25.6 C
Jakarta
Friday, January 3, 2025

Regulasi Tiket Pesawat Murah Bakal Dihapus

JAKARTA – Kebijakan tarif tiket pesawat murah
untuk kategori maskapai berbiaya murah atau Low Cost Carrier (LCC) dalam waktu
dekat ini bakal dihapus. Sebab regulasi tersebut tidak bisa dilakukan jangka panjang.

Diketahui, tarfi tiket pesawat berlaku sejak 11 Juli 2019. Hasil
kesepakatan bersama antara regulator dan maskapai yakni potongan harga mencapai
50 persen dari tarif batas atas (TBA). Potongan berlaku pada hari Selasa,
Kamis, dan Sabtu pada pukul 10.00 hingga 14.00 waktu setempat.

“Flight murah hari tertentu Selasa, Kamis, Sabtu, jam tertentu. Kita sudah
pelajari dan itu tidak bisa sustainable,” kata Menteri Koordinator (Menko)
bidang Perekonomian, Darmin Nasution di Jakarta, kemarin (2/8).

Sebagai pengganti kebijakan yang telah dihapus, kata Darmin, pemerintah
akan membuat kebijakan baru yang tidak memberatkan maskapai penerbangan.
Kebijakan baru akan diterbitkan setelah dilakukan kajian yang mendalam dengan
melibatkan pihak terkait seperti maskapai dan pengamat penerbangan.

“Kita harus benahi dari berbagai segi. Jadi kita akan sedang menelusuri
mana yang perlu dibenahi,” ujar dia.

Pengamat Penerbangan, Alvin Lie menyambut baik kebijakan tarif maskapai
akan dihapus. Sejak awal dia memang kurang setuju dengan kebijakan tersebut.

“Bagus, memang ini kebijakan yang tidak pada tempatnya sejak awal,” kata
Alvin kepada Fajar Indonesia Network (FIN), kemarin (2/8).

Baca Juga :  MCF Menawarkan Pembiayaan Sepeda Motor, Mobil, Elektronik Hingga Multiguna

Anggota Ombudsman itu mengemukakan sejumlah alasan aturan tarif maskapai
tidak pada tempatnya. Pertama, Menko Perekonomian, Darmin Nasution offside
karena membuat kebijakan yang di luar kewenangannya. Sebab regulasi tersebut
ranah kewenangan Kementerian Perhubungan.

Kedua, Menteri Darmin menjanjikan berbagai insentif tanpa persetujuan
menteri-menteri teknis yang berwenang.Ketiga, Menteri Darmin menetapkan sepihak
besaran diskon 50 persen tanpa kajian ilmiah dan tanpa mengakomodir pendapat
maskapai.

Terakhir, Menteri Darmin terlalu jauh intervensi ranah korporat. Sampai
mengatur jadwal hari, jam, jumlah kursi, besaran diskon.

“Ini bukan kebijakan tapi pemaksaan kehendak. Tentu tidak akan mampu
bertahan karena tidak realistis. Kasihan airlines yang terpaksa mengikuti
tekanan tersebut dan menanggung rugi selama beberapa pekan,” ujar Alvin.

Dalam membuat kebijaka baru, menurut Alvin, pemerintah harus melibatkan
semua pihak. “Menteri teknis harus melakukan kajian teknis dan ilmiah, libatkan
pemangku kepentingan. Ada produk hukumnya seperti peraturan menteri atau
Keputusan menteri,” tutur Alvin.

Berbeda dengan Alvin, pengamat penerbangan, Gerry Soejatman tidak setuju
adanya regulasi baru. Karena sejak tahun 2016 hingga 2019 TBA sudah lebih
murah.

“Kalau mau bikin kebijakan agar maskapai bisa untung tapi bisa menyediakan
tarif murah bagi penumpang, ya naikkan TBAnya,” kata Gerry kepada Fajar
Indonesia Network (FIN), kemarin (2/8).

Baca Juga :  Makin Lengkap! BRI Sediakan Fitur Optimalisasi Transaksi Valas Lewat BRImo

Soal TBA, Gerry menekankan bukan ranah Kemenko Perekonomian, namun wewenang
Kementerian Perhubungan. “Kalau Kemenko Perekonomian mau bikin kebijakan ya
mending cari-cari bagaimana industri kita bisa kompetitif,” ujar dia.

Dia mencontohkan yang dilakukan Kemenko Perekonomian seperti mencari
kebijakan yang mendukung rantai ekonomi penerbangan yang efisien meskipun itu
ranah kementerian lain seperti kebijakan kemarin yakni kebijakan
memebaskan/mengurangi PPN dan bea impor suku cadang pesawat, sewa pesawat, dan
lainnya.

“Saya yakin masih ada hal-hal yang bisa dicari lagi,” ucap dia.

Direktur Penelotian Center of Reforms on Economics (Core), Pieter Abdullah
mengatakan, memang sudah seharusnya ada kebijakanyang tepat untuk menyelamatkan
maskapai sehingga dapat menghentikan permasalah selama ini.

“Kebijakan itu hendaknya bukan kebijakan adhoc atau sementara yang
bertujuan jangka pendek,” kata Pieter kepada Fajar Indonesia Network (FIN),
kemarin (2/8).

Menurut dia, pemerintah seharusnya membuat kebijakan dengan berdasarkan
kajian yang mendalam tentang apa yg sebenarnya terjadi dengan industri
penerbangan.

“Apa yang menyebabkan terjadinya inefisiensi. Tanpa kajian ini kebijakan
hanya akan bersifat adhoc dan tidak menyelesaikan masalah secara tuntas,”
pungkas dia. (din/fin/kpc)

JAKARTA – Kebijakan tarif tiket pesawat murah
untuk kategori maskapai berbiaya murah atau Low Cost Carrier (LCC) dalam waktu
dekat ini bakal dihapus. Sebab regulasi tersebut tidak bisa dilakukan jangka panjang.

Diketahui, tarfi tiket pesawat berlaku sejak 11 Juli 2019. Hasil
kesepakatan bersama antara regulator dan maskapai yakni potongan harga mencapai
50 persen dari tarif batas atas (TBA). Potongan berlaku pada hari Selasa,
Kamis, dan Sabtu pada pukul 10.00 hingga 14.00 waktu setempat.

“Flight murah hari tertentu Selasa, Kamis, Sabtu, jam tertentu. Kita sudah
pelajari dan itu tidak bisa sustainable,” kata Menteri Koordinator (Menko)
bidang Perekonomian, Darmin Nasution di Jakarta, kemarin (2/8).

Sebagai pengganti kebijakan yang telah dihapus, kata Darmin, pemerintah
akan membuat kebijakan baru yang tidak memberatkan maskapai penerbangan.
Kebijakan baru akan diterbitkan setelah dilakukan kajian yang mendalam dengan
melibatkan pihak terkait seperti maskapai dan pengamat penerbangan.

“Kita harus benahi dari berbagai segi. Jadi kita akan sedang menelusuri
mana yang perlu dibenahi,” ujar dia.

Pengamat Penerbangan, Alvin Lie menyambut baik kebijakan tarif maskapai
akan dihapus. Sejak awal dia memang kurang setuju dengan kebijakan tersebut.

“Bagus, memang ini kebijakan yang tidak pada tempatnya sejak awal,” kata
Alvin kepada Fajar Indonesia Network (FIN), kemarin (2/8).

Baca Juga :  MCF Menawarkan Pembiayaan Sepeda Motor, Mobil, Elektronik Hingga Multiguna

Anggota Ombudsman itu mengemukakan sejumlah alasan aturan tarif maskapai
tidak pada tempatnya. Pertama, Menko Perekonomian, Darmin Nasution offside
karena membuat kebijakan yang di luar kewenangannya. Sebab regulasi tersebut
ranah kewenangan Kementerian Perhubungan.

Kedua, Menteri Darmin menjanjikan berbagai insentif tanpa persetujuan
menteri-menteri teknis yang berwenang.Ketiga, Menteri Darmin menetapkan sepihak
besaran diskon 50 persen tanpa kajian ilmiah dan tanpa mengakomodir pendapat
maskapai.

Terakhir, Menteri Darmin terlalu jauh intervensi ranah korporat. Sampai
mengatur jadwal hari, jam, jumlah kursi, besaran diskon.

“Ini bukan kebijakan tapi pemaksaan kehendak. Tentu tidak akan mampu
bertahan karena tidak realistis. Kasihan airlines yang terpaksa mengikuti
tekanan tersebut dan menanggung rugi selama beberapa pekan,” ujar Alvin.

Dalam membuat kebijaka baru, menurut Alvin, pemerintah harus melibatkan
semua pihak. “Menteri teknis harus melakukan kajian teknis dan ilmiah, libatkan
pemangku kepentingan. Ada produk hukumnya seperti peraturan menteri atau
Keputusan menteri,” tutur Alvin.

Berbeda dengan Alvin, pengamat penerbangan, Gerry Soejatman tidak setuju
adanya regulasi baru. Karena sejak tahun 2016 hingga 2019 TBA sudah lebih
murah.

“Kalau mau bikin kebijakan agar maskapai bisa untung tapi bisa menyediakan
tarif murah bagi penumpang, ya naikkan TBAnya,” kata Gerry kepada Fajar
Indonesia Network (FIN), kemarin (2/8).

Baca Juga :  Makin Lengkap! BRI Sediakan Fitur Optimalisasi Transaksi Valas Lewat BRImo

Soal TBA, Gerry menekankan bukan ranah Kemenko Perekonomian, namun wewenang
Kementerian Perhubungan. “Kalau Kemenko Perekonomian mau bikin kebijakan ya
mending cari-cari bagaimana industri kita bisa kompetitif,” ujar dia.

Dia mencontohkan yang dilakukan Kemenko Perekonomian seperti mencari
kebijakan yang mendukung rantai ekonomi penerbangan yang efisien meskipun itu
ranah kementerian lain seperti kebijakan kemarin yakni kebijakan
memebaskan/mengurangi PPN dan bea impor suku cadang pesawat, sewa pesawat, dan
lainnya.

“Saya yakin masih ada hal-hal yang bisa dicari lagi,” ucap dia.

Direktur Penelotian Center of Reforms on Economics (Core), Pieter Abdullah
mengatakan, memang sudah seharusnya ada kebijakanyang tepat untuk menyelamatkan
maskapai sehingga dapat menghentikan permasalah selama ini.

“Kebijakan itu hendaknya bukan kebijakan adhoc atau sementara yang
bertujuan jangka pendek,” kata Pieter kepada Fajar Indonesia Network (FIN),
kemarin (2/8).

Menurut dia, pemerintah seharusnya membuat kebijakan dengan berdasarkan
kajian yang mendalam tentang apa yg sebenarnya terjadi dengan industri
penerbangan.

“Apa yang menyebabkan terjadinya inefisiensi. Tanpa kajian ini kebijakan
hanya akan bersifat adhoc dan tidak menyelesaikan masalah secara tuntas,”
pungkas dia. (din/fin/kpc)

Terpopuler

Artikel Terbaru