26.6 C
Jakarta
Monday, December 23, 2024

Analisis: Mengapa Suzuki Dahsyat dan Bisakah Mereka Juara MotoGP 2020?

KALTENGPOS.CO-Musim MotoGP 2020 adalah tahunnya New Kids on the Block.

Bagi yang lahirnya “baru-baru saja”, barangkali
tidak familiar dengan nama boy band era
80-90-an itu. Coba searching di
mesin pencarian daring. Di sana akan ditemukan kumpulan anak-anak muda pandai
menyanyi yang mengguncang dunia permusikan pada waktu itu.

Di MotoGP tahun ini – seperti halnya era new normal di tengah pandemi Covid-19- muncul
pemandangan tidak jamak setiap kali melihat rider-rider yang
tampil di podium. Mereka adalah anak-anak baru dengan kecepatan mengerikan.
Mereka tiba-tiba mampu bertarung di barisan terdepan melawan bintang-bintang
lama dengan pengalaman balap jauh lebih lama.

Ada Francesco Bagnaia yang tetap tampil sangar meski
kakinya patah. Ada pula Brad Binder yang tiba-tiba menghenyakkan siapapun di grid
MotoGP karena sukses merengkuh kemenangan di musim debutnya. Atau Fabio
Quartararo, yang sudah naik level menjadi penantang juara dunia, sejak musim
ini dimulai.

Dari deretan New Kids on
the Block
 itu, nama Joan Mir adalah yang paling tidak
diduga-duga. Seperti manuver-manuvernya yang mengagetkan, jagoan Suzuki itu
seakan menyalip di tikungan terakhir, lalu membuat semua rider top tersadar bahwa ada monster di belakang
mereka.

Kalau ada yang bilang kondisi seperti ini terjadi
semata-mata karena absennya Marc Marquez akibat cedera, eiittss…tunggu dulu. Bukan bermaksud mengecilkan
dominasi Marquez yang telah membentuk pola persaingan di MotoGP sejak 2013,
tetapi musim ini faktornya bukan hanya dia.

Setelah tujuh balapan berlalu, tengara bahwa ban
belakang baru Michelin yang diperkenalkan tahun ini lebih cocok dengan motor
bermesin empat silinder segaris, ternyata terbukti.

Sejak Michelin menggantikan Bridgestone sebagai
pemasok ban MotoGP pada 2016, total sudah lahir 73 balapan. Dari lomba sebanyak
itu, hanya tiga kesempatan podium yang dikuasai Yamaha YZR-M1 dan Suzuki
GSX-RR. Sisanya, milik mesin V4 milik Honda dan Ducati tampil mendominasi.

Tahun lalu, 69 persen podium masih dikuasai rider-rider bermesin V4. Tapi tahun ini, sampai
artikel ini ditulis, 63 persen podium sudah dikuasai motor bermesin empat
silinder segaris (Yamaha dan Suzuki). Dari angka itu saja sudah tercermin,
betapa signifikan perubahan yang terjadi akibat ban belakang baru Michelin itu.

Baca Juga :  Antisipasi Bola Crossing, Kalteng Putra Siapkan Taktik Khusus

Dan Suzuki adalah tim pabrikan yang ikut mendulang
keuntungan dari perubahan permukaan ban belakang (slick) baru
ini. Ban baru tersebut memiliki cengkeraman lebih kuat dibandingkan spek tahun
lalu. Selain itu, permukaan ban yang menapak ke aspal juga lebih lebar.
Alhasil, motor-motor MotoGP dipaksa agar diperlakukan lebih smooth ketika melibas tikungan.

Padahal, motor bermesin V4 punya karakter agresif.
Begitu gambaran besarnya. Tentu saja, penjelasan secara detilnya akan sangat
kompleks. Hanya para engineer MotoGP
yang mampu menjelaskan hal itu dengan presisi.

Dalam kasus Suzuki, ditemukan elemen ganjil yang
timbul akibat ban baru Michelin ini. Jika rider-rider Yamaha
selalu mengeluhkan masalah cengkeraman ban belakang yang lekas tandas, Suzuki
justru sebaliknya. Mereka malah mengalami surplus grip.

GSX-RR sudah lama dikenal sebagai motor dengan sasis
terbaik di MotoGP saat ini. Paling stabil, paling mudah ditunggangi. Paling
tidak menguras fisik pembalap.

Stabilitas sasis GSX-RR ini mengingatkan kolumnis
Motorsport Magazine Mat Oxley dan sejumlah rider MotoGP
kepada motor 250cc dua tak dua silinder (sebelum jadi kelas Moto2). Motor ini
punya tenaga 100 hp dengan bobot hanya 100 kilogram.

’’Sasisnya luar biasa. Serasa menunggangi motor 250
cc. Aku bisa melaju sekencang yang aku mau ketika akan memasuki tikungan. Dan
motornya akan berbelok dengan mudah. Aku bisa melakukan pengereman seterlambat
mungkin dan membalap seagresif mungkin,’’ ungkap pembalap Aprilia Aleix
Espargaro yang pernah membalap dengan GSX-RR pada 2015-2016.

Andrea Dovizioso menyebut, GSX-RR merupakan
anti-tesis dari Ducati Desmosedici. ’’Motor (Suzuki) itu sangat stabil. Dari
luar, terlihat begitu mudah dikendalikan dibandingkan dengan motor lainnya.
Bisa sangat konsisten sepanjang balapan. Jadi di bagian akhir balapan lomba
mereka bisa sangat kencang karena penggunaan bannya lebih sedikit (irit ban). So, mereka bisa menjaga kecepatannya sampai
akhir,’’ ucapnya.

Tetapi ternyata, surplus cengkeraman ban tidak
selamanya baik untuk performa motor MotoGP. Dan itulah jawaban dari pertanyaan;
mengapa rider-rider Suzuki baru bisa kencang di paro
kedua balapan, lalu lebih sangar lagi di bagian akhir lomba?

Baca Juga :  Meski Berat, Kesempatan dan Peluang Kalteng Putra Bertahan di Liga 1 M

Terlalu banyak grip di ban belakang mengakibatkan
ketidakseimbangan traksi dengan ban depan. Hal itu mengakibatkan kesulitan saat
akan masuk dan keluar tikungan.

Ketika memasuki tikungan dan cengkeraman ban
belakang masih terlalu kuat, maka keseimbangan motor berpindah terlalu jauh ke
bagian belakang motor. Jadi ban depan tidak bisa mencengkeram secara maksimal.
Alhasil, rider tidak bisa membelokkan motor dengan mudah.

Begitu juga saat keluar tikungan. Stabilitas motor
yang bergeser terlalu ke belakang, membuat ban depan hampir tidak menyentuh
aspal. Akibatnya, motor tidak mudah diarahkan karena roda depan mengalami
sedikit wheelie.

Di tengah balapan, seringkali terlihat rider-rider menggunakan teknik sliding saat akan melakukan pengereman. Mereka
melakukan late braking lalu
menahan roda belakang agar tetap stabil dengan harapan tidak kehilangan banyak
waktu di tikungan. Nah, teknik ini sulit dilakukan rider Suzuki
di awal-awal balapan. Karena daya cengkeram ban mereka terlalu kuat untuk
melakukan sliding.

Mereka baru bisa melakukannya ketika balapan sudah
memasuki paro kedua. Saat roda belakang sudah terkikis cukup banyak. Tak heran
bila Mir atau Alex Rins baru bisa bertarung habis-habisan di akhir-akhir
balapan.

Itu termasuk manuver bersejarahnya saat melibas
Valentino Rossi di tikungan terakhir GP San Marino. Dan hal ini sudah menjadi
pola dan ciri khas tersendiri bagi Mir yang sudah naik podium tiga kali
beruntun.

Surplus grip ban belakang ini sudah berefek buruk
pada sesi kualifikasi. Dengan ban yang baru rider-rider Suzuki
seringkali kesulitan mendapatkan kecepatan maksimal untuk urusan lap time.

’’Jadi kami sedang perlu menemukan solusi agar kami
bisa lebih baik pada awal-awal lomba,’’ kata kepala mekanik Mir, Frankie
Carchedi.

Meski belum pernah merengkuh kemenangan, dalam
situasi persaingan balapan yang tidak menentu seperti sekarang, Mir punya
peluang besar untuk keluar sebagai juara dunia.

Apalagi, untuk jadi juara di MotoGP 2020 tidak perlu
jumlah kemenangan lebih banyak. Tapi terus tampil konsisten di setiap lomba.
Dan seperti lagu New Kids on the
Block: 
hanya perlu “Step by Step” bagi Mir untuk menjadi
bintang terbesar MotoGP 2020.

KALTENGPOS.CO-Musim MotoGP 2020 adalah tahunnya New Kids on the Block.

Bagi yang lahirnya “baru-baru saja”, barangkali
tidak familiar dengan nama boy band era
80-90-an itu. Coba searching di
mesin pencarian daring. Di sana akan ditemukan kumpulan anak-anak muda pandai
menyanyi yang mengguncang dunia permusikan pada waktu itu.

Di MotoGP tahun ini – seperti halnya era new normal di tengah pandemi Covid-19- muncul
pemandangan tidak jamak setiap kali melihat rider-rider yang
tampil di podium. Mereka adalah anak-anak baru dengan kecepatan mengerikan.
Mereka tiba-tiba mampu bertarung di barisan terdepan melawan bintang-bintang
lama dengan pengalaman balap jauh lebih lama.

Ada Francesco Bagnaia yang tetap tampil sangar meski
kakinya patah. Ada pula Brad Binder yang tiba-tiba menghenyakkan siapapun di grid
MotoGP karena sukses merengkuh kemenangan di musim debutnya. Atau Fabio
Quartararo, yang sudah naik level menjadi penantang juara dunia, sejak musim
ini dimulai.

Dari deretan New Kids on
the Block
 itu, nama Joan Mir adalah yang paling tidak
diduga-duga. Seperti manuver-manuvernya yang mengagetkan, jagoan Suzuki itu
seakan menyalip di tikungan terakhir, lalu membuat semua rider top tersadar bahwa ada monster di belakang
mereka.

Kalau ada yang bilang kondisi seperti ini terjadi
semata-mata karena absennya Marc Marquez akibat cedera, eiittss…tunggu dulu. Bukan bermaksud mengecilkan
dominasi Marquez yang telah membentuk pola persaingan di MotoGP sejak 2013,
tetapi musim ini faktornya bukan hanya dia.

Setelah tujuh balapan berlalu, tengara bahwa ban
belakang baru Michelin yang diperkenalkan tahun ini lebih cocok dengan motor
bermesin empat silinder segaris, ternyata terbukti.

Sejak Michelin menggantikan Bridgestone sebagai
pemasok ban MotoGP pada 2016, total sudah lahir 73 balapan. Dari lomba sebanyak
itu, hanya tiga kesempatan podium yang dikuasai Yamaha YZR-M1 dan Suzuki
GSX-RR. Sisanya, milik mesin V4 milik Honda dan Ducati tampil mendominasi.

Tahun lalu, 69 persen podium masih dikuasai rider-rider bermesin V4. Tapi tahun ini, sampai
artikel ini ditulis, 63 persen podium sudah dikuasai motor bermesin empat
silinder segaris (Yamaha dan Suzuki). Dari angka itu saja sudah tercermin,
betapa signifikan perubahan yang terjadi akibat ban belakang baru Michelin itu.

Baca Juga :  Antisipasi Bola Crossing, Kalteng Putra Siapkan Taktik Khusus

Dan Suzuki adalah tim pabrikan yang ikut mendulang
keuntungan dari perubahan permukaan ban belakang (slick) baru
ini. Ban baru tersebut memiliki cengkeraman lebih kuat dibandingkan spek tahun
lalu. Selain itu, permukaan ban yang menapak ke aspal juga lebih lebar.
Alhasil, motor-motor MotoGP dipaksa agar diperlakukan lebih smooth ketika melibas tikungan.

Padahal, motor bermesin V4 punya karakter agresif.
Begitu gambaran besarnya. Tentu saja, penjelasan secara detilnya akan sangat
kompleks. Hanya para engineer MotoGP
yang mampu menjelaskan hal itu dengan presisi.

Dalam kasus Suzuki, ditemukan elemen ganjil yang
timbul akibat ban baru Michelin ini. Jika rider-rider Yamaha
selalu mengeluhkan masalah cengkeraman ban belakang yang lekas tandas, Suzuki
justru sebaliknya. Mereka malah mengalami surplus grip.

GSX-RR sudah lama dikenal sebagai motor dengan sasis
terbaik di MotoGP saat ini. Paling stabil, paling mudah ditunggangi. Paling
tidak menguras fisik pembalap.

Stabilitas sasis GSX-RR ini mengingatkan kolumnis
Motorsport Magazine Mat Oxley dan sejumlah rider MotoGP
kepada motor 250cc dua tak dua silinder (sebelum jadi kelas Moto2). Motor ini
punya tenaga 100 hp dengan bobot hanya 100 kilogram.

’’Sasisnya luar biasa. Serasa menunggangi motor 250
cc. Aku bisa melaju sekencang yang aku mau ketika akan memasuki tikungan. Dan
motornya akan berbelok dengan mudah. Aku bisa melakukan pengereman seterlambat
mungkin dan membalap seagresif mungkin,’’ ungkap pembalap Aprilia Aleix
Espargaro yang pernah membalap dengan GSX-RR pada 2015-2016.

Andrea Dovizioso menyebut, GSX-RR merupakan
anti-tesis dari Ducati Desmosedici. ’’Motor (Suzuki) itu sangat stabil. Dari
luar, terlihat begitu mudah dikendalikan dibandingkan dengan motor lainnya.
Bisa sangat konsisten sepanjang balapan. Jadi di bagian akhir balapan lomba
mereka bisa sangat kencang karena penggunaan bannya lebih sedikit (irit ban). So, mereka bisa menjaga kecepatannya sampai
akhir,’’ ucapnya.

Tetapi ternyata, surplus cengkeraman ban tidak
selamanya baik untuk performa motor MotoGP. Dan itulah jawaban dari pertanyaan;
mengapa rider-rider Suzuki baru bisa kencang di paro
kedua balapan, lalu lebih sangar lagi di bagian akhir lomba?

Baca Juga :  Meski Berat, Kesempatan dan Peluang Kalteng Putra Bertahan di Liga 1 M

Terlalu banyak grip di ban belakang mengakibatkan
ketidakseimbangan traksi dengan ban depan. Hal itu mengakibatkan kesulitan saat
akan masuk dan keluar tikungan.

Ketika memasuki tikungan dan cengkeraman ban
belakang masih terlalu kuat, maka keseimbangan motor berpindah terlalu jauh ke
bagian belakang motor. Jadi ban depan tidak bisa mencengkeram secara maksimal.
Alhasil, rider tidak bisa membelokkan motor dengan mudah.

Begitu juga saat keluar tikungan. Stabilitas motor
yang bergeser terlalu ke belakang, membuat ban depan hampir tidak menyentuh
aspal. Akibatnya, motor tidak mudah diarahkan karena roda depan mengalami
sedikit wheelie.

Di tengah balapan, seringkali terlihat rider-rider menggunakan teknik sliding saat akan melakukan pengereman. Mereka
melakukan late braking lalu
menahan roda belakang agar tetap stabil dengan harapan tidak kehilangan banyak
waktu di tikungan. Nah, teknik ini sulit dilakukan rider Suzuki
di awal-awal balapan. Karena daya cengkeram ban mereka terlalu kuat untuk
melakukan sliding.

Mereka baru bisa melakukannya ketika balapan sudah
memasuki paro kedua. Saat roda belakang sudah terkikis cukup banyak. Tak heran
bila Mir atau Alex Rins baru bisa bertarung habis-habisan di akhir-akhir
balapan.

Itu termasuk manuver bersejarahnya saat melibas
Valentino Rossi di tikungan terakhir GP San Marino. Dan hal ini sudah menjadi
pola dan ciri khas tersendiri bagi Mir yang sudah naik podium tiga kali
beruntun.

Surplus grip ban belakang ini sudah berefek buruk
pada sesi kualifikasi. Dengan ban yang baru rider-rider Suzuki
seringkali kesulitan mendapatkan kecepatan maksimal untuk urusan lap time.

’’Jadi kami sedang perlu menemukan solusi agar kami
bisa lebih baik pada awal-awal lomba,’’ kata kepala mekanik Mir, Frankie
Carchedi.

Meski belum pernah merengkuh kemenangan, dalam
situasi persaingan balapan yang tidak menentu seperti sekarang, Mir punya
peluang besar untuk keluar sebagai juara dunia.

Apalagi, untuk jadi juara di MotoGP 2020 tidak perlu
jumlah kemenangan lebih banyak. Tapi terus tampil konsisten di setiap lomba.
Dan seperti lagu New Kids on the
Block: 
hanya perlu “Step by Step” bagi Mir untuk menjadi
bintang terbesar MotoGP 2020.

Terpopuler

Artikel Terbaru