Pagi belum membuka gelapnya ketika dengan kaki bergetar, Pahar menggeret kapal memancing milik pamannya yang diparkir di naje. Dengan seluruh kekuatannya, kapal itu Pahar seret menuju bibir pantai Lam
Ketika Maria melihat seorang perempuan duduk sendirian di kursi panjang pinggir jalan, ia merasa pernah mengenalnya. Maria juga duduk di bangku panjang serupa, di seberang jalan, di seberang perempuan itu.
Hujan turun seperti ribuan paku yang rontok dari langit. Serentak dan gemertak.
Di halte tua di tengah perkebunan teh, Muluk dan empat temannya –para buruh pemetik teh– serta sebuah motor matik bergeming seperti model manekin di toko usang.
Langit di atas kantor militer di Jakarta diselimuti awan mendung saat Kusni Kasdut berdiri antre bersama para pria lain dengan harapan baru yang lebih kuat. Tangannya mencengkeram surat rekomendasinya. Selama empat tahun ia telah berjuang untuk kemerdekaan. Selama itu ia merasa punya arti mengingat masa kecilnya yang suram.
Air asin kepahitan itu menghantam wajahnya hingga hidung dan mulutnya yang setengah terbuka tersedak. Ia terbangun kaget, terbatuk-batuk dalam kondisi masih setengah sadar. Tangannya mengusap wajahnya yang berbuih dan berpasir, matanya terasa perih.
Di siang yang basah, kami berjalan ke simpang tiga. Ayah ke barat. Ibu ke tenggara. Ingatan baru merangkak. Kenangan belum berjalan. Tapi, aku masih tiga tahun. Belum mengerti kasih sayang. Belum tahu apa itu kenangan. Belum tahu ngerinya perceraian.
Dencor terpesona pada ilmu Nabi Ibrahim. Ia mendengar kisah itu dari mulut anak-anak suatu hari yang berbagi aneka kisah nabi di pekarangan di samping rumahnya. Dencor menguping kisah itu dan tanpa diketahui oleh siapa pun, ia diam-diam ingin menemukan ilmu apa yang dimiliki nabi itu sampai bisa tak tersentuh api.
Suatu sore, sepulang kerja, Tomi mengeluhkan lengan kanannya. ”Lihat sini, Ovi,” ia berkata kepada istrinya sambil pelan-pelan mengangkat lengannya tersebut.
Aku terlahir cukup sehat dari ibu yang sehat, namun aku tak punya nama, aku tak suka itu! Tak punya nama memang lazim untuk kami, yang hidup berkelompok dengan bapak yang meletakkan air mani di banyak puki.