33.2 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Soal Amandemen UUD 1945, Demokrat Keluarkan Tiga Sikap Politik

Partai Demokrat
mengeluarkan tiga pernyataan sikap mengenai polemik amandemen UUD 1945. Dari
mulai soal penambahan masa jabatan presiden hingga kepala negara dipilih oleh
MPR.

Sekretaris Jenderal
(Sekjen) Partai Demokrat Hinca Pandjaitan mengatakan, partainya meyakini
demokrasi yang ada saat ini adalah jalan terbaik. Termasuk pemilihan presiden
dan pilkada langsung, karena publik bisa terlibat.

Hinca juga menegaskan,
Partai Demokrat berikrar untuk selalu setia menghormati dan membela kedaulatan
rakyat. Karena itu bukanlah pemberian negara yang bisa sewaktu-waktu dicabut
oleh suatu pemerintahan.

“Hak-hak kedaulatan
rakyat yang telah diakui dan dijamin konstitusi justru menimbulkan kewajiban
pada negara untuk melindungi dan memenuhinya,” ujar Hinca dalam keterangan
tertulis yang diterima JawaPos.com, Senin (2/11).

Karena itu, lanjut
Hinca, Partai Demokrat mengeluarkan tiga poin sikap resmi. Pertama adalah
menolak pemilihan presiden oleh MPR. Karena hal tersebut mempakan pengkhianatan
terhadap kehendak rakyat yang ingin memilih langsung presidennya.

“Pemilihan presiden
oleh MPR jelas merupakan kemunduran demokrasi dan melukai serta menyakiti
rakyat,” paparnya.

Baca Juga :  Jadikan Momentum Mendapatkan Pemimpin Berkualitas Melawan Pandemi Covi

Hinca juga menegaskan,
pilpres secara Iangsung oleh rakyat itu adalah konsensus bangsa untuk tidak
mengulangi lagi sejarah kelam kehidupan bangsa dan negara pada masa lalu.

Kedua, Partai Demokrat ‎menolak pemillhan
kepala daerah (Pilkada) baik pemlihan bupati, wali kota secara tidak langsung
oleh DPRD. Karena masyarakat di daerah juga memiliki hak untuk memilih secara
Iangsung pemimpin di daerahnya. Termasuk ikut serta menentukan dan merencanakan
masa depan daerahnya.

Ketiga, Partai Demokrat menolak perpanjangan masa
jabatan kepala negara menjadi tiga periode. Hinca mengatakan, belajar dari
pengalaman sejarah bangsa Indonesia, dua kali mesa jabatan Presiden adalah yang
paling tepat dan dinilai cukup. Hal ini juga berlaku di banyak negara demokrasi
lainnya di dunia.

“Kekuasaan Presiden
yang terlalu lama di tangan satu orang cenderung untuk disalahgunakan (abuse of
power),” pungkasnya.

Sekadar informasi,
Fraksi Nasdem adalah parpol yang pertama kali mengusulkan penambahan jabatan
Presiden Indonesia menjadi tiga periode. Padahal saat ini hanya dibatasi dua
periode.

Baca Juga :  Muchdi PR Targetkan 7 Persen Suara Nasional di Pemilu 2024

Sementara, Ketua
DPP ‎PSI Tsamara Amany mengusulkan, tujuh tahun masa Presiden Indonesia.
Berikut juga jabatan itu hanyalah satu periode. Sehingga tidak ada lagi jabatan
dua periode.

Menurut Tsamara‎, jika
Presiden Indonesia jabatannya tujuh tahun, maka akan fokus bekerja
maksimal mungkin. Termasuk juga fokus bekerja untuk rakyat Indonesia dan tak
memikirkan pemilu berikutnya.‎

Kemudian tak berselang
lama, Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj mengeluarkan sikapnya yang mengusulkan
supaya pemilihan presiden dikembalikan lewat MPR seperti era Orde Baru silam.

Said mengatakan,
keputusan tersebut berdasarkan pada musyawarah nasional (munas) Nahdlatul Ulama
2012 silam di Cirebon. Sehingga PBNU mengusulkan pemilihan presiden
dikembalikan ke MPR. Bukan lagi mekanisme pemilihan langsung seper‎ti yang
dilakukan saat ini.

Said mengatakan,
usulan itu bukan tanpa alasan. Melaikan para kiai telah melihat dampak negatif
dan positif. Nah, kebetulan lebih banyak negatifnya. Misalnya saja dengan
berbiaya besar. Misalnya masalah biaya yang sangat besar untuk dikeluarkan.(jpc)

 

Partai Demokrat
mengeluarkan tiga pernyataan sikap mengenai polemik amandemen UUD 1945. Dari
mulai soal penambahan masa jabatan presiden hingga kepala negara dipilih oleh
MPR.

Sekretaris Jenderal
(Sekjen) Partai Demokrat Hinca Pandjaitan mengatakan, partainya meyakini
demokrasi yang ada saat ini adalah jalan terbaik. Termasuk pemilihan presiden
dan pilkada langsung, karena publik bisa terlibat.

Hinca juga menegaskan,
Partai Demokrat berikrar untuk selalu setia menghormati dan membela kedaulatan
rakyat. Karena itu bukanlah pemberian negara yang bisa sewaktu-waktu dicabut
oleh suatu pemerintahan.

“Hak-hak kedaulatan
rakyat yang telah diakui dan dijamin konstitusi justru menimbulkan kewajiban
pada negara untuk melindungi dan memenuhinya,” ujar Hinca dalam keterangan
tertulis yang diterima JawaPos.com, Senin (2/11).

Karena itu, lanjut
Hinca, Partai Demokrat mengeluarkan tiga poin sikap resmi. Pertama adalah
menolak pemilihan presiden oleh MPR. Karena hal tersebut mempakan pengkhianatan
terhadap kehendak rakyat yang ingin memilih langsung presidennya.

“Pemilihan presiden
oleh MPR jelas merupakan kemunduran demokrasi dan melukai serta menyakiti
rakyat,” paparnya.

Baca Juga :  Jadikan Momentum Mendapatkan Pemimpin Berkualitas Melawan Pandemi Covi

Hinca juga menegaskan,
pilpres secara Iangsung oleh rakyat itu adalah konsensus bangsa untuk tidak
mengulangi lagi sejarah kelam kehidupan bangsa dan negara pada masa lalu.

Kedua, Partai Demokrat ‎menolak pemillhan
kepala daerah (Pilkada) baik pemlihan bupati, wali kota secara tidak langsung
oleh DPRD. Karena masyarakat di daerah juga memiliki hak untuk memilih secara
Iangsung pemimpin di daerahnya. Termasuk ikut serta menentukan dan merencanakan
masa depan daerahnya.

Ketiga, Partai Demokrat menolak perpanjangan masa
jabatan kepala negara menjadi tiga periode. Hinca mengatakan, belajar dari
pengalaman sejarah bangsa Indonesia, dua kali mesa jabatan Presiden adalah yang
paling tepat dan dinilai cukup. Hal ini juga berlaku di banyak negara demokrasi
lainnya di dunia.

“Kekuasaan Presiden
yang terlalu lama di tangan satu orang cenderung untuk disalahgunakan (abuse of
power),” pungkasnya.

Sekadar informasi,
Fraksi Nasdem adalah parpol yang pertama kali mengusulkan penambahan jabatan
Presiden Indonesia menjadi tiga periode. Padahal saat ini hanya dibatasi dua
periode.

Baca Juga :  Muchdi PR Targetkan 7 Persen Suara Nasional di Pemilu 2024

Sementara, Ketua
DPP ‎PSI Tsamara Amany mengusulkan, tujuh tahun masa Presiden Indonesia.
Berikut juga jabatan itu hanyalah satu periode. Sehingga tidak ada lagi jabatan
dua periode.

Menurut Tsamara‎, jika
Presiden Indonesia jabatannya tujuh tahun, maka akan fokus bekerja
maksimal mungkin. Termasuk juga fokus bekerja untuk rakyat Indonesia dan tak
memikirkan pemilu berikutnya.‎

Kemudian tak berselang
lama, Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj mengeluarkan sikapnya yang mengusulkan
supaya pemilihan presiden dikembalikan lewat MPR seperti era Orde Baru silam.

Said mengatakan,
keputusan tersebut berdasarkan pada musyawarah nasional (munas) Nahdlatul Ulama
2012 silam di Cirebon. Sehingga PBNU mengusulkan pemilihan presiden
dikembalikan ke MPR. Bukan lagi mekanisme pemilihan langsung seper‎ti yang
dilakukan saat ini.

Said mengatakan,
usulan itu bukan tanpa alasan. Melaikan para kiai telah melihat dampak negatif
dan positif. Nah, kebetulan lebih banyak negatifnya. Misalnya saja dengan
berbiaya besar. Misalnya masalah biaya yang sangat besar untuk dikeluarkan.(jpc)

 

Terpopuler

Artikel Terbaru