SUDAH beberapa hari lamanya Dejan Antonic mencari Elwizan Aminudin. Dia sangat membutuhkan tenaga kepala medis PSS Sleman itu. Sebab, tiga pemainnya tengah mengalami cedera. Pelatih PSS Sleman itu ingin memastikan apakah ketiganya bisa tampil atau tidak saat menghadapi PSIS Semarang dalam lanjutan Liga 1 di Stadion Manahan, Solo, hari ini.
”Tiba-tiba saya sudah dengar kabar ada isu seperti ini (dokter palsu),” kata pelatih asal Serbia itu kepada Jawa Pos kemarin (2/12).
Amin, sapaan akrab Elwizan Aminudin, diduga dokter gadungan. Selain diduga tidak memiliki surat tanda registrasi (STR), Amin tak terdaftar di Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDDikti), maupun Konsil Kedokteran Indonesia (KKI).
Saat ini Amin sudah tidak menjadi bagian klub berjuluk Super Elang Jawa tersebut. Pria kelahiran Kabupaten Bireuen, Aceh, itu secara resmi mengundurkan diri pada 1 Desember lalu. Hal tersebut diungkapkan Direktur Utama PSS Andy Wardhana Putra. ”Sebetulnya dia sudah tidak di tim mungkin 10 hari. Saat itu minta izin karena menjaga ibunya sedang sakit kritis,” jelas Andy saat dihubungi Jawa Pos Radar Jogja kemarin (2/12).
Yang pasti, Andy menyatakan bahwa manajemen PSS merasa tertipu dan kecolongan atas kejadian itu. ”Kalau benar terbukti dokter gadungan, ya jelas kami ketipu,” paparnya. ”Kami tahunya baru ini. Soal langkah ke depan, saya belum bisa jawab. Nanti deh,” tambah dia.
Jawa Pos berkali-kali mencoba menghubungi Amin. Kemarin siang nomor pribadinya tidak bisa ditelepon. Komunikasi lantas dialihkan melalui WhatsApp. Jawa Pos mengirim pesan singkat. Tapi, sampai berita ini ditulis, tidak ada jawaban sama sekali.
Jawa Pos juga sempat melakukan telepon melalui aplikasi WhatsApp kemarin. Nomor tersebut aktif, tapi empat panggilan Jawa Pos tidak dijawab. Tadi malam upaya menghubungi Amin masih dilakukan. Tapi, nomor seluler maupun WhatsApp sama-sama tidak aktif.
Jika benar dugaan Amin adalah dokter palsu, korbannya bukan cuma PSS. Berdasar CV (curriculum vitae) yang dilampirkan saat bekerja di PSS sejak Maret 2020, dia mengaku pernah bekerja di Persita Tangerang, Barito Putera, Bali United, Madura United, Sriwijaya FC, PS Tira, dan Kalteng Putra. Bahkan, dia juga pernah menjadi tim medis tim nasional (timnas) U-16 dan U-19.
Amin juga mengaku sebagai lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) pada 2000–2007. Kemudian, pada 2007–2010 melanjutkan keprofesian kedokteran di RS Zainal Abidin.
Tapi, seorang lulusan universitas yang sama dan dari angkatan yang sama pula mengaku tak mengenal dia. Sumber Jawa Pos yang meminta namanya dirahasiakan itu menyebut kawan-kawannya seangkatan yang tergabung juga demikian.
Andy mengaku sejak awal tak tahu-menahu soal perekrutan sang dokter tersebut. Hanya, kala itu yang menjadi salah satu pertimbangan adalah rekam jejak Amin di persepakbolaan tanah air. ”Rekrutmen itu saya kurang tahu karena dulu ada di bawah divisi football. Maksudnya, mungkin dulu kita lihat track record dokter Amin. Dokter, ya dokter tanda kutip,” terangnya.
Yang menjadi pertanyaan, apakah manajemen klub tidak melakukan kroscek terlebih dulu sebelum mendatangkan tenaga medis? Selain itu, bukankah di masa pandemi PT Liga Indonesia Baru (LIB) selaku operator kompetisi juga menggelar medical workshop menjelang kompetisi dimulai? ”Urusan dokter menjadi kewajiban klub untuk verifikasi tim medisnya. Jadi, ini bukan kecolongan sih dari kami,” kata Direktur Utama LIB Akhmad Hadian Lukita kepada Radar Jogja kemarin.
Dejan tidak berani membenarkan kabar dugaan Amin seorang dokter palsu. ”Ada banyak rumor. Saya tidak tahu apakah itu benar. Saya tidak mau komen, takut salah,” ujarnya.
Selain tiga pemain itu, ada penggawa PSS lain yang mengalami cedera parah. Mereka adalah Saddam Gaffar dan Rizza Fadilah. Kebetulan cederanya sama, yakni anterior cruciate ligament (ACL).
Sebelumnya, Amin memvonis musim dua pemain itu bisa berakhir lebih cepat. Sebab, keduanya mungkin baru bisa sembuh enam bulan ke depan.
Dihubungi terpisah, Ketua Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) dr Putu Moda Arsana menegaskan bahwa setiap dokter praktik di Indonesia harus memiliki surat tanda registrasi (STR). Surat tersebut diterbitkan KKI. Itu sudah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 83 Tahun 2019. ”Kalau nggak ada (STR), dianggap bukan dokter,” ucap Putu kemarin.
Tidak adanya STR itu merupakan suatu pelanggaran. Jika ada laporan dari masyarakat, dokter yang praktik tanpa STR itu bisa dijerat hukuman. Menurut Putu, hukumannya bisa pidana.
Sementara itu, Ketua IDI Sleman dr Djoko Hastaryo menyatakan belum menerima surat izin dari Elwizan Aminudin. Yang bersangkutan juga bukan anggota IDI Sleman. ”Mungkin dokter tersebut anggota IDI cabang lain,” katanya.
Meski demikian, Djoko menjelaskan, bila Amin merupakan dokter dari IDI wilayah lain, tetap harus ada izin kepada IDI Sleman selama praktik. Rekomendasi dari IDI tempat Amin terdaftar harus memberikan surat rekomendasi. Itu merupakan salah satu bentuk ”permisi”. ”Selanjutnya, IDI cabang membuat surat pengantar ke dinas kesehatan,” ungkapnya.
Sejauh ini, IDI Sleman belum memberikan rekomendasi maupun surat pengantar kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman. Surat itu penting untuk mendapatkan surat izin praktik (SIP).
Lebih lanjut, Djoko menjelaskan bahwa SIP itu harus dilengkapi berbagai syarat dan jenjang. Pertama, yang bersangkutan harus punya ijazah dokter dan uji kompetensi dokter untuk mendapatkan STR. STR itu menjadi salah satu syarat untuk mendapatkan kartu tanda anggota (KTA) yang diterbitkan PB IDI. Untuk mendapatkan surat rekomendasi memperoleh SIP, KTA menjadi syarat. ”SIP umumnya diterbitkan dinkes,” beber Djoko.
Di sisi lain, Ketua Umum PSSI Mochamad Iriawan tak ingin gegabah menanggapi kasus tersebut. Pihaknya ingin mempelajari lebih lanjut. Apalagi, dikabarkan Amin pernah menjadi dokter timnas U-16 dan U-19 pada 2014. ”Intinya, harus didalami dulu. Sekarang saya lagi di Singapura dengan timnas,” katanya. (Ilham Safutra,ard/gus/raf/rid/fiq/c19/ttg/jpc)