27.3 C
Jakarta
Friday, April 19, 2024

Nah Lho, BPS dan Menteri Keuangan Beberkan Fakta Berlawanan

JAKARTA – Secara mengejutkan Badan Pusat Statistik (BPS)
mengeluarkan pernyataan yang membuat Menkeu Sri Mulyani sakit kepala. BPS
memprediksi ekonomi Indonesia akan suram
di 2020 karena berbagai faktor.

Kepala Badan Pusat Statistik
(BPS) Suhariyanto mengungkapkan penyebabnya,
antara lain karena perang dagang, ekonomi global, dan dari sektor pertambangan
seperti batubara yang merosot hingga 45 persen.

Pernyataan Suhariyanto ini bertolak
belakang dengan optimisme yang kerap disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani,
bahwa ekonomi bakal melesat.

Menyikapi hal tersebut, pengamat
politik dari Universitas Al Azhar Ujang Komarudin menyebut bahwa rakyat akan
lebih percaya pada data BPS. Sebab, BPS merupakan badan resmi pusat data di
Indonesia dan tidak memiliki pretensi apapun dalam menyampaikan data faktual.

“Kita (rakyat) masih percaya pada
BPS. Karena merupakan lembaga resmi yang objektif dan bisa
dipertanggungjawabkan,” ujarnya kepada Kantor Berita Politik RMOL (Jawa Pos Grup/kaltengpos.co Grup), Minggu
(15/12).

Sementara Menteri Keuangan Sri
Mulyani merupakan elemen pemerintah atau institusi politik yang memiliki
tendensi politis untuk menutupi pertumbuhan ekonomi yang bakal carut marut di
2020.

Baca Juga :  Analisis BI: Ini Dampak Kenaikan Harga Komoditas Terhadap Ekonomi Kalteng

“Institusi politik terkadang bisa
membolak-balikkan keadaan. Bisa yang benar jadi salah, begitu juga sebaliknya,”
katanya.

Lebih lanjut, Ujang menilai wajar
jika BPS memprediksi perekonomian Indonesia di 2020 bakal suram. Penyebabnya
bukan hanya resesi dunia yang berdampak pada kondisi ekonomi dalam negeri. Tapi
juga karena daya beli masyarakat semakin melemah, kebutuhan meningkat, tapi
pendapatan menurun.

“BPJS sudah naik, nanti listrik
naik, BBM naik. Nilai ekspor juga lebih rendah dari impor. Gejala-gejala
tersebut membuat ekonomi di 2020 bisa buram dan seram,” tutupnya.

Pakar ekonomi, Dradjad Wibowo kepada Kantor Berita Politik RMOL, Minggu (15/12)
mengakui, tantangan ekonomi yang dihadapi Indonesia di tahun 2020 akan lebih
sulit jika dibandingkan dengan tahun ini.

Hal itu didasari oleh tren konsumsi rumah tangga, pembentukan modal tetap
bruto, aktivitas ekspor impor, dan belanja pemerintah cenderung melemah
dibandingkan tahun 2018 hingga 2019.

Dia kemudian mengurai penerimaan pajak tahun 2019 yang mengalami terjun
bebas. Catatan Ditjen Pajak menyebut bahwa hingga 10 Desember, penerimaan pajak
baru mencapai Rp 1.136 triliun.

Baca Juga :  Subsidi Listrik Hingga Desember 2020? Menko Perekonomian: Masih Dipert

Realisasi ini baru mencapai 72 persen dari target di APBN 2019 yang sebesar
Rp 1.577,56 triliun. Artinya masih ada minus Rp 441,56 triliun dan keadaan ini
akan berdampak pada 2020.

“Lalu belanja APBN akan dibiayai dari mana? Akan utang besar-besaran,” kata
wakil ketua Dewan Kehormatan PAN itu.

Indikasi lain yang akan mendorong pelemahan perekonomian Indonesia di 2020
antara lain pertumbuhan konsumsi yang melemah, defisit perdagangan dan neraca
transaksi berjalan hingga investasi yang kurang produktif.

Atas dasar itu, tidak heran jika kemudian lembaga keuangan asing
memproyeksikan bahwa ekonomi Indonesia anjlok ke bawah lima persen pada 2020.

Di satu sisi, Dradjad merasa heran dengan pernyataan-pernyataan pemerintah
yang seolah menyebut bahwa ekonomi Indonesia baik-baik saja dan justru akan
melejit.

“Saya rasa, analis ekonomi dalam maupun luar negeri relatif sepakat tentang
ini. Entah apa dasar pemerintah meyakini ekonomi 2020 berjaya,” tandasnya.

 (sta/rmol/pojoksatu)

JAKARTA – Secara mengejutkan Badan Pusat Statistik (BPS)
mengeluarkan pernyataan yang membuat Menkeu Sri Mulyani sakit kepala. BPS
memprediksi ekonomi Indonesia akan suram
di 2020 karena berbagai faktor.

Kepala Badan Pusat Statistik
(BPS) Suhariyanto mengungkapkan penyebabnya,
antara lain karena perang dagang, ekonomi global, dan dari sektor pertambangan
seperti batubara yang merosot hingga 45 persen.

Pernyataan Suhariyanto ini bertolak
belakang dengan optimisme yang kerap disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani,
bahwa ekonomi bakal melesat.

Menyikapi hal tersebut, pengamat
politik dari Universitas Al Azhar Ujang Komarudin menyebut bahwa rakyat akan
lebih percaya pada data BPS. Sebab, BPS merupakan badan resmi pusat data di
Indonesia dan tidak memiliki pretensi apapun dalam menyampaikan data faktual.

“Kita (rakyat) masih percaya pada
BPS. Karena merupakan lembaga resmi yang objektif dan bisa
dipertanggungjawabkan,” ujarnya kepada Kantor Berita Politik RMOL (Jawa Pos Grup/kaltengpos.co Grup), Minggu
(15/12).

Sementara Menteri Keuangan Sri
Mulyani merupakan elemen pemerintah atau institusi politik yang memiliki
tendensi politis untuk menutupi pertumbuhan ekonomi yang bakal carut marut di
2020.

Baca Juga :  Analisis BI: Ini Dampak Kenaikan Harga Komoditas Terhadap Ekonomi Kalteng

“Institusi politik terkadang bisa
membolak-balikkan keadaan. Bisa yang benar jadi salah, begitu juga sebaliknya,”
katanya.

Lebih lanjut, Ujang menilai wajar
jika BPS memprediksi perekonomian Indonesia di 2020 bakal suram. Penyebabnya
bukan hanya resesi dunia yang berdampak pada kondisi ekonomi dalam negeri. Tapi
juga karena daya beli masyarakat semakin melemah, kebutuhan meningkat, tapi
pendapatan menurun.

“BPJS sudah naik, nanti listrik
naik, BBM naik. Nilai ekspor juga lebih rendah dari impor. Gejala-gejala
tersebut membuat ekonomi di 2020 bisa buram dan seram,” tutupnya.

Pakar ekonomi, Dradjad Wibowo kepada Kantor Berita Politik RMOL, Minggu (15/12)
mengakui, tantangan ekonomi yang dihadapi Indonesia di tahun 2020 akan lebih
sulit jika dibandingkan dengan tahun ini.

Hal itu didasari oleh tren konsumsi rumah tangga, pembentukan modal tetap
bruto, aktivitas ekspor impor, dan belanja pemerintah cenderung melemah
dibandingkan tahun 2018 hingga 2019.

Dia kemudian mengurai penerimaan pajak tahun 2019 yang mengalami terjun
bebas. Catatan Ditjen Pajak menyebut bahwa hingga 10 Desember, penerimaan pajak
baru mencapai Rp 1.136 triliun.

Baca Juga :  Subsidi Listrik Hingga Desember 2020? Menko Perekonomian: Masih Dipert

Realisasi ini baru mencapai 72 persen dari target di APBN 2019 yang sebesar
Rp 1.577,56 triliun. Artinya masih ada minus Rp 441,56 triliun dan keadaan ini
akan berdampak pada 2020.

“Lalu belanja APBN akan dibiayai dari mana? Akan utang besar-besaran,” kata
wakil ketua Dewan Kehormatan PAN itu.

Indikasi lain yang akan mendorong pelemahan perekonomian Indonesia di 2020
antara lain pertumbuhan konsumsi yang melemah, defisit perdagangan dan neraca
transaksi berjalan hingga investasi yang kurang produktif.

Atas dasar itu, tidak heran jika kemudian lembaga keuangan asing
memproyeksikan bahwa ekonomi Indonesia anjlok ke bawah lima persen pada 2020.

Di satu sisi, Dradjad merasa heran dengan pernyataan-pernyataan pemerintah
yang seolah menyebut bahwa ekonomi Indonesia baik-baik saja dan justru akan
melejit.

“Saya rasa, analis ekonomi dalam maupun luar negeri relatif sepakat tentang
ini. Entah apa dasar pemerintah meyakini ekonomi 2020 berjaya,” tandasnya.

 (sta/rmol/pojoksatu)

Terpopuler

Artikel Terbaru