Nu’ai baru saja melepas capit cas aki setrum ikannya saat lelaki bercelana joger itu datang. Dia menawarkan pekerjaan; membersihkan bak PDAM di Bangko, tak berapa jauh dari rumah mereka yang uzur dan doyong.
Sambil menarik bahuku agar lebih mendekat, Elyas berbisik: ”Coba perhatikan.” Maka aku memperhatikan apa yang ditunjuknya. Sebuah rumah. Dua lantai. Dengan gerbang setinggi hampir dua meter.
Inilah yang selalu menjadi rindu saat berada jauh. Bebauan sedap dari dapur Mak. Terlebih di hari-hari Ramadan dan aku tak berkesempatan pulang. Bebauan itu sekonyong-konyong saja muncul entah dari mana; menyergap hidung, membelai ingatan, menguar kenangan yang kemudian menjelmakan berbagai komposisi hidangan di meja makan.
BEGITULAH nyanyian yang dirapal oleh si lemah iman yang sedang putus asa di hadapan batu raksasa di tengah rimba di hari-hari sial jelang Ramadan. Batu Belah Batu Betangkup. Konon, si pemohon takkan merasa sakit sedikit pun tiap anggota badannya ditangkup batu itu.
SATU-satunya yang begitu menarik perhatianku ketika berhasil meloloskan diri dari kerumunan untuk masuk ke rumah Runn ialah tiga sstoples kaca berisi kimci yang terletak dalam kulkas yang pintunya telah terbuka.
Bukan kekalahan Jepang di Perang Dunia II yang membuat hati Qomar berbunga-bunga. Bukan pula karena Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Bukan itu! Bunga-bunga tumbuh di kepala Qomar saat berkenalan dengan Hanum, beberapa hari sebelum peristiwa perobekan bendera di Hotel Yamato
Rel-rel menatap dingin, seperti mata golok yang menatap leher para binatang yang gelisah di rumah jagal. Kita duduk di sisian rel ini sedari subuh. Kita menghitung, tak kurang dari lima kereta telah berlalu-lalang melampaui kita –yang hanya duduk dan saling bergenggaman tangan.
Tersebutlah keluarga Wayan yang ingin mengisi liburan. Reza ingin melihat Candi Borobudur gara-gara waktu ditanya gurunya letaknya di mana, dijawabnya: Amerika Serikat. Afgan pengin ke Bromo yang disebut-sebut sebagai taman terindah ketiga di dunia justru setelah terbakar.
Kurang dua jam lewat sepuluh menit sebelum Dewa Dapur Co Lu Akung kembali ke Langit untuk melaporkan segala kejadian di dapur selama setahun kepada Kaisar Giok, Lim A Moy telah mengolesi bibir patungnya dengan tempoyak pedas.