26.1 C
Jakarta
Thursday, April 18, 2024

Balita dengan Asupan Gizi Tak Seimbang Rentan Terserang Penyakit

Nutrition
Officer UNICEF Field Office Java Karina Widowati menyatakan anak-anak usia di
bawah lima tahun (balita) dengan asupan gizi tidak seimbang rentan terhadap
penyakit pada saat pandemi Covid-19.

“Balita
dengan gizi baik akan lebih tahan terhadap efek negatif perubahan iklim dan
pandemi seperti Covid-19,” kata Karina Widowati saat mengisi materi Makanan
Sehat dan Bergizi untuk Balita di Masa Pandemi, pada acara Geliat Airlangga
Webinar Series di Surabaya, seperti dikutip dari Antara.

Menurut
dia, preferensi makanan untuk balita seperti sekarang ini berpotensi membentuk
pola makan yang tidak sehat bagi anak-anak di masa mendatang, karena saat ini
kemungkinan banyak orang tua memiliki pilihan terbatas lantaran kehilangan mata
pencaharian.

Karina
mengatakan karena kehilangan mata pencaharian dan pendapatan tersebut, banyak
orang tua yang sulit untuk memenuhi keberagaman minimal (hewani, nabati,
biji-bijian atau umbi) makanan untuk anak-anak mereka.

Pemberian
makanan yang sehat dan seimbang sejak awal kehidupan, lanjut dia, bisa mencegah
timbulnya malnutrisi seperti obesitas remaja dan anemia zat besi. Bahkan,
hingga timbul penyakit degeneratif di masa depan, seperti diabetes,
osteoporosis, hipertensi.

“Dalam
kondisi normal saja atau bukan saat pandemi, keberagaman minimal makanan yang
bisa dipenuhi untuk anak-anak masih tidak sampai 50 persen, bahkan tidak sampai
40 persen,” ujarnya.

Baca Juga :  Sudah Divaksin Sinovac Masih Positif Covid-19, Ini Kata WHO

Ia
mengaku untuk balita memang belum ada survei penelitiannya, sedangkan yang
untuk remaja sudah ada dan hasilnya, memang ada perubahan preferensi makanan
yang diasup.

Saat
pandemi ini remaja di Indonesia memang lebih banyak mengonsumsi makanan di
rumah, namun makanan yang dikonsumsi lebih banyak berupa process food (sarden
dan makanan kaleng), padahal seharusnya memperbanyak fresh food.

“Kalau
yang remaja kan sudah bisa memilih sendiri, tetapi kalau yang balita ini jika
berpedoman pada food security, akan mengikuti pilihan orang tuanya. Pilihan
orang tua itu berkorelasi pada kemampuan daya beli. Karena tidak punya cukup
uang, maka kemampuan daya beli berkurang saat pandemi ini, sehingga kemungkinan
akan semakin besar pula persentase berkurangnya keberagaman asupan makan
balita,” katanya.

Data
yang dimiliki UNICEF tahun 2017, secara global hanya 1 dari 3 anak usia 6–23
bulan yang mengonsumsi makanan yang memenuhi kriteria minimum untuk keberagaman
makanan yang dikonsumsi, untuk tumbuh dan berkembang optimal. Sementara untuk
bayi usia 6-11 bulan, hanya 18 persen saja yang mengonsumsi daging dan 11
persen mengonsumsi telur.

Sementara
itu, di Indonesia, menurut data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI)
2017, dari 23,8 juta balita, lebih dari 40 persen di antaranya diperkenalkan
dengan makanan pendamping ASI sebelum usia 6 bulan.

Baca Juga :  Rokok Elektrik Juga Perlu Diwaspadai

“Ini
berbahaya. Ini meningkatkan risiko alergi pada bayi tersebut. Ususnya belum
siap. Sel-sel akan bereaksi ketika diberi asupan makanan selain ASI, karena
menganggap itu benda asing. Sistem pencernaan pada bayi kurang dari 6 bulan
sangat sensitif. Jika makanan padat diberikan sebelum 6 bulan, bayi akan
terserang obesitas lebih tinggi di masa dewasa,” katanya.

Sebanyak
40 persen anak usia 6-24 bulan mempunyai pola makan dengan keberagaman makanan
yang rendah dan 28 persen tidak diberikan makanan dengan frekuensi dianjurkan.

“Bahkan,
balita-balita dari keluarga kuintil atas, sering kali juga tidak mendapatkan
variasi minimal makanan yang dianjurkan. Rendahnya kualitas pola makan pada
balita di Indonesia ini merupakan ancaman besar bagi kemampuan anak untuk
hidup, tumbuh dan berkembang secara optimal,” katanya.

Penanggulangan
malnutrisi pada balita (anak dan remaja) melalui investasi pada pola makan
sehat (keberagaman, porsi dan kualitas makanan), menurut Karina, adalah kunci
bagi pencapaian tumbuh kembang anak-anak secara optimal sesuai dengan potensi
yang dimilikinya, serta akan mengurangi bencana terjadinya penyakit degeneratif
di masa depan. (*)

Nutrition
Officer UNICEF Field Office Java Karina Widowati menyatakan anak-anak usia di
bawah lima tahun (balita) dengan asupan gizi tidak seimbang rentan terhadap
penyakit pada saat pandemi Covid-19.

“Balita
dengan gizi baik akan lebih tahan terhadap efek negatif perubahan iklim dan
pandemi seperti Covid-19,” kata Karina Widowati saat mengisi materi Makanan
Sehat dan Bergizi untuk Balita di Masa Pandemi, pada acara Geliat Airlangga
Webinar Series di Surabaya, seperti dikutip dari Antara.

Menurut
dia, preferensi makanan untuk balita seperti sekarang ini berpotensi membentuk
pola makan yang tidak sehat bagi anak-anak di masa mendatang, karena saat ini
kemungkinan banyak orang tua memiliki pilihan terbatas lantaran kehilangan mata
pencaharian.

Karina
mengatakan karena kehilangan mata pencaharian dan pendapatan tersebut, banyak
orang tua yang sulit untuk memenuhi keberagaman minimal (hewani, nabati,
biji-bijian atau umbi) makanan untuk anak-anak mereka.

Pemberian
makanan yang sehat dan seimbang sejak awal kehidupan, lanjut dia, bisa mencegah
timbulnya malnutrisi seperti obesitas remaja dan anemia zat besi. Bahkan,
hingga timbul penyakit degeneratif di masa depan, seperti diabetes,
osteoporosis, hipertensi.

“Dalam
kondisi normal saja atau bukan saat pandemi, keberagaman minimal makanan yang
bisa dipenuhi untuk anak-anak masih tidak sampai 50 persen, bahkan tidak sampai
40 persen,” ujarnya.

Baca Juga :  Sudah Divaksin Sinovac Masih Positif Covid-19, Ini Kata WHO

Ia
mengaku untuk balita memang belum ada survei penelitiannya, sedangkan yang
untuk remaja sudah ada dan hasilnya, memang ada perubahan preferensi makanan
yang diasup.

Saat
pandemi ini remaja di Indonesia memang lebih banyak mengonsumsi makanan di
rumah, namun makanan yang dikonsumsi lebih banyak berupa process food (sarden
dan makanan kaleng), padahal seharusnya memperbanyak fresh food.

“Kalau
yang remaja kan sudah bisa memilih sendiri, tetapi kalau yang balita ini jika
berpedoman pada food security, akan mengikuti pilihan orang tuanya. Pilihan
orang tua itu berkorelasi pada kemampuan daya beli. Karena tidak punya cukup
uang, maka kemampuan daya beli berkurang saat pandemi ini, sehingga kemungkinan
akan semakin besar pula persentase berkurangnya keberagaman asupan makan
balita,” katanya.

Data
yang dimiliki UNICEF tahun 2017, secara global hanya 1 dari 3 anak usia 6–23
bulan yang mengonsumsi makanan yang memenuhi kriteria minimum untuk keberagaman
makanan yang dikonsumsi, untuk tumbuh dan berkembang optimal. Sementara untuk
bayi usia 6-11 bulan, hanya 18 persen saja yang mengonsumsi daging dan 11
persen mengonsumsi telur.

Sementara
itu, di Indonesia, menurut data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI)
2017, dari 23,8 juta balita, lebih dari 40 persen di antaranya diperkenalkan
dengan makanan pendamping ASI sebelum usia 6 bulan.

Baca Juga :  Rokok Elektrik Juga Perlu Diwaspadai

“Ini
berbahaya. Ini meningkatkan risiko alergi pada bayi tersebut. Ususnya belum
siap. Sel-sel akan bereaksi ketika diberi asupan makanan selain ASI, karena
menganggap itu benda asing. Sistem pencernaan pada bayi kurang dari 6 bulan
sangat sensitif. Jika makanan padat diberikan sebelum 6 bulan, bayi akan
terserang obesitas lebih tinggi di masa dewasa,” katanya.

Sebanyak
40 persen anak usia 6-24 bulan mempunyai pola makan dengan keberagaman makanan
yang rendah dan 28 persen tidak diberikan makanan dengan frekuensi dianjurkan.

“Bahkan,
balita-balita dari keluarga kuintil atas, sering kali juga tidak mendapatkan
variasi minimal makanan yang dianjurkan. Rendahnya kualitas pola makan pada
balita di Indonesia ini merupakan ancaman besar bagi kemampuan anak untuk
hidup, tumbuh dan berkembang secara optimal,” katanya.

Penanggulangan
malnutrisi pada balita (anak dan remaja) melalui investasi pada pola makan
sehat (keberagaman, porsi dan kualitas makanan), menurut Karina, adalah kunci
bagi pencapaian tumbuh kembang anak-anak secara optimal sesuai dengan potensi
yang dimilikinya, serta akan mengurangi bencana terjadinya penyakit degeneratif
di masa depan. (*)

Terpopuler

Artikel Terbaru