SAYA sudah selesai menulis: tentang Gibran. Untuk edisi Minggu hari ini.
Lalu muncullah email dari teman baik Disway di Los Angeles. Ia tidak pernah absen membaca Disway. Sampai komentar-komentarnya.
''Itu hotel?'' tanya saya. Jari saya menunjuk satu bangunan besar. Seperti baru. Empat lantai. Di pinggir 'danau' yang teduh, damai dan tenang. Kanan kiri bangunan itu hutan. Berbukit. Di belakangnya gunung.
Ia lahir hari Rabu. Karena itu diberi nama Boyamin. Ayahnya seorang petani di Desa Ngumpul, antara Ponorogo dan Slahung. Pelosok sekali. Pelosoknya pelosok.
LEBIH mudah mengajari ilmu kewartawanan kepada dokter daripada mengajari ilmu kedokteran kepada wartawan. Maka saya putuskan agresif, kala itu: rekrut dokter-dokter muda. Jadikan mereka wartawan.
SAYA lagi di pedalaman Tiongkok. Naik kereta api sejauh 14 jam. Dari Beijing. Bukan kereta Whoosh. Kereta lama. Jalur lama. Gerbong lama. Bisa tidur sepanjang malam. Juga bisa mimpi terkena luka.
WAKTU akan menyembuhkan luka. Saya percaya. Saya sendiri terluka. Minggu lalu. Kaki terkena tajamnya bambu. Pedih sekali. Luka itu pun saya bawa pergi. Jauh. Benar, di Tiongkok luka itu sembuh.
SAYA jarang lewat jalur ini: Surabaya-Hong Kong-Tianjin. Harus bermalam di Hong Kong. Kali ini apa boleh buat. Toh sudah 3 tahun tidak lihat Hong Kong.