PALANGKA RAYA, KALTENGPOS.CO-Sidang kasus dugaan
tindak pidana korupsi (tipikor) proyek pembasahan
dan pembuatan sumur bor berlanjut lagi.
Mantan Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kalteng Fahrizal Fitri bersama
pegawai dari Badan Restorasi Gambut
(BRG) Didy Wurjanton hadir memberi kesaksian.Â
Sidang kali ini
dipimpin ketua
majelis Irfanul Hakim dibantu dua hakim anggota Anuar Sakti Siregar  dan Dedi Roswandi.
Dalam kesaksiannya,
Fahrizal
Fitri yang kini menjabat sebagai sekretaris daerah (sekda) Kalteng membenarkan
bahwa saat pelaksanaan pembangunan infrastruktur pembasahan lahan gambut pada
2018 lalu itu dirinya menjabat sebagai kepala DLH
Kalteng.
Dalam pelaksanaan proyek tersebut,
terdapat
dua jenis kegiatan yakni kegiatan proyek pembuatan sekat kanal dan proyek
pembuatan sumur bor.
Fahrizal juga menjelaskan bahwa dalam
pelaksanaan proyek tersebut, dirinya bertindak sebagai kuasa pengguna
anggaran (KPA). Ia menyebut bahwa dana untuk kegiatan proyek infrastruktur
pembasahan lahan gambut itu berasal dari dana APBN tahun 2018 yang dianggarkan
melalui BRG.
“Berapa total anggarannya waktu itu pak,â€
tanya JPU Imran Adiguna.
“Sekitar Rp80 miliar,†jawab
Fahrizal Fitri. Ia juga membenarkan keterangan yang
diberikannya dalam BAP saat penyelidikan di Kejaksaan Negeri Palangka Raya,
bahwa untuk kegiatan pembuatan sumur bor tersebut disediakan dana sebesar
Rp21.765.417.000.
Fahrizal juga mengakui bahwa saar itu ia
menujuk terdakwa Arianto selaku pejabat pembuat komitmen (PPK) II untuk proyek
pekerjaan sumur bor tersebut. Terkait pelaksanaan teknis di lapangan
menyangkut pekerjaan pembuatan sumur bor tersebut, tutur sekda, sepenuhnya merupakan
wewenang Arianto selaku PPK II.
“Saya hanya menerima
laporan pelaksanaan kegiatan dari saudara Arianto†terang Fahrizal lagi.
Secara singkat Fahrizal menyampaikan bahwa
berdasarkan aturan dan petunjuk dari pemerintah, pelaksanaan pembuatan sumur
bor dikerjakan melalui tiga cara, yakni melalui mekanisme kontraktual, mekanisme swakelola yang bekerja
sama dengan perguruan tinggi, dan swakelola bersama kelompok masyarakat.
“Swakelola dengan
kelompok masyarakat ini di sebut swakelola tipe 4†ujarnya sambil menambahkan
bahwa untuk swakelola tipe 4, kala itu DLH mengikutsertakan 18 kelompok
masyarakat.
Saat ditanya oleh Jaksa Imran terkait siapa
yang berhak menentukan pekerjaan swakelola kerja sama dengan perguruan tinggi maupun
dengan kelompok masyarakat, Fahrizal mengatakan, yang berwewenang saat itu
adalah Arianto selaku PPK.
“Bagaimana bentuk pekerjaan swakelola itu dilakukan
ditentukan PPK,†bebernya.
Dalam kesaksiannya Fahrizal mengatakan bahwa
proyek pembuatan sumur bor tahun 2018 lalu itu merupakan kelanjutan dari proyek
serupa yang dilaksanakan oleh BRG RI pada tahun 2017.
“Jadi tahun 2017 sudah ada sosialisasi yang
dilakukan oleh BRG pusat kepada kelompok-kelompok MPA yang terlibat dalam pekerjaan swakelola
untuk proyek pembuatan sumur bor,†beber Fahrizal Fitri.
Saat ditanya apakah DLH juga melakukan
sosialisasi kepada kelompok masyarakat seperti yang dilakukan BRG
pada 2017,
Fahrizal mengaku tidak mengetahui.
“Saya tidak tahu,
karena itu
menyangkut hal teknis dan merupakan wewenang PPK,†katanya.
Fahrizal mengatakan, sejak Januari 2018 dirinya
diangkat sebagai pelaksana sekda Kalteng, ia tidak pernah sempat
meninjau langsung pelaksanaan proyek
kegiatan sumur bor yang dilakukan secara swakelola tersebut. Meski demikian ia
membenarkan bahwa dirinya tetap mendapat laporan atas pekerjaan tersebut dari
Arianto selaku PPK.
Sementara itu, saat ditanya oleh anggota
majelis hakim Anuar Sakti Siregar terkait keterangan yang disampaikan saksi
Kusniyadi dalam persidangan sebelumnya, yang menyebut pernah bertemu dengan
Fahrizal Fitri di Bandara Soekarno Hatta dan diarahkan bertemu dengan terdakwa
Arianto untuk mendapatkan pekerjaan sumur bor, Fahrizal secara tegas menyangkalnya.
“Saksi Kusniyadi bilang di sidang kemarin,
ada ketemu Bapak di Bandara Seokarno Hatta.
Dan dia
tanya apa ada pekerjaan, lalu Bapak nyuruh dia nemuin Pak Arianto. Apa benar?â€
tanya hakim Annuar kepada saksi Fahrizal.
“Tidak benar pak hakim,
saya tidak
pernah bertemu Kusniyadi,†jawab Fahrizal.
Fahrizal juga membantah keterangan perihal dirinya yang menerima sejumlah uang
dari saksi Kusniyadi.
“Tidak ada pak,
saya tidak
pernah ada menyuruh seperti itu,†ujarnya tegas.
Menanggapi kesaksian Fahrizal, terdakwa Arianto
maupun Rahmafi G Lentam selaku penasihat hukumnya tak menyatakan keberatan.
Meski demikian,
Arianto sempat memberikan klarifikasi menyangkut kegiatan sosialisasi kepada
kelompok MPA yang dilakukan oleh DLH terkait pembuatan sumur
bor.
“Bulan Agustus 2018 lalu kami sudah melakukan
sosialisasi kepada kelompok-kelompok MPA menyangkut proyek pembuatan sumur bor,â€
terang Arianto.
Saat ditemui awak media usai sidang, Sekda
Kalteng Fahrizal Fitri menegaskan jika dirinya tak pernah bertemu dengan Kusniadi.
Sekda secara tegas membantah pernah memperoleh uang dari proyek yang dikerjakan
Kusniyadi itu.
“Saya tidak pernah ketemu
dengan beliau, saya juga tidak pernah memerintahkan seperti itu, tidak
pernah,†kata Fahrizal.
Fahrizal juga menyampaikan bahwa selama
pekerjaan sumur bor tahun 2018 lalu, dirinya memang menerima laporan pekerjaan pembuatan sumur bor dari Arianto selaku
PPK.
“Saya dapat laporan
progres kegiatannya, kemudian ada laporan dalam bentuk buku tebal yang di dalamnya
dipetakan titik-titik sumur bor dan foto-fotonya,†ujarnya.
Saat disinggung apakah menurutnya proyek pekerjaan
sumur bor tersebut sudah sesuai dengan ketentuan, dengan diplomatis
Fahrizal menjawab bahwa secara kaidah keuangan proyek sumur bor tersebut sudah
mendapat audit dari BPK RI.
“Sudah diaudit
oleh BPK RI, dan ada juga catatan-catatan yang diberikan BPK, itulah yang kami
gunakan untuk perbaikan-perbaikan,†pungkasnya.Â