26.6 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Terima Jadi Ketum Demokrat, Moeldoko Disebut Lakukan Blunder Politik

PROKALTENG.CO-Akademisi dari
Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT),
Mikhael Raja Muda Bataona mengatakan Moeldoko seharusnya menolak tawaran
sebagai Ketua Umum Partai Demokrat hasil Kongres Luar Biasa (KLB) Deli Serdang.
Dan, Moeldoko harusnya membiarkan opsi win win solution di antara para kader
yang dipecat dengan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY).

“Dari
sana, mungkin Moeldoko akan dipandang sebagai simbol pemersatu yang di kemudian
hari bisa saja masuk dalam jajaran tokoh di internal Demokrat kemudian menjadi
Ketua Umum dengan cara yang fair dan demokratis,” kata pengajar investigatif
news dan jurnalisme konflik pada Fisip Unwira Kupang, di Kupang, Sabtu (6/3).

Menurut
Mikhael, dengan melakukan blunder politik seperti ini, Moeldoko secara langsung
telah menyeret Kabinet Jokowi ke dalam kisruh Partai Demokrat. Bahkan stigma
buruk masyarakat akan makin kuat menyebut ini sebagai skenario penguasa.

Padahal friksi internal Demokrat, meski tanpa variabel Jokowi
dan kekuasaan pun memang sudah ada potensinya. Seperti diketahui, sejarah
partai Demokrat sejak era Anas Urbaningrum memang sudah penuh faksi dan friksi.
Hanya saja selama ini tidak pernah ter-publish dan diwacanakan secara
besar-besaran seperti saat ini.

Baca Juga :  Tjahjo Gantikan Yasonna, Darmin Isi Jabatan Puan

Moeldoko
disebutnya harusnya paham bahwa intergitasnya sebagai tokoh diukur dari
tindakannya saat ini. Dengan menjadi Ketua Umum Partai Demokrat hasil KLB,
Moeldoko sudah pasti disebut tidak bermoral, sebab meski tidak tertulis tetapi
moralitas dipahami dan dihayati oleh semua politisi sebagai sesuatu yang mahal
dan mulia.

Karena mahal dan mulia, moralitas itulah yang mengikat semua
politisi yang ingin dikenang sebagai negarawan. Moeldoko rupanya lupa bahwa
moralitas adalah hukum yang “given dan non negotiable” dalam politik. Dalam
moralitas inilah akan tampak dimensi-dimensi metafisis yang tidak bisa
terkatakan tetapi hanya bisa dirasakan ketika seorang politisi melakukan
sesuatu yang dilandasi oleh sikap kesatria dan jiwa besar.

Baca Juga :  Serius Maju di Pilgub Kalteng, Ir Kepas Rangkai Jadi Sosok Alternatif

“Dengan
melakukan itu, maka yang akan tampak di sana adalah kehormatan,” tambah
Mikhael.

Artinya dalam kasus KLB Demokrat ini, tokoh sekaliber Moeldoko
sedang kehilangan kehormatannya di mata publik karena wacana dominan yang ada
di ruang publik saat ini adalah tentang moralitas politik. “Jadi menurut saya,
apa yang dilakukan Moeldoko adalah ekspresi amoralitas politik. Mengapa amoral
secara politik? Karena dalam politik yang paling brutal sekalipun, ada
batasannya, yaitu moralitas,” katanya.

“Moralitas adalah sesuatu yang non-negotiable atau sesuatu yang
tidak bisa dikompromikan. Anda boleh menyerang lawan politik Anda dan
mengalahkannya, tapi batasannya adalah moral,” katanya.

Artinya, selama Moeldoko terlibat dalam kisruh ini karena dibawa
serta oleh gerbong Jhoni Allen Marbun dan kawan-kawan yang dipecat AHY, sebagai
hal yang wajar. Tetapi menerima posisi sebagai Ketua Umum hasil KLB disebutnya
sesuatu yang tidak bermoral dan tidak berkelas sebagai seorang gentleman.

PROKALTENG.CO-Akademisi dari
Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT),
Mikhael Raja Muda Bataona mengatakan Moeldoko seharusnya menolak tawaran
sebagai Ketua Umum Partai Demokrat hasil Kongres Luar Biasa (KLB) Deli Serdang.
Dan, Moeldoko harusnya membiarkan opsi win win solution di antara para kader
yang dipecat dengan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY).

“Dari
sana, mungkin Moeldoko akan dipandang sebagai simbol pemersatu yang di kemudian
hari bisa saja masuk dalam jajaran tokoh di internal Demokrat kemudian menjadi
Ketua Umum dengan cara yang fair dan demokratis,” kata pengajar investigatif
news dan jurnalisme konflik pada Fisip Unwira Kupang, di Kupang, Sabtu (6/3).

Menurut
Mikhael, dengan melakukan blunder politik seperti ini, Moeldoko secara langsung
telah menyeret Kabinet Jokowi ke dalam kisruh Partai Demokrat. Bahkan stigma
buruk masyarakat akan makin kuat menyebut ini sebagai skenario penguasa.

Padahal friksi internal Demokrat, meski tanpa variabel Jokowi
dan kekuasaan pun memang sudah ada potensinya. Seperti diketahui, sejarah
partai Demokrat sejak era Anas Urbaningrum memang sudah penuh faksi dan friksi.
Hanya saja selama ini tidak pernah ter-publish dan diwacanakan secara
besar-besaran seperti saat ini.

Baca Juga :  Tjahjo Gantikan Yasonna, Darmin Isi Jabatan Puan

Moeldoko
disebutnya harusnya paham bahwa intergitasnya sebagai tokoh diukur dari
tindakannya saat ini. Dengan menjadi Ketua Umum Partai Demokrat hasil KLB,
Moeldoko sudah pasti disebut tidak bermoral, sebab meski tidak tertulis tetapi
moralitas dipahami dan dihayati oleh semua politisi sebagai sesuatu yang mahal
dan mulia.

Karena mahal dan mulia, moralitas itulah yang mengikat semua
politisi yang ingin dikenang sebagai negarawan. Moeldoko rupanya lupa bahwa
moralitas adalah hukum yang “given dan non negotiable” dalam politik. Dalam
moralitas inilah akan tampak dimensi-dimensi metafisis yang tidak bisa
terkatakan tetapi hanya bisa dirasakan ketika seorang politisi melakukan
sesuatu yang dilandasi oleh sikap kesatria dan jiwa besar.

Baca Juga :  Serius Maju di Pilgub Kalteng, Ir Kepas Rangkai Jadi Sosok Alternatif

“Dengan
melakukan itu, maka yang akan tampak di sana adalah kehormatan,” tambah
Mikhael.

Artinya dalam kasus KLB Demokrat ini, tokoh sekaliber Moeldoko
sedang kehilangan kehormatannya di mata publik karena wacana dominan yang ada
di ruang publik saat ini adalah tentang moralitas politik. “Jadi menurut saya,
apa yang dilakukan Moeldoko adalah ekspresi amoralitas politik. Mengapa amoral
secara politik? Karena dalam politik yang paling brutal sekalipun, ada
batasannya, yaitu moralitas,” katanya.

“Moralitas adalah sesuatu yang non-negotiable atau sesuatu yang
tidak bisa dikompromikan. Anda boleh menyerang lawan politik Anda dan
mengalahkannya, tapi batasannya adalah moral,” katanya.

Artinya, selama Moeldoko terlibat dalam kisruh ini karena dibawa
serta oleh gerbong Jhoni Allen Marbun dan kawan-kawan yang dipecat AHY, sebagai
hal yang wajar. Tetapi menerima posisi sebagai Ketua Umum hasil KLB disebutnya
sesuatu yang tidak bermoral dan tidak berkelas sebagai seorang gentleman.

Terpopuler

Artikel Terbaru