Banyak orang terlihat kuat karena selalu hadir untuk membantu, mendukung, dan menjadi sandaran bagi orang lain.Mereka dikenal sebagai pribadi yang tidak pernah menolak, selalu siap menolong, dan rela mengesampingkan kebutuhan sendiri demi kenyamanan orang lain.
Namun di balik semua kebaikan itu, tak jarang tersimpan rasa lelah yang tak pernah terucap. Ada kejenuhan yang perlahan tumbuh, ada kekesalan yang diam-diam mengendap.
Mereka jarang mengeluh, tetapi bahasa tubuh dan kebiasaan mereka mulai berubah tanpa disadari. Dilansir dari laman Small Biz Technology pada Minggu (13/4), berikut merupakan 7 perilaku orang yang selalu mengutamakan orang lain tapi diam-diam merasa kesal.
- Terlalu Banyak Mengambil Tanggung Jawab
Orang yang terbiasa mendahulukan orang lain sering kali merasa bahwa dirinya harus selalu siap sedia membantu kapan pun dibutuhkan, baik di rumah, di tempat kerja, maupun dalam pergaulan.
Ia terbiasa mengurus kebutuhan orang lain, bahkan sebelum orang itu sempat meminta bantuan. Karena sudah terlalu sering melakukan ini, ia secara tidak sadar mulai menumpuk beban tanggung jawab yang seharusnya bisa dibagi dengan orang lain.
Meskipun dari luar terlihat kuat dan cekatan, sebenarnya di dalam hati ia mulai merasa lelah dan terbebani. Ia merasa harus terus membuktikan bahwa dirinya bisa diandalkan, meskipun dalam prosesnya ia mengabaikan keinginan dan kebutuhan pribadinya.
Rasa kesal dan kecewa pun mulai muncul, terutama saat upaya dan pengorbanannya tidak dihargai atau dianggap biasa saja.
- Sering Mengucapkan Kalimat Sarkas atau Sindiran Halus
Ketika rasa kesal yang dipendam terlalu lama tidak bisa dikeluarkan secara langsung, sering kali hal itu keluar dalam bentuk sindiran atau sarkasme.Orang yang merasa terabaikan atau tidak dihargai atas semua yang telah ia lakukan biasanya tidak akan mengungkapkan kemarahannya secara frontal.
Sebagai gantinya, ia akan menyampaikan sindiran yang terdengar ringan, namun mengandung makna dalam seperti, “Ya sudah, aku kan emang paling pengertian,” atau “Tenang aja, aku pasti disuruh-suruh lagi, sudah biasa.”
Meskipun terdengar seperti candaan, sebenarnya kalimat-kalimat seperti itu menunjukkan bahwa ia menyimpan kekecewaan. Ini bisa menjadi sinyal bahwa ia merasa lelah karena terus-menerus mengalah dan merasa tidak mendapatkan perlakuan yang setimpal.
- Sulit Mengatakan “Tidak”
Orang yang sudah terbiasa memprioritaskan orang lain sering kali merasa kesulitan untuk berkata “tidak”, bahkan ketika ia sedang lelah, sibuk, atau tidak sanggup menerima tanggung jawab tambahan.
Ia merasa bahwa menolak permintaan orang lain adalah sesuatu yang egois atau akan membuat orang lain kecewa. Maka dari itu, ia akan lebih sering berkata “ya” meskipun dalam hatinya ia ingin menolak.
Kebiasaan ini lama-kelamaan membuatnya merasa terkekang dan frustrasi. Ia merasa tidak punya kontrol atas hidupnya sendiri karena selalu menyesuaikan diri demi memenuhi harapan orang lain.
Dan meskipun ia tampak rela, sebenarnya ada perasaan marah dalam dirinya karena merasa tidak bisa memperjuangkan hak dan kebutuhannya sendiri.
- Terus-Menerus Merasa Lelah Secara Fisik dan Emosional
Ketika seseorang terus mengabaikan kebutuhan dirinya sendiri demi orang lain, maka tubuh dan pikirannya akan mulai memberi sinyal kelelahan.
Orang yang seperti ini cenderung terlihat selalu sibuk, tidak pernah benar-benar beristirahat, dan terus mengerjakan sesuatu untuk orang lain.Meski tubuhnya lelah, ia tetap memaksa diri agar tidak mengecewakan orang-orang di sekitarnya. Tapi kelelahan ini bukan hanya soal fisik.
Ia juga mengalami kelelahan emosional karena terus menyimpan perasaan tidak enak, kecewa, atau bahkan marah yang tidak pernah tersalurkan.Jika terus dibiarkan, kelelahan ini bisa berdampak serius pada kesehatan mental dan fisiknya, hingga membuatnya rentan terhadap stres, kecemasan, bahkan depresi.
- Menjauh dan Menarik Diri
Setelah sekian lama terus berperan sebagai penolong bagi banyak orang, orang seperti ini bisa mulai merasa kelelahan secara emosional. Ia akan merasa bahwa semua orang hanya mendekatinya saat butuh bantuan, tapi tidak benar-benar peduli dengan dirinya sebagai individu.
Rasa lelah ini membuatnya mulai menjauh secara perlahan, seperti tidak ingin terlalu sering hadir dalam kegiatan sosial atau sengaja menghindari komunikasi.
Ia memilih untuk menyendiri sebagai bentuk perlindungan diri agar tidak merasa lebih terluka. Ini sebenarnya adalah tanda bahwa ia sedang butuh waktu untuk memulihkan perasaannya dan mengembalikan energi yang selama ini terkuras untuk orang lain. Jika dibiarkan terlalu lama, kebiasaan menarik diri ini bisa memengaruhi kesehatan mental dan hubungan sosialnya.
- Sering Meminta Maaf, Bahkan Saat Tidak Bersalah
Salah satu ciri khas orang yang selalu mengutamakan orang lain adalah kebiasaannya meminta maaf, bahkan untuk hal-hal yang sepele atau bukan kesalahannya.Ia mungkin akan berkata “maaf ya” saat ingin menyampaikan pendapat, atau minta maaf karena merasa merepotkan, padahal tidak ada yang salah.
Kebiasaan ini muncul karena ia terlalu takut menimbulkan konflik atau membuat orang lain tidak nyaman. Ia lebih memilih mengorbankan kenyamanan diri sendiri demi menjaga suasana tetap damai.
Namun di balik permintaan maaf itu, sebenarnya ada perasaan tertekan karena ia terus-menerus menahan diri dan tidak bisa bersikap jujur terhadap apa yang ia rasakan. Ini bisa menjadi bentuk kemarahan tersembunyi yang ia sembunyikan di balik sikap ramah dan mengalahnya.
- Kehilangan Jati Diri
Yang paling menyedihkan adalah ketika seseorang perlahan-lahan kehilangan jati dirinya sendiri karena terlalu fokus pada kebutuhan orang lain. Ia mungkin sudah tidak tahu lagi apa yang membuatnya bahagia, apa minat dan impiannya, atau apa yang benar-benar ia inginkan dalam hidup.
Ia merasa hidupnya hanya untuk melayani dan membahagiakan orang lain. Ketika ini terjadi, ia bisa merasa kosong dan tidak berdaya. Ia rindu untuk diakui dan dihargai bukan hanya karena bantuannya, tapi karena dirinya sendiri.
Kehilangan identitas ini bisa menjadi luka batin yang dalam dan sulit disembuhkan jika tidak segera disadari.
Maka penting untuk kembali menemukan siapa dirinya sebenarnya dan mulai menghargai diri sendiri sebagai pribadi yang utuh, bukan hanya sebagai “penolong” bagi orang lain.(jpc)