29 C
Jakarta
Saturday, May 18, 2024
spot_img

Beruang Biru

Gerbang Sekolah Al-Shati, 21 Maret 2008 Sebelum menyadari apa yang terjadi, tubuh mungil Rania melambung ke udara, lantas terempas ke tanah. Barusan terjadi ledakan, sangat keras, bahkan hingga kini telinganya masih berdenging. Sebelumnya ia mendengar suara mendesing dari langit dan ia mendongak: semacam laba-laba besi raksasa yang mengapung di udara.

Sebelumnya lagi, saat keluar gerbang bersama murid lain, ia lihat pemuda kurus berwajah muram yang berdiri canggung sambil memeluk boneka beruang berpita merah –mungkin hadiah ulang tahun– menoleh ke kiri dan kanan, tampak mencari wajah anak yang ia kenal di antara ratusan murid yang menghambur keluar gerbang.

Pemuda itu telah lenyap. Sebagai gantinya, Rania melihat gumpalan, serpihan, potongan, dan semuanya berwarna merah. Murid-murid yang terlempar ke tepian seperti dirinya kehilangan hasrat untuk bersuara.

Seorang siswi berkepang dua dan berbaju seragam garis-garis hitam seperti dirinya tampak pias. Ia mematung, tak bangkit, tak juga lari. Namun, setelah mengamati lebih jelas, Rania sadar bahwa kaki kiri gadis kecil itu telah terlempar entah ke mana.

Dengan tubuh gemetar, Rania mengumpulkan seluruh kekuatan. Tenaganya seakan telah terisap habis. Namun, ia tetap memaksa dirinya untuk berdiri. Lalu ia berjalan, berlari, menembus kabut debu, menyusuri jalan aspal di tepi laut, kemudian berbelok ke lorong-lorong sempit yang tak muat dilewati kendaraan roda empat. Ia sampai. Pintu rumahnya terbuka. Tanpa mengucap salam, ia menerobos masuk.

”Rania, kau sudah pulang?” teriak ibunya dari ruang menjahit. Namun, ia tak menjawab. Mulutnya masih kaku. Ia masuk ke kamarnya, duduk di pojok ruangan, dan memeluk lututnya yang gemetar. Kakinya masih utuh, tetapi tidak dengan siswi berkepang dua itu. Siapa yang akan menyambung kakinya? Mungkin akan banyak anak yang kelak kakinya terlepas. Rania tak mau itu. Ia akan jadi dokter kaki yang menjahit kembali kaki-kaki yang terlepas.

Kamp Al-Shati, 26 September 2023

Perut di hadapannya terburai, isinya meluber-luber keluar. Dengan tenang, ia masukkan satu demi satu isi perut itu, lantas menjahitnya dengan rapi. Setelah menyimpul benang dan memotong sisanya, ia ulurkan boneka beruang itu ke si gadis mungil.

”Tedi sudah tak sakit lagi,” ucapnya. Si gadis kecil tersenyum lebar. ”Terima kasih, Kak Rania. Tak akan aku pinjamkan ke Zahra.”

”Tapi Rima, Zahra mungkin tak sengaja bikin Tedi terluka.”

Gadis kecil itu mengentakkan kaki. ”Tetap saja. Seharusnya ia tak merebut Tedi dariku.” Usai mengucap itu, gadis itu berlari pergi keluar rumah dan hampir menabrak ibu Rania yang membawa sepiring anggur hitam.

”Kulihat di depan tadi ada Zahra. Ia jongkok dekat gerbang. Wajahnya becek betul.”

Rania tertawa. ”Tak sengaja ia bikin perut boneka Rima robek. Sudah kujahit. Untuk Zahra, biar nanti kubuatkan untuknya boneka beruang.”

Alih-alih ikut tertawa, ibunya memandang Rania dengan sendu. ”Seharusnya saat ini kau menjahit kulit orang, bukan boneka. Seharusnya setelah lulus, kau belajar di fakultas kedokteran, bukannya membantu…”

”Tidak, Mama,” potong Rania. ”Bukan salah Mama. Aku malah bersyukur bisa punya waktu belajar menjahit. Dari hasil menjahit thawb-thawb ini, aku menabung cukup banyak. Jika sudah cukup, aku akan mendaftar.”

Ibunya menggumam tak jelas dan berjalan ke arah dapur. Baru saja hendak meletakkan anggur-anggur itu di meja, tubuh ibunya mendadak limbung. Piring berisi anggur itu melayang, lantas jatuh dan hancur berkeping-keping bersamaan dengan bunyi tubuh ibunya yang menghantam lantai. Rania menjerit, berlari ke arah ibunya, dan memanggil-manggilnya. Namun, ibunya hanya membalasnya dengan suara ngorok yang terdengar sumbang.

Lorong Rumah Sakit, 26 September 2023

Pria kurus berkulit cokelat itu merogoh kantong jas putihnya dan meraih ponselnya yang bergetar. ”Sudah kubilang aman, kau tak perlu khawatir.”

Ia melangkah melewati lorong yang padat dengan orang berlalu-lalang. ”Nanti kutelepon. Aku mau masuk UGD,” ucap pria itu begitu sampai di depan pintu. Ia masuk ruang triase 2 dan pandangannya hinggap pada seorang gadis muda yang membaca kitab di sebelah wanita tua yang terbujur di atas tempat tidur. Udara disesaki suara monoton dari alat-alat yang berkedip di atasnya. Mata wanita tua itu terpejam, mulut dan hidungnya tertutup masker yang terhubung dengan selang oksigen, sementara tangan sebelah kiri terbidai oleh dua sendok kayu panjang yang diikat oleh sepasang jilbab di bagian atas siku dan bawah pergelangan tangan.

Baca Juga :  Presiden Dapur

Usai memberi salam dan menunjukkan papan nama di dada kanannya: dr. Zaen Sp.OT, ia mengeluarkan lembaran hitam dari map. ”Incomplete fracture,” ucapnya sambil menunjuk pada foto hitam putih yang ia terawangkan ke arah lampu kamar. Dengan bahasa Arab sederhana yang terpatah-patah, ia coba menjelaskan bahwa kedua tulang lengan bawah si wanita tua itu retak, tetapi tidak sampai patah sepenuhnya, jadi nanti tidak perlu operasi terbuka, cukup dilakukan reduksi tertutup dengan gips. Itu pun dilakukan jika kondisi pasien sudah cukup stabil setelah penanganan dari neurolog untuk stroke pendarahannya.

Gadis itu mengangguk-angguk seolah Zaen hanya menjelaskan tentang tata cara membikin kismis dari anggur segar. ”Kau yang membidainya?” tanya Zaen sambil menunjuk bidai sendok jilbab itu. Gadis itu mengangguk. ”Kau berbakat jadi perawat,” cetus Zaen. Tanpa ia duga, gadis itu menjawab, ”Saya ingin jadi dokter.”

Zaen mengangkat bahu. ”Boleh-boleh saja. Kau bisa jadi apa pun yang kaumau,” ucapnya sebelum keluar.

Saat ia mengisi rekam medis pasien di meja setengah lingkaran di tengah UGD, ia bisa mencuri dengar pembicaraan gadis itu dengan perawat yang memberinya resep. Hanya sepotong-potong yang ia dengar, tetapi ia bisa menyimpulkan bahwa gadis itu yatim. Di sini, si gadis tak punya kerabat lain. Satu-satunya keluarga hanyalah ibunya. Ia izin pulang sebentar untuk mengambil uang. Zaen diam-diam meraih secarik kertas dan menyalin alamat pasien tersebut: kawasan kamp Al-Shati. Nama penanggung jawabnya Rania. Bibir Zaen tersenyum.

Ruang Dokter, 7 Oktober 2023

Zaen baru saja menyesap susu hangatnya ketika map itu terangsur ke arahnya. ”Ingat pasien stroke pendarahan yang patah tulang itu? Ia meninggal hari ini,” ujar dokter Ali, ahli neurologi.

Zaen mendongak. Susunya terasa pahit. ”Kapan?”

”Subuh tadi. Sekarang di ruang jenazah, menunggu diambil oleh keluarganya.”

Tanpa berkata-kata lagi, Zaen bangkit dan meninggalkan susu hangatnya. Ia berjalan dengan langkah panjang menyusuri lorong menuju ruang jenazah. Namun, tiba-tiba lorong itu menjadi padat. Petugas administrasi, perawat, dan bidan berlarian.

Begitu juga pengunjung rumah sakit –entah pasien atau keluarga pasien. Salah seorang perawat berhenti dan menjelaskan kepada Zaen bahwa ada tentara. Banyak. Mungkin ratusan. Tank-tank berbaris di luar. Semua disuruh ke halaman rumah sakit.

Mendengar itu, bukannya ikut arus manusia yang menuju halaman, Zaen berlari ke bagian belakang RS. Rania, nama itu mendengung di kepalanya. Tangannya terasa dingin dan basah. Ia harus cepat.

Ia tepat waktu. Gadis itu baru keluar dari ruang jenazah. Wajahnya sembap, hidungnya merah. Zaen berhenti di hadapannya. Napasnya terengah-engah. ”Masih ingat saya, Rania?” tanyanya di sela-sela napasnya yang memburu. Gadis itu mengangguk. Zaen mengembuskan napas berat. ”Mungkin ini aneh, tapi saya ada permintaan.”

Dalam Taksi, 13 Oktober 2023

Taksi itu melaju kencang ke arah perbatasan Rafah. Dari balik jendela, sambil memangku boneka beruang biru, Rania memandangi debu-debu cokelat yang beterbangan, sementara latarnya adalah gedung-gedung yang tinggal separo. Asap membubung tinggi. Tenggorokannya terasa kering. Ia terbatuk-batuk kecil.

Sebotol air mineral terulur ke arahnya. Dari kursi penumpang depan, Zaen tersenyum. ”Harusnya kau tak usah sungkan meminta air ke suamimu sendiri. Basahi tenggorokanmu itu, istriku.”

Rania tersipu, lantas meraih botol itu dan mereguknya dua teguk. Setelah itu ia memandangi pemandangan di luar jendela yang entah berapa tahun lagi bisa ia lihat kembali.

”Kementerian sudah menunggu kita. Surat-surat sudah beres. Sampai di Kairo, kita langsung terbang ke Indonesia. Setelahnya kau harus banyak belajar,” cetus Zaen. ”Ujian masuk kedokteran itu rumit.”

Rania menoleh ke arah suaminya, lantas mengangguk. Jalan hidup memang tak ada yang tahu. Sebulan yang lalu ia hanyalah anak yatim dengan mimpi-mimpi mustahil, sekarang Tuhan menghamparkan jalan lebar bebas hambatan. Perawat bedah asisten Zaen di OK kenal baik dengan seorang imam masjid yang kemudian menikahkan Rania dengan Zaen.

Baca Juga :  Perahu Cinta, Martabat, dan Hidup yang Tidak Hitam Putih

Imam itu punya kenalan pula di departemen agama yang memudahkan pengurusan surat-surat mereka. Lalu, pemerintah negara Zaen membantu mengurus perizinan untuk pulang ke Indonesia. Dan di Indonesia, Zaen menjanjikan akan menyekolahkan ia ke universitas.

Tiba-tiba taksi berhenti. Di depan ada kecelakaan tunggal. Si pengendara motor terpental ke pinggir aspal dengan kaki yang tertekuk aneh. Zaen menoleh ke belakang. ”Tunggu sebentar, ya. Kita masih punya waktu, kan?” Rania tersenyum, lantas mengangguk. Zaen membuka pintu, meloncat keluar, dan berlari ke arah korban.

Tiba-tiba Rania mendengar suara dengungan yang semakin lama semakin memekakkan telinga. Dari jendela, ia memandang angkasa. Ingatannya mundur ke masa itu, ketika laba-laba raksasa terbang dan mendengung dan menjatuhkan tahi-tahi jahanamnya. Namun, yang ia lihat kali ini jauh lebih besar dari laba-laba besi masa itu. Sebelum ia tahu apa yang terjadi, pandangannya gelap.

Surabaya, 13 Oktober 2023

Bocah lelaki itu meraih bus biru kecil sebelum berlari ke kamar ibunya, lantas memeluk sang ibu dari belakang. ”Ibuk, ayah pulang kapan?”

Tanpa menoleh, Nin menjawab, ”Mungkin dua hari lagi.”

Bocah lelaki itu bersorak, lantas berlari kembali ke arah televisi besar yang menyiarkan kartun kesukaannya. Saat lagu pembuka dimainkan, bocah itu menari sembari ikut bernyanyi. Sementara itu, Nin menekuk wajah, membiarkan air matanya tumpah agar setelah ini, ia bisa tersenyum dan menyambut suaminya yang kembali dengan membawa istri baru.

Baru kemarin suaminya menelepon secara singkat. ”Aku tak bisa lama-lama. Intinya aku ingin menolong gadis yatim di sini. Aku menikahinya dan ia akan pulang bersamaku. Tapi, kau tak usah khawatir. Nanti kujelaskan lebih terperinci.” Dan panggilan itu terputus.

Nin berbisik pelan. ”Aku tahu, ini ketetapan-Mu. Tetapi, aku belum bisa ikhlas, Tuhan. Aku ingin suamiku pulang, tetapi hanya ia sendiri, tidak dengan yang lain.” Lalu ia terisak kembali.

Di Dekat Puing-Puing Taksi, 13 Oktober 2023

Tanpa tahu penyebabnya, Zaen terbang sesaat di udara panas bersamaan dengan suara ledakan memekakkan telinga. Ia terjatuh tepat di sebelah pengendara motor yang terluka. Bahunya terbentur aspal dan nyerinya setengah mati. Namun, rasa nyeri itu mendadak lenyap ketika ia melihat serpihan yang dahulunya adalah taksi. Di antara puing-puing logam itu, berserakan cabikan, gumpalan, potongan. Semuanya merah.

Zaen mengerang pilu. Ia memang menikahi Rania, tetapi tak pernah menyentuhnya. Ini hanya taktik agar Rania bisa lolos sampai ke negerinya. Sesampai di Surabaya, akan ia bebaskan Rania dari ikatan perkawinan. Akan ia berikan mimpi baru untuknya: menghafal nama tulang, menyusuri jalur pembuluh darah, dan memahami bagaimana hormon bekerja.

Awalnya Rania tak setuju karena sebetulnya ia tak ingin pergi. Walau memberi perih, ini adalah negerinya. ”Kelak, kau bisa kembali setelah menjadi dokter. Kau bisa membantu banyak orang,” ucap Zaen waktu itu untuk meyakinkannya. Meski begitu, Rania tetap ragu. Pikirannya baru berubah ketika dua hari usai Zaen memberinya tawaran, kediamannya hancur oleh serangan udara. Tak ada tempat untuknya pulang.

Zaen bercerita bahwa ia memiliki seorang istri yang baik dan anak yang lucu di Indonesia. ”Kau pasti akan menyayangi mereka. Anggap anakku sebagai adikmu sendiri.”

Mendengar itu, Rania tersenyum. Dari dulu ia ingin memiliki adik. Karena itu, dari sisa kain yang bisa ia selamatkan dari puing-puing kediamannya di Al-Shati, ia buatkan boneka beruang untuk ”adiknya” yang segera ia temui. Sayangnya, ia tak akan pernah bisa menyerahkan beruang biru itu. (*)

SASTI GOTAMA, Emerging Writer UWRF 2022. Pemenang I Hadiah Sastra ”Rasa” 2022. Naskah ”Rahim” karyanya termasuk kategori Naskah Menarik Minat Dewan Juri Sayembara Novel DKJ 2023.

Gerbang Sekolah Al-Shati, 21 Maret 2008 Sebelum menyadari apa yang terjadi, tubuh mungil Rania melambung ke udara, lantas terempas ke tanah. Barusan terjadi ledakan, sangat keras, bahkan hingga kini telinganya masih berdenging. Sebelumnya ia mendengar suara mendesing dari langit dan ia mendongak: semacam laba-laba besi raksasa yang mengapung di udara.

Sebelumnya lagi, saat keluar gerbang bersama murid lain, ia lihat pemuda kurus berwajah muram yang berdiri canggung sambil memeluk boneka beruang berpita merah –mungkin hadiah ulang tahun– menoleh ke kiri dan kanan, tampak mencari wajah anak yang ia kenal di antara ratusan murid yang menghambur keluar gerbang.

Pemuda itu telah lenyap. Sebagai gantinya, Rania melihat gumpalan, serpihan, potongan, dan semuanya berwarna merah. Murid-murid yang terlempar ke tepian seperti dirinya kehilangan hasrat untuk bersuara.

Seorang siswi berkepang dua dan berbaju seragam garis-garis hitam seperti dirinya tampak pias. Ia mematung, tak bangkit, tak juga lari. Namun, setelah mengamati lebih jelas, Rania sadar bahwa kaki kiri gadis kecil itu telah terlempar entah ke mana.

Dengan tubuh gemetar, Rania mengumpulkan seluruh kekuatan. Tenaganya seakan telah terisap habis. Namun, ia tetap memaksa dirinya untuk berdiri. Lalu ia berjalan, berlari, menembus kabut debu, menyusuri jalan aspal di tepi laut, kemudian berbelok ke lorong-lorong sempit yang tak muat dilewati kendaraan roda empat. Ia sampai. Pintu rumahnya terbuka. Tanpa mengucap salam, ia menerobos masuk.

”Rania, kau sudah pulang?” teriak ibunya dari ruang menjahit. Namun, ia tak menjawab. Mulutnya masih kaku. Ia masuk ke kamarnya, duduk di pojok ruangan, dan memeluk lututnya yang gemetar. Kakinya masih utuh, tetapi tidak dengan siswi berkepang dua itu. Siapa yang akan menyambung kakinya? Mungkin akan banyak anak yang kelak kakinya terlepas. Rania tak mau itu. Ia akan jadi dokter kaki yang menjahit kembali kaki-kaki yang terlepas.

Kamp Al-Shati, 26 September 2023

Perut di hadapannya terburai, isinya meluber-luber keluar. Dengan tenang, ia masukkan satu demi satu isi perut itu, lantas menjahitnya dengan rapi. Setelah menyimpul benang dan memotong sisanya, ia ulurkan boneka beruang itu ke si gadis mungil.

”Tedi sudah tak sakit lagi,” ucapnya. Si gadis kecil tersenyum lebar. ”Terima kasih, Kak Rania. Tak akan aku pinjamkan ke Zahra.”

”Tapi Rima, Zahra mungkin tak sengaja bikin Tedi terluka.”

Gadis kecil itu mengentakkan kaki. ”Tetap saja. Seharusnya ia tak merebut Tedi dariku.” Usai mengucap itu, gadis itu berlari pergi keluar rumah dan hampir menabrak ibu Rania yang membawa sepiring anggur hitam.

”Kulihat di depan tadi ada Zahra. Ia jongkok dekat gerbang. Wajahnya becek betul.”

Rania tertawa. ”Tak sengaja ia bikin perut boneka Rima robek. Sudah kujahit. Untuk Zahra, biar nanti kubuatkan untuknya boneka beruang.”

Alih-alih ikut tertawa, ibunya memandang Rania dengan sendu. ”Seharusnya saat ini kau menjahit kulit orang, bukan boneka. Seharusnya setelah lulus, kau belajar di fakultas kedokteran, bukannya membantu…”

”Tidak, Mama,” potong Rania. ”Bukan salah Mama. Aku malah bersyukur bisa punya waktu belajar menjahit. Dari hasil menjahit thawb-thawb ini, aku menabung cukup banyak. Jika sudah cukup, aku akan mendaftar.”

Ibunya menggumam tak jelas dan berjalan ke arah dapur. Baru saja hendak meletakkan anggur-anggur itu di meja, tubuh ibunya mendadak limbung. Piring berisi anggur itu melayang, lantas jatuh dan hancur berkeping-keping bersamaan dengan bunyi tubuh ibunya yang menghantam lantai. Rania menjerit, berlari ke arah ibunya, dan memanggil-manggilnya. Namun, ibunya hanya membalasnya dengan suara ngorok yang terdengar sumbang.

Lorong Rumah Sakit, 26 September 2023

Pria kurus berkulit cokelat itu merogoh kantong jas putihnya dan meraih ponselnya yang bergetar. ”Sudah kubilang aman, kau tak perlu khawatir.”

Ia melangkah melewati lorong yang padat dengan orang berlalu-lalang. ”Nanti kutelepon. Aku mau masuk UGD,” ucap pria itu begitu sampai di depan pintu. Ia masuk ruang triase 2 dan pandangannya hinggap pada seorang gadis muda yang membaca kitab di sebelah wanita tua yang terbujur di atas tempat tidur. Udara disesaki suara monoton dari alat-alat yang berkedip di atasnya. Mata wanita tua itu terpejam, mulut dan hidungnya tertutup masker yang terhubung dengan selang oksigen, sementara tangan sebelah kiri terbidai oleh dua sendok kayu panjang yang diikat oleh sepasang jilbab di bagian atas siku dan bawah pergelangan tangan.

Baca Juga :  Presiden Dapur

Usai memberi salam dan menunjukkan papan nama di dada kanannya: dr. Zaen Sp.OT, ia mengeluarkan lembaran hitam dari map. ”Incomplete fracture,” ucapnya sambil menunjuk pada foto hitam putih yang ia terawangkan ke arah lampu kamar. Dengan bahasa Arab sederhana yang terpatah-patah, ia coba menjelaskan bahwa kedua tulang lengan bawah si wanita tua itu retak, tetapi tidak sampai patah sepenuhnya, jadi nanti tidak perlu operasi terbuka, cukup dilakukan reduksi tertutup dengan gips. Itu pun dilakukan jika kondisi pasien sudah cukup stabil setelah penanganan dari neurolog untuk stroke pendarahannya.

Gadis itu mengangguk-angguk seolah Zaen hanya menjelaskan tentang tata cara membikin kismis dari anggur segar. ”Kau yang membidainya?” tanya Zaen sambil menunjuk bidai sendok jilbab itu. Gadis itu mengangguk. ”Kau berbakat jadi perawat,” cetus Zaen. Tanpa ia duga, gadis itu menjawab, ”Saya ingin jadi dokter.”

Zaen mengangkat bahu. ”Boleh-boleh saja. Kau bisa jadi apa pun yang kaumau,” ucapnya sebelum keluar.

Saat ia mengisi rekam medis pasien di meja setengah lingkaran di tengah UGD, ia bisa mencuri dengar pembicaraan gadis itu dengan perawat yang memberinya resep. Hanya sepotong-potong yang ia dengar, tetapi ia bisa menyimpulkan bahwa gadis itu yatim. Di sini, si gadis tak punya kerabat lain. Satu-satunya keluarga hanyalah ibunya. Ia izin pulang sebentar untuk mengambil uang. Zaen diam-diam meraih secarik kertas dan menyalin alamat pasien tersebut: kawasan kamp Al-Shati. Nama penanggung jawabnya Rania. Bibir Zaen tersenyum.

Ruang Dokter, 7 Oktober 2023

Zaen baru saja menyesap susu hangatnya ketika map itu terangsur ke arahnya. ”Ingat pasien stroke pendarahan yang patah tulang itu? Ia meninggal hari ini,” ujar dokter Ali, ahli neurologi.

Zaen mendongak. Susunya terasa pahit. ”Kapan?”

”Subuh tadi. Sekarang di ruang jenazah, menunggu diambil oleh keluarganya.”

Tanpa berkata-kata lagi, Zaen bangkit dan meninggalkan susu hangatnya. Ia berjalan dengan langkah panjang menyusuri lorong menuju ruang jenazah. Namun, tiba-tiba lorong itu menjadi padat. Petugas administrasi, perawat, dan bidan berlarian.

Begitu juga pengunjung rumah sakit –entah pasien atau keluarga pasien. Salah seorang perawat berhenti dan menjelaskan kepada Zaen bahwa ada tentara. Banyak. Mungkin ratusan. Tank-tank berbaris di luar. Semua disuruh ke halaman rumah sakit.

Mendengar itu, bukannya ikut arus manusia yang menuju halaman, Zaen berlari ke bagian belakang RS. Rania, nama itu mendengung di kepalanya. Tangannya terasa dingin dan basah. Ia harus cepat.

Ia tepat waktu. Gadis itu baru keluar dari ruang jenazah. Wajahnya sembap, hidungnya merah. Zaen berhenti di hadapannya. Napasnya terengah-engah. ”Masih ingat saya, Rania?” tanyanya di sela-sela napasnya yang memburu. Gadis itu mengangguk. Zaen mengembuskan napas berat. ”Mungkin ini aneh, tapi saya ada permintaan.”

Dalam Taksi, 13 Oktober 2023

Taksi itu melaju kencang ke arah perbatasan Rafah. Dari balik jendela, sambil memangku boneka beruang biru, Rania memandangi debu-debu cokelat yang beterbangan, sementara latarnya adalah gedung-gedung yang tinggal separo. Asap membubung tinggi. Tenggorokannya terasa kering. Ia terbatuk-batuk kecil.

Sebotol air mineral terulur ke arahnya. Dari kursi penumpang depan, Zaen tersenyum. ”Harusnya kau tak usah sungkan meminta air ke suamimu sendiri. Basahi tenggorokanmu itu, istriku.”

Rania tersipu, lantas meraih botol itu dan mereguknya dua teguk. Setelah itu ia memandangi pemandangan di luar jendela yang entah berapa tahun lagi bisa ia lihat kembali.

”Kementerian sudah menunggu kita. Surat-surat sudah beres. Sampai di Kairo, kita langsung terbang ke Indonesia. Setelahnya kau harus banyak belajar,” cetus Zaen. ”Ujian masuk kedokteran itu rumit.”

Rania menoleh ke arah suaminya, lantas mengangguk. Jalan hidup memang tak ada yang tahu. Sebulan yang lalu ia hanyalah anak yatim dengan mimpi-mimpi mustahil, sekarang Tuhan menghamparkan jalan lebar bebas hambatan. Perawat bedah asisten Zaen di OK kenal baik dengan seorang imam masjid yang kemudian menikahkan Rania dengan Zaen.

Baca Juga :  Perahu Cinta, Martabat, dan Hidup yang Tidak Hitam Putih

Imam itu punya kenalan pula di departemen agama yang memudahkan pengurusan surat-surat mereka. Lalu, pemerintah negara Zaen membantu mengurus perizinan untuk pulang ke Indonesia. Dan di Indonesia, Zaen menjanjikan akan menyekolahkan ia ke universitas.

Tiba-tiba taksi berhenti. Di depan ada kecelakaan tunggal. Si pengendara motor terpental ke pinggir aspal dengan kaki yang tertekuk aneh. Zaen menoleh ke belakang. ”Tunggu sebentar, ya. Kita masih punya waktu, kan?” Rania tersenyum, lantas mengangguk. Zaen membuka pintu, meloncat keluar, dan berlari ke arah korban.

Tiba-tiba Rania mendengar suara dengungan yang semakin lama semakin memekakkan telinga. Dari jendela, ia memandang angkasa. Ingatannya mundur ke masa itu, ketika laba-laba raksasa terbang dan mendengung dan menjatuhkan tahi-tahi jahanamnya. Namun, yang ia lihat kali ini jauh lebih besar dari laba-laba besi masa itu. Sebelum ia tahu apa yang terjadi, pandangannya gelap.

Surabaya, 13 Oktober 2023

Bocah lelaki itu meraih bus biru kecil sebelum berlari ke kamar ibunya, lantas memeluk sang ibu dari belakang. ”Ibuk, ayah pulang kapan?”

Tanpa menoleh, Nin menjawab, ”Mungkin dua hari lagi.”

Bocah lelaki itu bersorak, lantas berlari kembali ke arah televisi besar yang menyiarkan kartun kesukaannya. Saat lagu pembuka dimainkan, bocah itu menari sembari ikut bernyanyi. Sementara itu, Nin menekuk wajah, membiarkan air matanya tumpah agar setelah ini, ia bisa tersenyum dan menyambut suaminya yang kembali dengan membawa istri baru.

Baru kemarin suaminya menelepon secara singkat. ”Aku tak bisa lama-lama. Intinya aku ingin menolong gadis yatim di sini. Aku menikahinya dan ia akan pulang bersamaku. Tapi, kau tak usah khawatir. Nanti kujelaskan lebih terperinci.” Dan panggilan itu terputus.

Nin berbisik pelan. ”Aku tahu, ini ketetapan-Mu. Tetapi, aku belum bisa ikhlas, Tuhan. Aku ingin suamiku pulang, tetapi hanya ia sendiri, tidak dengan yang lain.” Lalu ia terisak kembali.

Di Dekat Puing-Puing Taksi, 13 Oktober 2023

Tanpa tahu penyebabnya, Zaen terbang sesaat di udara panas bersamaan dengan suara ledakan memekakkan telinga. Ia terjatuh tepat di sebelah pengendara motor yang terluka. Bahunya terbentur aspal dan nyerinya setengah mati. Namun, rasa nyeri itu mendadak lenyap ketika ia melihat serpihan yang dahulunya adalah taksi. Di antara puing-puing logam itu, berserakan cabikan, gumpalan, potongan. Semuanya merah.

Zaen mengerang pilu. Ia memang menikahi Rania, tetapi tak pernah menyentuhnya. Ini hanya taktik agar Rania bisa lolos sampai ke negerinya. Sesampai di Surabaya, akan ia bebaskan Rania dari ikatan perkawinan. Akan ia berikan mimpi baru untuknya: menghafal nama tulang, menyusuri jalur pembuluh darah, dan memahami bagaimana hormon bekerja.

Awalnya Rania tak setuju karena sebetulnya ia tak ingin pergi. Walau memberi perih, ini adalah negerinya. ”Kelak, kau bisa kembali setelah menjadi dokter. Kau bisa membantu banyak orang,” ucap Zaen waktu itu untuk meyakinkannya. Meski begitu, Rania tetap ragu. Pikirannya baru berubah ketika dua hari usai Zaen memberinya tawaran, kediamannya hancur oleh serangan udara. Tak ada tempat untuknya pulang.

Zaen bercerita bahwa ia memiliki seorang istri yang baik dan anak yang lucu di Indonesia. ”Kau pasti akan menyayangi mereka. Anggap anakku sebagai adikmu sendiri.”

Mendengar itu, Rania tersenyum. Dari dulu ia ingin memiliki adik. Karena itu, dari sisa kain yang bisa ia selamatkan dari puing-puing kediamannya di Al-Shati, ia buatkan boneka beruang untuk ”adiknya” yang segera ia temui. Sayangnya, ia tak akan pernah bisa menyerahkan beruang biru itu. (*)

SASTI GOTAMA, Emerging Writer UWRF 2022. Pemenang I Hadiah Sastra ”Rasa” 2022. Naskah ”Rahim” karyanya termasuk kategori Naskah Menarik Minat Dewan Juri Sayembara Novel DKJ 2023.

spot_img
spot_img

Terpopuler

spot_img

Artikel Terbaru