakar. Dengan segala kompleksitasnya, akar permasalahan pun sudah diketahui
dengan pasti.

Baca Juga :  Kalteng Perketat Pegawasan di Bandara dan Pelabuhan

“Banyak cara pencegahan dan rekomendasi
sudah diberikan. Persoalannya adalah sudah cukup kuatkah kemauan untuk
mengatasinya?” Ini persoalan yang sesungguhnya,” ujarnya.

Ditegaskannya, dampak dari asap kebakaran
hutan dan lahan, bukan hanya dirasakan saat kejadian, tapi panjang. Bukan saja
dengan munculnya keluhan-keluhan penyakit yang muncul, tapi akibat yang akan
dirasakan sampai puluhan tahun ke depan, khususnya oleh anak-anak dan balita,
bisa cukup serius dan dapat mengancam jiwa.

“Belum lagi kerugian secara ekonomis,
terkait biaya yang dikeluarkan untuk memadamkan api dan menanggulangi kondisi darurat.
Itupun masih ada biaya-biaya lain yang tidak terlihat dan tidak terhitung.
Secara psikologis, kondisi lingkungan yang dipenuhi asap sepanjang waktu, juga
sangat berpengaruh terhadap emosi, kesehatan jiwa dan produktivitas kerja,”
tegasnya.

Sementara itu, Rektor UPR, Andrie Elia
mengatakan, setiap terjadi kebakaran hutan, biaya yang dikeluarkan sangat
besar. Sekarang persoalannya, bukan bagaimana mengantisipasi jika terjadi lagi
kebakaran hutan.

“Lebih penting dari itu adalah bagaimana
kita bisa mencegahnya, supaya tidak perlu lagi keluar biaya triliunan untuk
memadamkan api,” ucapnya.

Baca Juga :  Sepakat ! Ditutup Sementara Saat Membersihkan Area Pasar Besar

Ellia menyebutkan, UPR harus masuk dalam
kelompok Perguruan Tinggi yang memasukkan kurikulum kebencanaan, karena
walaupun tidak berada di daerah rawan bencana, seperti gempa bumi, gunung
meletus, dan sebagainya, tapi kebakaran hutan termasuk bencana besar.
“Akan tetapi anggaran untuk itu belum ada posnya. Tanpa dukungan
pemerintah pusat, tidak akan mampu pemerintah daerah mengatasinya
sendiri,” ujarnya.

Menurut Ellia, sampai dengan saat ini UPR
punya puluhan ahli gambut, baik yang berpendidikan dalam negeri, maupun luar
negeri. Tanpa harus menyalahkan siapapun, baik masyarakat dan korporasi, semua
upaya yang dilakukan harus tepat dan berkelanjutan.

“Contohnya dengan program penanaman sejuta
pohon. Niatan itu sudah betul. Tapi dari sejuta itu, tidak pernah ada
monitoring, berapa yang benar-benar hidup. Usulan saya, pohon yang ditanam
haruslah tananaman produktif. Berikan tanggungjawab ke masyarakat untuk
memeliharanya sampai tumbuh betul dan bisa menghasilkan. Tapi jangan lupa,
berikan juga biaya penanaman dan pemeliharaannya. Misalnya seperti yang
diberlakukan kepada para transmigran,” pungkasnya. (arj/OL)

Terpopuler

Artikel Terbaru