Du’a Limek tengah menjerang air ketika angin muher yang kejam mengetuk ubun-ubun rumahnya. Rumah setengah bata merah berdinding kayu itu terguncang bagai ayunan. Tetapi, Du’a Limek terus menatapi tungku api.
Setengah jam setelah jenazah ayah ditanam, kusaksikan mereka telah pecah membahas tanah, rumah, serta hak-hak mereka berdasar silsilah. Awalnya aku terkejut, tetapi kemudian muncul kesadaran bahwa memang itulah motivasi mereka datang ke sini.
Gerbang Sekolah Al-Shati, 21 Maret 2008 Sebelum menyadari apa yang terjadi, tubuh mungil Rania melambung ke udara, lantas terempas ke tanah. Barusan terjadi ledakan, sangat keras, bahkan hingga kini telinganya masih berdenging. Sebelumnya ia mendengar suara mendesing dari langit dan ia mendongak: semacam laba-laba besi raksasa yang mengapung di udara.
Nu’ai baru saja melepas capit cas aki setrum ikannya saat lelaki bercelana joger itu datang. Dia menawarkan pekerjaan; membersihkan bak PDAM di Bangko, tak berapa jauh dari rumah mereka yang uzur dan doyong.
Sambil menarik bahuku agar lebih mendekat, Elyas berbisik: ”Coba perhatikan.” Maka aku memperhatikan apa yang ditunjuknya. Sebuah rumah. Dua lantai. Dengan gerbang setinggi hampir dua meter.
Inilah yang selalu menjadi rindu saat berada jauh. Bebauan sedap dari dapur Mak. Terlebih di hari-hari Ramadan dan aku tak berkesempatan pulang. Bebauan itu sekonyong-konyong saja muncul entah dari mana; menyergap hidung, membelai ingatan, menguar kenangan yang kemudian menjelmakan berbagai komposisi hidangan di meja makan.