JAKARTA – Ada berbegai pertimbangan dan alasan mengapa Komisi
Pemilihan Umum (KPU) RI ngotot melarang koruptor untuk mencalonkan diri. Salah
satunya memberi efek jera dan memberikan contoh kepada seluruh kepala daerah
untuk bekerja sesuai garis yang berlaku.
Ketua KPU RI, Arief Budiman
mengatakan KPU tidak ingin terpidana yang melakukan tindak pidana korupsi,
terpilih lagi menjadi kepala daerah sehingga ia melakukan tindak pidana korupsi
lagi.
â€Kepala daerah tidak bisa
menjalankan amanat karena mesti menjalani proses peradilan. Ini yang kita
enggak mau. Saya pikir karena banyak yang melihat itu, seharusnya saran ini bisa
diterima,†terang Arief ketika ditemui usai rapat dengan Komisi II Gedung
MPR/DPR/DPD Jakarta, kemarin (4/11).
Arief mengatakan boleh saja orang
bilang untuk menyerahkan saja kepada pemilih. Toh, pemilih nanti akan memilih
yang terbaik. â€Tapi faktanya, ada calon kepala daerah yang sudah ditangkap,
ditahan, dan dia tidak akan bisa menggunakan hak pilih tapi dia menang Pemilu,â€
jelasnya.
Akhirnya, orang tersebut tidak
bisa memimpin karena dirinya harus menjalani proses peradilan. Sehingga
ditunjuk orang lain yang memimpin daerah tersebut. “Jelas ya mas, itu fakta.
Menyerahkan kepada masyarakat (akibatnya) seperti itu,†ujar Arief.
Dalam kesempatan tersebut, Arief
juga menyampaikan ada 40 isu strategis yang diusulkan KPU. â€Dari 40 isu yang
ada dalam rancangan perubahan peraturan KPU (PKPU) Nomor 3/2017 di dalamnya
terkait teknis verifikasi, dan jadwal verifikasi terutama untuk dukungan calon
perseorangan,†jelasnya.
Pengamat Hukum dan Tata Negara
Yusdiyanto Alam mengatakan KPU menggulirakan wacana larangan mantan narapidana
korupsi mencalonkan diri di Pilkada 2020 jelas bukan tanpa alasan. Pemicunya
banyak dan berimplikasi pada gelagat yang tidak beres ketika pemimpin mantan
napi korupsi tetap bisa melenggang dalam pencalonan.
â€Sudah bagus. Dan memang harus
dibatasi. Ke depan ini akan menjadi peringatan agar kepala daerah jangan
main-main terhadap posisi, kedudukan dan kewenangannya,†terangnya kepada Fajar
Indonesia Network (FIN).
Yusdiyanto mengambil conyoh
ditetapkannya Bupati Kudus Muhammad Tamzil sebagai tersangka korupsi. Status
tersangka yang disandangnya akhir pekan lalu berkaitan dengan dugaan suap dan
gratifikasi jual beli jabatan.
â€Sebelumnya dia terpilih menjadi
bupati untuk kedua kalinya, Tamzil mendekam di penjara atas kasus yang sama.
Nah, berkaca dari kasus itu, KPU merasa perlu melarang eks koruptor maju
sebagai calon kepala daerah. Tujuan akhirnya, supaya rakyat tak salah pilih
atas pemimpin mereka,†terang dosen Hukum di Universitas Lampung itu, kemarin
(4/11).
Sebenarnya, sambung Yusdiyanto,
wacana larangan ini bukan hal baru. â€Ada tap MPR tentang penyelenggara negara
yang bebas Korupsi Kolusi dan Nepotisme tahun 1998. Dari sini saja kita sudah
bisa menegaskan, bahwa pemimpin tegas dilarang KKN. Apalagi sudah inkrah. Wajar
jika beberapa politisi, hak politiknya pun dicabut,†tandasnya.
Jelang Pemilu Serentak 2019 lalu,
sambung dia, KPU pernah membuat aturan yang melarang mantan napi korupsi maju
sebagai calon legislatif. Hal ini dituangkan dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor
20 Tahun 2018. PKPU ini menuai polemik lantaran dianggap menyimpang dari
Undang-undang Pemilu.
â€Kalau dicermati lebih jauh, UU
Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 sama sekali tidak memuat larangan eks koruptor
nyaleg. Aturan ini dianggap merugikan sebagian pihak. Sebab, mereka tak bisa
maju di Pemilu 2019 karena tak diloloskan KPU sebagai caleg. Sebagian dari
mereka menggugat ke Bawaslu. Oleh Bawaslu, para eks koruptor ini justru
dinyatakan lolos sebagai caleg.
Lalu Bawaslu berpedoman pada UU
Nomor 7 Tahun 2017 yang tak mengatur larangan eks koruptor nyaleg. Sementara
KPU berpedoman pada PKPU Nomor 20 Tahun 2018 yang sah secara hukum. Dua putusan
penyelenggara pemilu yang berbeda ini sempat menimbulkan ketidakpastian hukum.
Nah di saat bersamaan, sebagian
pihak yang merasa dirugikan juga menggugat putusan KPU ke Agung (MA). MA
mengabulkan gugatan tersebut dan meminta KPU untuk menghapus larangan eks
koruptor nyaleg. â€KPU lantas membatalkan larangan tersebut. Dengan kata lain,
mantan napi korupsi boleh mencalonkan diri lagi. Akhirnya, ada 81 eks koruptor
yang maju berkontestasi di Pemilu 2019,†urai Yusdiyanto.
Revisi Undang-Undang Pilkada,
lanjut dia paling ideal sebenarnya. Revisi UU Pilkada diperlukan lantaran PKPU
saja tak cukup kuat untuk memberlakukan aturan itu. Dikhawatirkan, jika aturan
ini hanya dimuat di PKPU, akan ada pihak yang tak terima dan kembali menggugat
di MA sebagaimana yang terjadi pada PKPU Nomor 20 Tahun 2018.
Namun, sekalipun nantinya aturan
ini hanya dicantumkan dalam PKPU, setidaknya ada dukungan dari DPR, pemerintah,
dan partai politik. â€Jika seluruh parpol setuju soal larangan caleg eks
koruptor maju sebagai peserta pemilu, saya yakin, tidak ada satupun. peserta
pemilu yang berstatus eks koruptor,†tegasnya.
Alternatif lain bisa dilakukan
oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). â€Keputusan pengadilan secara
jelas memberi hukuman ke terdakwa korupsi dengan mencabut hak politik mereka
seumur hidup. Dengan begitu, mantan napi korupsi tidak akan punya kesempatan
lagi untuk terjun ke politik. Artinya ini, saling menguatkan,†ungkapnya.
Terpisah, Pakar Hukum Tata Negara
Feri Amsari mengatakan, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu)
bisa dijadikan salah satu alternatif untuk membuat aturan yang melarang mantan
narapidana korupsi mencalonkan diri di Pilkada 2020.
Perppu dinilai bisa menjadi
payung hukum yang kuat yang menyelesaikan persoalan pencalonan eks koruptor di
kontestasi politik. “Pilihannya adalah meminta Presiden mengeluarkan Perppu
karena kegentingan yang memaksa karena daerah sedang dijangkiti kepala daerah
yang berasal dari koruptor,†kata Feri.
Ditambahkannya, dirinya setuju
dengan gagasan KPU menggulirkan kembali wacana pelarangan eks koruptor
mencalonkan diri sebagai peserta pemilu. Tetapi, menurut dia, KPU harus
didukung oleh pihak-pihak terkait Bawaslu.
â€Penyelenggara pemilu itu tidak
boleh lagi silang pendapat, supaya wacana ini tidak berakhir sama dengan
Peraturan KPU (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018. Untuk itu KPU perlu betul bekerja
sama dengan KPK untuk meyakinkan Bawaslu,†ujar Direktur Pusat Studi Konstitusi
(PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas itu.
Anggota DPR Ahmad Riza Patria
menyambut baik wacana KPU untuk melarang eks koruptor mencalonkan diri sebagai
kandidat dalam Pilkada 2020. “Kami juga di DPR sepakat bahwa hal-hal seperti
itu dalam rangka pemberantasan korupsi dan sebagainya. Kita tidak ragu dan kita
mendukung segala bentuk pemberantasan korupsi,†kata Riza.
Politisi Gerindar itu mengatakan,
dalam Undang-undang Pilkada, diatur bahwa mantan narapidana korupsi boleh
mengikuti pilkada. Nah, jika KPU ingin mantan koruptor tidak bisa mengikuti
pilkada, UU Pilkada harus direvisi. “KPU minta ke pemerintah, dan ke DPR untuk
merevisi UU pilkada,†ujar seraya menegaskan KPU bisa meminta kepada Presiden
Joko Widodo untuk mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang
(Perpu) tentang larangan mantan koruptor mengikuti Pilkada. (fin/ful/kpc)