Ketua Umum PSSI Mochamad Iriawan menanggapi kritik dari Federasi
Internasional Asosiasi Pesepak Bola Profesional (FIFPro) soal kebijakan
pemotongan 75 persen gaji pemain kala pandemi COVID-19 dengan meminta semua
pihak menghentikan perdebatan soal itu.
“Hentikan berdebat tentang untung, rugi dan
bunyi kontrak. Tidak ada guna memperdebatkan situasi bencana yang justru malah
terkesan tidak berempati dengan kesulitan yang sama-sama dihadapi oleh bangsa.
Faktanya, saat ini kompetisi sedang mati suri. Jangan ada pihak yang malah
‘mengompori’,†ujar Iwan Bule, sapaan Iriawan.
Dia menegaskan, PSSI sudah berkoordinasi
dengan FIFA terkait situasi darurat COVID-19 di Indonesia. Karena itu, mantan
Kapolda Metro Jaya tersebut berharap semua pihak untuk mempererat kerja sama
agar dapat melewati situasi pandemi dan bangkit menjadi lebih baik setelah
kondisi buruk berlalu.
“Saya berharap semua pihak bisa saling
berangkulan erat untuk bersama-sama bangkit dan bertahan hidup melewati bencana
ini, baik itu klub, pemain, pelatih dan semua insan bola yg saling mengikat
kontrak,†tutur Iwan.
Purnawirawan Polri itu juga ingin seluruh
insan sepak bola nasional untuk berlapang dada menerima situasi pandemi
COVID-19 yang disebutnya terjadi di luar kendali.
FIFPro, pada Rabu (20/5), melontarkan kritik
terhadap PSSI soal penerapan kebijakan pemotongan 75 persen gaji pemain di
tengah pandemi COVID-19 tanpa berdiskusi dengan Asosiasi Pesepak Bola
Profesional Indonesia (APPI) sebagai perwakilan pesepak bola di Tanah Air,
melalui pernyataan resmi dalam laman mereka fifpro.org.
“PSSI mengintervensi hubungan kerja pemain
tanpa keinginan untuk mengundang serikat pesepak bola ke meja perundingan,â€
kata Direktur Legal FIFPro Roy Vermeer.
Pada Jumat (27/3), PSSI menerbitkan Surat
Keputusan (SK) bernomor SKEP/48/III/2020 yang salah satunya berisi,
mempersilakan klub-klub Liga 1 dan 2 untuk menggaji pemainnya maksimal 25
persen pada bulan Maret sampai Juni 2020 dari gaji yang tertera di kontrak di
tengah jeda kompetisi akibat pandemi penyakit virus korona (COVID-19).
PSSI menetapkan bahwa bulan Maret, April, Mei
dan Juni 2020 menjadi keadaan kahar (force majeure) akibat COVID-19.
Dalam pelaksanaannya, FIFPro menemukan fakta
bahwa sejak April 2020, tidak ada satu pun klub Liga 1 yang membayar pemainnya
lebih dari 25 persen, bahkan ada dua tim yang hanya memberikan 10 persen dari
gaji normal kepada pemainnya.
Sementara di Liga 2, seluruh atau 24 tim
membayar penghasilan pemain antara 10 dan 15 persen dari kesepakatan.
Dan di Liga 2, menurut FIFPro, para pemain
mendapatkan gaji sekitar 200 dolar AS atau sekitar Rp 2,9 juta perbulan sebelum
ada pemangkasan akibat pandemi. Itu dianggap berada di bawah upah minimum
regional yakni 300 dolar AS (Rp 4,4 juta).
Setelah keluar kebijakan pemotongan dari PSSI
akibat pandemi, pemain Liga 2 hanya mendapatkan 50 dolar AS (sekitar Rp737
ribu) dan nilai itu hanya 17 persen dari upah minimum.
“Fakta bahwa keputusan PSSI berlaku sejak
Maret menunjukkan bahwa PSSI tidak peduli dengan standar internasional, apalagi
soal kesejahteraan pemain di Indonesia,†ujar Roy Vermeer.
Sebelum mengeluarkan pernyataan resmi itu,
FIFPro pada 4 April 2020 telah mengirimkan surat kepada PSSI yang isinya
meminta penjelasan mengapa keputusan pemotongan maksimal 75 persen gaji
dikeluarkan tanpa berdiskusi dengan pemain melalui asosiasi pemain domestik
yang dalam hal ini adalah APPI.
“Pemangku kepentingan yang paling terpengaruh
dengan keputusan PSSI ini tidak diikutsertakan dalam diskusi. Ini tidak sejalan
dengan praktik di tingkat internasional, di mana FIFPro selalu berdialog dengan
FIFA dan AFC. Kami tidak dapat menerima langkah tersebut,†tulis FIFPro dalam
suratnya yang juga ditandatangani oleh Roy Vermeer.