33.5 C
Jakarta
Saturday, April 20, 2024

Ogah Teken NPHD, Ketua Dewan Ingatkan Bawaslu

PALANGKAN RAYA-Polemik anggaran untuk pengawasan pemilihan kepala daerah
(pilkada) Kalteng 2020 mendatang tak kunjung rampung. Tenggang waktu yang
diberikan oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) kepada pemerintah daerah
(pemda), agar segera meneken naskah perjanjian hibah daerah (NPHD) sudah lewat,
yakni 14 Oktober lalu. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) ogah menandatangani anggaran
yang diberikan untuk mengawasi jalannya pesta demokrasi tahun depan.

Bawaslu Kalteng tetap
menyerahkan sepenuhnya permasalahan anggaran pilkada Kalteng kepada Bawaslu pusat.
Ketua Bawaslu Kalteng Satriadi menyebut, perihal tidak adanya kesepakatan
anggaran pengawasan pilkada untuk ad-hoc ini sudah disampaikan kepada
pemerintah pusat. Sebab, besaran honor untuk pengawas ad-hoc sudah ditetapkan
oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu), dan Bawaslu pusat meminta Bawaslu
se-Indonesia menerapkan keputusan itu.

“Usai teken
ketidaksepakatan anggaran bersama Pemprov Kalteng, kami sudah sampaikan kepada
pusat,” katanya saat dikonfirmasi, Rabu (23/10).

Sampai saat ini,
lanjutnya, Bawaslu RI masih tetap mengarahkan Bawaslu Kalteng untuk tetap bertahan
dengan dengan anggaran pada angka Rp95,4 miliar. Lantaran, ketetapan honor
pengawas ad-hoc sudah sesuai surat Kemenkeu RI.

Baca Juga :  Setelah Idham Keluar PKB, Giliran Rahmadi 'Lari' dari Kandang Banteng

“Karena ketentuan itu
dari pusat, maka ketentuan honor pengawas ad-hoc turun atau tidak, itu
keputusan dari pusat,” pungkasnya.

Melihat sikap Bawaslu
Kalteng yang tetap bersikukuh mempertahankan anggaran pada angka Rp95,4 miliar,
mendapat perhatian dari pimpinan DPRD Kalteng. Ketua DPRD Kalteng Wiyatno
mengingatkan kepada Bawaslu Kalteng untuk lebih memahami keterbatasan anggaran
daerah.

“Anggaran yang akan
dipergunakan untuk proses pemilihan kepala daerah di Kalteng tahun 2020
mendatang, itu menggunakan dana APBD,” kata Wiyatno kepada Kalteng Pos melalui
pesan WhatsApp, Rabu (23/10).

Selaku pimpinan dewan,
politikus Partai PDIP tersebut berharap agar pemilu harus dan tetap terlaksana
dengan baik. Pada sisi lain, pembangunan di daerah juga jangan sampai
terganggu.

Menyikapi tarik ulur
anggaran pengawasan pilkada ini, pengamat politik Kalteng Jhon Retei Alfri Sandi
menyebut, persoalaan mengenai anggaran pengawasan pilkada ini harus bisa segera
dituntaskan atau diselesaikan. Sebab, dalam pemberiaan anggaran untuk
pengawasan pilkada, pemerintah provinsi mengacu kondisi riil keuangan daerah.

Baca Juga :  PCR dan Penerapan Prokes Masih Sangat Penting

“Persoalan terkait
honor sesuai ketentuan Bawaslu RI, sebenarnya pada pelaksanaan pilkada harus disesuaikan
 dengan keuangan daerah, karena anggaran
yang digunakan adalah anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD),” kata Jhon
Retei Alfri Sandi.

Diungkapkannya, boleh
saja Bawaslu memiliki standar pengupahan untuk pengawas ad-hoc yang diterapkan
secara nasional. Akan tetapi, apabila kondisi keuangan daerah tertentu tidak
memenuhi, seharusnya Bawaslu menyesuaikan dengan kondisi itu.

“Bawaslu pusat tidak bisa memaksa, kecuali
Bawaslu pusat itu menyertakan pembiayaan melalui APBN. Jika maunya demikian,
bisa sharing dana dengan pusat. Jika Bawaslu ngotot, maka pertanyaannya apakah
kualitas pilkada dijamin dengan memberikan honor Rp2 juta itu,” ungkapnya. (abw/nue/ce/ala)

PALANGKAN RAYA-Polemik anggaran untuk pengawasan pemilihan kepala daerah
(pilkada) Kalteng 2020 mendatang tak kunjung rampung. Tenggang waktu yang
diberikan oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) kepada pemerintah daerah
(pemda), agar segera meneken naskah perjanjian hibah daerah (NPHD) sudah lewat,
yakni 14 Oktober lalu. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) ogah menandatangani anggaran
yang diberikan untuk mengawasi jalannya pesta demokrasi tahun depan.

Bawaslu Kalteng tetap
menyerahkan sepenuhnya permasalahan anggaran pilkada Kalteng kepada Bawaslu pusat.
Ketua Bawaslu Kalteng Satriadi menyebut, perihal tidak adanya kesepakatan
anggaran pengawasan pilkada untuk ad-hoc ini sudah disampaikan kepada
pemerintah pusat. Sebab, besaran honor untuk pengawas ad-hoc sudah ditetapkan
oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu), dan Bawaslu pusat meminta Bawaslu
se-Indonesia menerapkan keputusan itu.

“Usai teken
ketidaksepakatan anggaran bersama Pemprov Kalteng, kami sudah sampaikan kepada
pusat,” katanya saat dikonfirmasi, Rabu (23/10).

Sampai saat ini,
lanjutnya, Bawaslu RI masih tetap mengarahkan Bawaslu Kalteng untuk tetap bertahan
dengan dengan anggaran pada angka Rp95,4 miliar. Lantaran, ketetapan honor
pengawas ad-hoc sudah sesuai surat Kemenkeu RI.

Baca Juga :  Setelah Idham Keluar PKB, Giliran Rahmadi 'Lari' dari Kandang Banteng

“Karena ketentuan itu
dari pusat, maka ketentuan honor pengawas ad-hoc turun atau tidak, itu
keputusan dari pusat,” pungkasnya.

Melihat sikap Bawaslu
Kalteng yang tetap bersikukuh mempertahankan anggaran pada angka Rp95,4 miliar,
mendapat perhatian dari pimpinan DPRD Kalteng. Ketua DPRD Kalteng Wiyatno
mengingatkan kepada Bawaslu Kalteng untuk lebih memahami keterbatasan anggaran
daerah.

“Anggaran yang akan
dipergunakan untuk proses pemilihan kepala daerah di Kalteng tahun 2020
mendatang, itu menggunakan dana APBD,” kata Wiyatno kepada Kalteng Pos melalui
pesan WhatsApp, Rabu (23/10).

Selaku pimpinan dewan,
politikus Partai PDIP tersebut berharap agar pemilu harus dan tetap terlaksana
dengan baik. Pada sisi lain, pembangunan di daerah juga jangan sampai
terganggu.

Menyikapi tarik ulur
anggaran pengawasan pilkada ini, pengamat politik Kalteng Jhon Retei Alfri Sandi
menyebut, persoalaan mengenai anggaran pengawasan pilkada ini harus bisa segera
dituntaskan atau diselesaikan. Sebab, dalam pemberiaan anggaran untuk
pengawasan pilkada, pemerintah provinsi mengacu kondisi riil keuangan daerah.

Baca Juga :  PCR dan Penerapan Prokes Masih Sangat Penting

“Persoalan terkait
honor sesuai ketentuan Bawaslu RI, sebenarnya pada pelaksanaan pilkada harus disesuaikan
 dengan keuangan daerah, karena anggaran
yang digunakan adalah anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD),” kata Jhon
Retei Alfri Sandi.

Diungkapkannya, boleh
saja Bawaslu memiliki standar pengupahan untuk pengawas ad-hoc yang diterapkan
secara nasional. Akan tetapi, apabila kondisi keuangan daerah tertentu tidak
memenuhi, seharusnya Bawaslu menyesuaikan dengan kondisi itu.

“Bawaslu pusat tidak bisa memaksa, kecuali
Bawaslu pusat itu menyertakan pembiayaan melalui APBN. Jika maunya demikian,
bisa sharing dana dengan pusat. Jika Bawaslu ngotot, maka pertanyaannya apakah
kualitas pilkada dijamin dengan memberikan honor Rp2 juta itu,” ungkapnya. (abw/nue/ce/ala)

Terpopuler

Artikel Terbaru