25.6 C
Jakarta
Sunday, November 24, 2024

Survei, 1 dari 5 Orang Berpikir Lebih Baik Mati karena Beban Mental

Masalah
mental atau gangguan kejiwaan bisa memengaruhi kesehatan fisik secara
keseluruhan. Saat seseorang sudah stres dan dirundung masalah yang rumit,
justru bisa membuat mereka putus asa. Bahkan berpikir esktrem ke arah kematian
atau bunuh diri.

Psikiater
dr.Lahargo Kembaren, SpKJ yang juga Kepala Instalasi Rehabilitasi Psikososial
RS.dr.H.Marzoeki Mahdi Bogor dan RS Siloam Bogor menerangkan, ditemukan gejala
cemas, depresi, dan trauma psikologis merupakan masalah psikologis yang
terbanyak.

Hal
ini berdasarkan Survei Swaperiksa Masalah Psikologis selama 5 bulan terakhir.
Survei tersebut mendapati 64,8 persen responden mengalami masalah psikologis.
Seperti gejala cemas, depresi, dan trauma psikologis.

Kemudian
usia 17- 29 tahun dan kurang dari 60 tahun adalah usia yang rentan terhadap
munculnya masalah psikologis. Esktremnya, 1 dari 5 orang memiliki pemikiran
tentang lebih baik mati.

Lalu
15 persen orang memikirkan lebih baik mati setiap hari. Dan mirisnya, usia yang
terbanyak memikirkan kematian adalah usia produktif yakni 18-29 tahun.

Baca Juga :  4 Hal sebelum Lakukan Eyelash Extensions

“Mari
kita juga menghindari memberikan stigma dan diskriminasi bagi orang dengan
gangguan jiwa karena mereka dan keluarganya sudah cukup menderita dengan
gangguan jiwa yang dialaminya,” katanya kepada JawaPos.com baru-baru ini.

Data
di dunia, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) 1 dari 4 orang terkena
gangguan jiwa dalam 1 fase dalam hidupnya. Setiap 40 detik ada orang yang
meninggal karena bunuh diri. Setiap tahun ada 800 ribu orang mati karena bunuh
diri di seluruh dunia.

Dalam
laman resmi WHO, baru-baru ini juga dikeluarkan pedoman baru yang
merekomendasikan serangkaian intervensi psikososial untuk meningkatkan
kesehatan mental dan mencegah kondisi kesehatan mental di kalangan remaja, usia
10-19 tahun. Kaum muda juga menjadi prioritas utama WHO.

Perhatian
khusus diberikan kepada remaja yang berisiko tinggi dan mengalami gangguan
mental atau menyakiti diri sendiri karena terpapar masalah. Remaja bisa
mengalami situasi kehidupan yang rumit seperti kehamilan di luar nikah. Apalagi
emosi mereka masih tidak terkendali.

Baca Juga :  Kopi Tanpa Ampas, Bisa Kurangi Risiko Diabetes

Intervensi
yang direkomendasikan dapat diberikan di sekolah dan lingkungan masyarakat dan
melalui platform digital. Bunuh diri adalah penyebab kematian ketiga pada usia
15-19 tahun.

Dan
itu memiliki dampak jangka panjang. Kesehatan mental yang buruk pada masa
remaja merupakan salah satu dari sejumlah faktor yang mempengaruhi perilaku
pengambilan risiko. Termasuk melukai diri sendiri, penggunaan tembakau, alkohol
dan obat-obatan, perilaku seksual berisiko, dan paparan kekerasan. Efek dari semua
ini tetap ada dan dapat memiliki implikasi serius sepanjang hidup.

Kaum
muda menghadapi lingkungan sosial, budaya dan ekonomi yang semakin kompleks,
dengan tantangan yang diakibatkan oleh perubahan lingkungan keluarga,
ketidakstabilan pekerjaan dan pengangguran di rumah tangga mereka. Remaja
perempuan dua kali lebih mungkin terkena gangguan mental dibandingkan remaja
laki-laki. WHO dan UNICEF sedang mengembangkan perangkat untuk memfasilitasi
penerapan pedoman baru untuk mengatasi masalah ini.

Masalah
mental atau gangguan kejiwaan bisa memengaruhi kesehatan fisik secara
keseluruhan. Saat seseorang sudah stres dan dirundung masalah yang rumit,
justru bisa membuat mereka putus asa. Bahkan berpikir esktrem ke arah kematian
atau bunuh diri.

Psikiater
dr.Lahargo Kembaren, SpKJ yang juga Kepala Instalasi Rehabilitasi Psikososial
RS.dr.H.Marzoeki Mahdi Bogor dan RS Siloam Bogor menerangkan, ditemukan gejala
cemas, depresi, dan trauma psikologis merupakan masalah psikologis yang
terbanyak.

Hal
ini berdasarkan Survei Swaperiksa Masalah Psikologis selama 5 bulan terakhir.
Survei tersebut mendapati 64,8 persen responden mengalami masalah psikologis.
Seperti gejala cemas, depresi, dan trauma psikologis.

Kemudian
usia 17- 29 tahun dan kurang dari 60 tahun adalah usia yang rentan terhadap
munculnya masalah psikologis. Esktremnya, 1 dari 5 orang memiliki pemikiran
tentang lebih baik mati.

Lalu
15 persen orang memikirkan lebih baik mati setiap hari. Dan mirisnya, usia yang
terbanyak memikirkan kematian adalah usia produktif yakni 18-29 tahun.

Baca Juga :  4 Hal sebelum Lakukan Eyelash Extensions

“Mari
kita juga menghindari memberikan stigma dan diskriminasi bagi orang dengan
gangguan jiwa karena mereka dan keluarganya sudah cukup menderita dengan
gangguan jiwa yang dialaminya,” katanya kepada JawaPos.com baru-baru ini.

Data
di dunia, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) 1 dari 4 orang terkena
gangguan jiwa dalam 1 fase dalam hidupnya. Setiap 40 detik ada orang yang
meninggal karena bunuh diri. Setiap tahun ada 800 ribu orang mati karena bunuh
diri di seluruh dunia.

Dalam
laman resmi WHO, baru-baru ini juga dikeluarkan pedoman baru yang
merekomendasikan serangkaian intervensi psikososial untuk meningkatkan
kesehatan mental dan mencegah kondisi kesehatan mental di kalangan remaja, usia
10-19 tahun. Kaum muda juga menjadi prioritas utama WHO.

Perhatian
khusus diberikan kepada remaja yang berisiko tinggi dan mengalami gangguan
mental atau menyakiti diri sendiri karena terpapar masalah. Remaja bisa
mengalami situasi kehidupan yang rumit seperti kehamilan di luar nikah. Apalagi
emosi mereka masih tidak terkendali.

Baca Juga :  Kopi Tanpa Ampas, Bisa Kurangi Risiko Diabetes

Intervensi
yang direkomendasikan dapat diberikan di sekolah dan lingkungan masyarakat dan
melalui platform digital. Bunuh diri adalah penyebab kematian ketiga pada usia
15-19 tahun.

Dan
itu memiliki dampak jangka panjang. Kesehatan mental yang buruk pada masa
remaja merupakan salah satu dari sejumlah faktor yang mempengaruhi perilaku
pengambilan risiko. Termasuk melukai diri sendiri, penggunaan tembakau, alkohol
dan obat-obatan, perilaku seksual berisiko, dan paparan kekerasan. Efek dari semua
ini tetap ada dan dapat memiliki implikasi serius sepanjang hidup.

Kaum
muda menghadapi lingkungan sosial, budaya dan ekonomi yang semakin kompleks,
dengan tantangan yang diakibatkan oleh perubahan lingkungan keluarga,
ketidakstabilan pekerjaan dan pengangguran di rumah tangga mereka. Remaja
perempuan dua kali lebih mungkin terkena gangguan mental dibandingkan remaja
laki-laki. WHO dan UNICEF sedang mengembangkan perangkat untuk memfasilitasi
penerapan pedoman baru untuk mengatasi masalah ini.

Terpopuler

Artikel Terbaru