26.3 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Anggota Komisi II DPR Minta Batalkan Pembahasan UU Pemilu

PROKALTENG.CO – UU Pemilu yang saat ini ada, dianggap masih relevan
dan bisa dijadikan dasar untuk pesta demokrasi selanjutnya. Masa pandemi yang
belum usai, menjadi alasan agar RUU Pemilu yang tengah dibahas di Baleg tidak
dilanjutkan.

Anggota Komisi II DPR RI Guspardi
Gaus meminta untuk menunda atau membatalkan pembahasan perubahan terhadap UU
Kepemiluan. Hal ini meliputi Undang-Undang Pemilihan Presiden, Pemilihan
Legislatif dan Pemilihan Kepala Daerah.

Guspardi beranggapan saat ini, masih
dalam kondisi pandemi Covid-19, sangat dibatasi pertemuan secara fisik dan
lebih banyak dalam bentuk virtual sehingga tidak efektif melakukan berbagai
pembahasan Undang-Undang.

Gagasan ini disampaikan Guspardi
setelah menghadiri dan melakukan diskusi terbatas dengan tokoh, pemerhati dan
elemen masyarakat.

“Lebih elok rasanya saat ini kita
memikirkan bagaimana mengatasi pandemi dan dampak ekonominya, hingga
meningkatkan edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya kedisiplinan guna
mencegah Covid-19, ketimbang kita merubah lagi UU Pemilu ini,” papar Guspardi
Sabtu (23/1).

Berdasarkan laporan dari Gugus
Tugas, pandemi Covid-19 makin parah terutama dikawasan pulau Jawa dan Bali,
sehingga pemerintah kembali memperpanjang Penerapan Pembatasan Kegiatan Masyarakat
(PPKM).

Baca Juga :  Eks Kepala Relawan TKN Jokowi 2019 Tolak Ide Presiden Tiga Periode

Melihat dan mengamati kondisi
pandemi covid19 yang makin rawan dan parah tentu akan lebih baik energi
ditumpahkan untuk bagaimana agar masyarakat terhindar dari wabah yang sudah
hampir satu tahun melanda negara.

“Jadi lebih baik fokus pada
penanganan pandemi Covid-19 dan mengutamakan keselamatan masyarakat,” tutur
Guspardi.

Sebelumnya, Badan Legislasi
(Baleg) DPR RI juga menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum dengan beberapa pakar
terkait pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum (RUU Pemilu).

Dalam rapat tersebut, Anggota
Baleg DPR RI Bukhori menyampaikan, lembaga legislatif ini terus berupaya
mengukuhkan Pemilu sebagai pendorong kemajuan demokrasi.

“Kami dorong Pemilu yang dapat
menghadirkan demokrasi yang substantif. Bahwa Pemilu tidak hanya berdasarkan
kekuasaan dan uang, jangan sampai itu jadi panglimanya. Pemilu yang bersih dan
murah, itu yang harus dipikirkan bagaimana mencapainya,” sebut Bukhori.

Anggota Komisi VIII DPR RI ini
juga menyoroti karakter masyarakat yang merupakan peserta Pemilu masih belum
dapat berpikir dengan jernih. Beberapa masih mudah terprovokasi dengan uang dan
iming-iming calon kepala daerah atau wakil rakyat.

Baca Juga :  Airlangga: Evaluasi dan Monitoring Jadi Dasar Pembukaan Bertahap PPKM

Sehingga UU yang mengatur Pemilu
nantinya harus dapat mengatasi problem tersebut. Terkait adanya politik uang
juga menjadi sorotan Anggota Baleg DPR RI Nurul Arifin.

“Soalnya sistem pemilu
(proporsional) terbuka menghasilkan defisit dalam demokrasi, tak jarang suara
yang diperoleh berasal dari modal yang tinggi. Pada akhirnya ada kapitalisasi
suara dalam pemilihan,” ungkap Nurul.

Selain itu, Anggota Komisi I DPR
RI tersebut juga menyuarakan dukungannya untuk memperkuat afirmasi keterwakilan
perempuan di parlemen dalam RUU Pemilu. “Kuota 30 persen (keterwakilan
perempuan) harus dijaga. Insya Allah di partai akan setuju, sebab harus diakui
dalam politik bahwa tidak ada demokrasi tanpa kehadiran perempuan,” tegasnya.

Adapun politisi Partai Golkar itu
turut menyoroti peran penyelenggara dan pengawas Pemilu. Terkait Bawaslu
misalnya, ia menilai keberadaan lembaga tersebut over power. Sering kali di
beberapa kasus di tingkat Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), lembaga itu
membatalkan pencalonan bahkan pemenangan calon kepala daerah.

PROKALTENG.CO – UU Pemilu yang saat ini ada, dianggap masih relevan
dan bisa dijadikan dasar untuk pesta demokrasi selanjutnya. Masa pandemi yang
belum usai, menjadi alasan agar RUU Pemilu yang tengah dibahas di Baleg tidak
dilanjutkan.

Anggota Komisi II DPR RI Guspardi
Gaus meminta untuk menunda atau membatalkan pembahasan perubahan terhadap UU
Kepemiluan. Hal ini meliputi Undang-Undang Pemilihan Presiden, Pemilihan
Legislatif dan Pemilihan Kepala Daerah.

Guspardi beranggapan saat ini, masih
dalam kondisi pandemi Covid-19, sangat dibatasi pertemuan secara fisik dan
lebih banyak dalam bentuk virtual sehingga tidak efektif melakukan berbagai
pembahasan Undang-Undang.

Gagasan ini disampaikan Guspardi
setelah menghadiri dan melakukan diskusi terbatas dengan tokoh, pemerhati dan
elemen masyarakat.

“Lebih elok rasanya saat ini kita
memikirkan bagaimana mengatasi pandemi dan dampak ekonominya, hingga
meningkatkan edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya kedisiplinan guna
mencegah Covid-19, ketimbang kita merubah lagi UU Pemilu ini,” papar Guspardi
Sabtu (23/1).

Berdasarkan laporan dari Gugus
Tugas, pandemi Covid-19 makin parah terutama dikawasan pulau Jawa dan Bali,
sehingga pemerintah kembali memperpanjang Penerapan Pembatasan Kegiatan Masyarakat
(PPKM).

Baca Juga :  Eks Kepala Relawan TKN Jokowi 2019 Tolak Ide Presiden Tiga Periode

Melihat dan mengamati kondisi
pandemi covid19 yang makin rawan dan parah tentu akan lebih baik energi
ditumpahkan untuk bagaimana agar masyarakat terhindar dari wabah yang sudah
hampir satu tahun melanda negara.

“Jadi lebih baik fokus pada
penanganan pandemi Covid-19 dan mengutamakan keselamatan masyarakat,” tutur
Guspardi.

Sebelumnya, Badan Legislasi
(Baleg) DPR RI juga menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum dengan beberapa pakar
terkait pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum (RUU Pemilu).

Dalam rapat tersebut, Anggota
Baleg DPR RI Bukhori menyampaikan, lembaga legislatif ini terus berupaya
mengukuhkan Pemilu sebagai pendorong kemajuan demokrasi.

“Kami dorong Pemilu yang dapat
menghadirkan demokrasi yang substantif. Bahwa Pemilu tidak hanya berdasarkan
kekuasaan dan uang, jangan sampai itu jadi panglimanya. Pemilu yang bersih dan
murah, itu yang harus dipikirkan bagaimana mencapainya,” sebut Bukhori.

Anggota Komisi VIII DPR RI ini
juga menyoroti karakter masyarakat yang merupakan peserta Pemilu masih belum
dapat berpikir dengan jernih. Beberapa masih mudah terprovokasi dengan uang dan
iming-iming calon kepala daerah atau wakil rakyat.

Baca Juga :  Airlangga: Evaluasi dan Monitoring Jadi Dasar Pembukaan Bertahap PPKM

Sehingga UU yang mengatur Pemilu
nantinya harus dapat mengatasi problem tersebut. Terkait adanya politik uang
juga menjadi sorotan Anggota Baleg DPR RI Nurul Arifin.

“Soalnya sistem pemilu
(proporsional) terbuka menghasilkan defisit dalam demokrasi, tak jarang suara
yang diperoleh berasal dari modal yang tinggi. Pada akhirnya ada kapitalisasi
suara dalam pemilihan,” ungkap Nurul.

Selain itu, Anggota Komisi I DPR
RI tersebut juga menyuarakan dukungannya untuk memperkuat afirmasi keterwakilan
perempuan di parlemen dalam RUU Pemilu. “Kuota 30 persen (keterwakilan
perempuan) harus dijaga. Insya Allah di partai akan setuju, sebab harus diakui
dalam politik bahwa tidak ada demokrasi tanpa kehadiran perempuan,” tegasnya.

Adapun politisi Partai Golkar itu
turut menyoroti peran penyelenggara dan pengawas Pemilu. Terkait Bawaslu
misalnya, ia menilai keberadaan lembaga tersebut over power. Sering kali di
beberapa kasus di tingkat Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), lembaga itu
membatalkan pencalonan bahkan pemenangan calon kepala daerah.

Terpopuler

Artikel Terbaru