PROKALTENG.CO – Mahasiswa bukan sekadar agen perubahan. Mahasiswa mesti menjadi pelaku perubahan itu sendiri, terlebih dalam mendorong pengakuan, penghormatan, perlindungan, dan pemberdayaan masyarakat hukum adat (MHA).
Hal ini dikatakan, Anggota DPD RI Agustin Teras Narang kepada kader Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Palangka Raya “Sanctus Dionisius” dan peserta webinar nasional dari berbagai daerah dan negara yang digelar, Selasa (29/8/2023).
“Meski konstitusi kita dalam Pasal 18B ayat 2 UUD 1945 mengakui keberadaan masyarakat hukum adat. Faktanya sudah sekitar 17 tahun diperjuangkan tapi Rancangan Undang-undang MHA (RUU MHA) belum juga disahkan. DPD RI pun sampai membuat draf RUU Perlindungan MHA demi mendorong kepentingan MHA ini. Sayangnya belum ada pembahasan tripartit untuk mendorong pengesahan RUU yang ada,” katanya.
Sebagai Gubernur Kalimantan Tengah dua periode dari tahun 2005 hingga 2015, bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan elemen masyarakat, Teras Narang telah berhasil menerbitkan Peraturan Daerah (PERDA) Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 16 Tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak Di Kalimantan Tengah, yang kemudian disesuaikan lewat terbitnya Perda Nomor 1 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 16 Tahun 2008 Tentang Kelembagaan Adat Dayak di Kalimantan Tengah.
“Perda ini lalu disusul dengan terbitnya Peraturan Gubernur Nomor 13 Tahun 2009 tentang Tanah Adat Dan Hak-Hak Adat Di Atas. Tanah Di Provinsi Kalimantan Tengah. Dalam sejarah kebijakan pengakuan, penghormatan, perlindungan, dan pemberdayaan MHA, kita boleh berbangga bahwa Kalteng menjadi pionir. Dengan segala keterbatasan dalam kebijakan tersebut, Ini adalah salah satu capaian besar yang bisa jadi rujukan bagi pemerintah nasional,” jelasnya.
Untuk itu Teras Narang mendorong semua pihak termasuk pemerintah daerah, dan elemen masyarakat seperti PMKRI, untuk menjadi pelaku perubahan dan mengawal pengesahan RUU MHA ini. Agar RUU MHA kembali masuk prolegnas prioritas dan dapat disahkan untuk menjaga keseimbangan kepentingan pembangunan ekonomi dan pelestarian ekologi.
“Saya juga mendorong agar ada peningkatan kualitas sumber daya manusia dari masyarakat adat lewat jalur pendidikan. Pendidikan tidak mesti formal, namun juga dapat diperoleh dari berbagai sumber,” katanya.
Peningkatan kualitas, kapasitas, dan kapabilitas lewat jalur pendidikan ini penting agar masyarakat adat dapat berdaya, termasuk di Kalimantan yang nantinya menjadi tempat dibangunnya Ibu Kota Negara Nusantara.
“Kita pun mesti mendorong agar citra masyarakat adat itu primitif dan tertinggal di tengah globalisasi, mesti kita ganti dengan citra berpendidikan, berkebudayaan, dan peduli pada lingkungan sebagaimana ciri masyarakat beradab. Semua ini bagaimana pun mesti dimulai dari diri sendiri, baru kemudian dilakukan bersama pihak lainnya. Mari generasi muda masyarakat adat meningkatkan kualitas diri dan unjuk diri membangun kualitas masyarakatnya,” ungkapnya. (*)