Tubuh
mengeluarkan hormon kortisol atau hormon stres ketika tubuh atau pikiran sedang
banyak masalah. Hormon ini bisa memicu daya tahan tubuh seseorang menjadi drop.
Sebuah studi baru-baru ini menunjukkan kadar hormon stres atau kortisol tinggi,
lebih cenderung mempercepat tertular virus dan menyebabkan kematian.
Kortisol
adalah hormon steroid yang bertanggung jawab atas respons tubuh. Hormon ini
muncul ketika seorang individu stres, bekerja dengan bagian otak yang terkait
dengan rasa takut, motivasi, dan suasana hati.
Dilansir
dari Science Times, Jumat (19/6), ahli dari Imperial College London dan
Konsultan Endokrinologis di Imperial College Healthcare NHS Trust Inggris,
Profesor Waljit Dhillo menunjukkan bagaimana kadar kortisol menjadi penanda
seberapa parah Coronavirus telah menginfeksi seorang pasien.
Hormon
ini juga mengatur beberapa fungsi tubuh seperti karbohidrat, lemak, dan
manajemen protein. Lalu juga mengatur tekanan darah dan pada saat yang sama
meningkatkan glukosa untuk gula darah. Kortisol juga merespons ketika virus
atau penyakit lain ada dalam tubuh, memicu perubahan metabolisme, fungsi
jantung, dan sistem kekebalan tubuh.
Sedangkan
tingkat kesehatan pada fase istirahat berada pada 100-200 nanometer per liter.
Dan menjadi hampir nol ketika orang tidur.
Penelitian
ini melibatkan 535 pasien dengan 403 yang positif dengan Covid-19. Mereka yang
terinfeksi virus memiliki tingkat kortisol lebih tinggi daripada 132 yang tidak
terinfeksi.
Pasien
dengan kadar rendah dan kadar kortisol berlebih sama-sama berbahaya. Tingkat
stres yang tinggi biasanya akan menyebabkan penambahan berat badan, sakit
kepala, masalah pencernaan, pola tidur yang terganggu, depresi, kecemasan, dan
bahkan penyakit jantung. Peningkatan kortisol yang dikombinasikan dengan
Coronavirus menyebabkan peningkatan risiko infeksi dengan hasil yang buruk.
Para pasien Covid-19 dengan tingkat dasar kortisol 744 atau kurang, hanya bisa
bertahan selama rata-rata 36 hari. Sementara jika hormon itu lebih tinggi,
hanya bisa bertahan pada 15 hari.
“Dari
sudut pandang seorang endokrinologis, masuk akal bahwa pasien Covid-19 yang
paling sakit akan memiliki tingkat kortisol yang lebih tinggi,†katanya.
Para
pasien berasal dari tiga Rumah Sakit London-Charing Cross, Hammersmith, dan St.
Mary’s. Tim menyimpulkan bahwa ada peningkatan 42 persen risiko kematian ketika
tingkat kortisol berlipat dua kali. Sayangnya, 112 pasien dengan Coronavirus
meninggal selama penelitian antara 9 Maret dan 22 April, sementara 9 pasien
tanpa virus meninggal karena penyakit yang berbeda.
“Pasien
memburuk lebih cepat. Maka penting untuk mempertimbangkan kadar kortisol pasien
ketika pasien sedang dirawat,†kata Profesor Dhillo.