Oleh :Dr. Miar, S.E., M.Si., CERA
DI tengah krisis iklim, ketimpangan sosial, dan tekanan geopolitik global, transformasi sistem ekonomi menjadi lebih berkelanjutan bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan. Salah satu instrumen utama dalam mendorong transformasi ini adalah kebijakan fiskal.
Peran kebijakan fiskal telah berevolusi dari sekadar alat stabilisasi ekonomi menjadi instrumen strategis dalam mengarahkan pembangunan jangka panjang yang ramah lingkungan dan inklusif.
Menurut Musgrave (1959), kebijakan fiskal memiliki tiga fungsi utama: alokasi, distribusi, dan stabilisasi. Dalam konteks pembangunan berkelanjutan, fungsi alokasi dapat diarahkan untuk investasi hijau, fungsi distribusi untuk mengatasi kemiskinan dan ketimpangan sosial, dan fungsi stabilisasi untuk menjaga ketahanan ekonomi dalam transisi menuju ekonomi rendah karbon.
Teori eksternalitas dari Arthur Pigou (1920) juga memberikan dasar bagi pajak lingkungan sebagai bentuk internalisasi biaya sosial atas kerusakan lingkungan. Sementara itu, teori pertumbuhan endogen (Romer, 1990) menekankan peran kebijakan publik dalam mendorong inovasi dan akumulasi pengetahuan sebagai kunci pertumbuhan jangka panjang yang berkelanjutan.
Sejumlah negara telah menerapkan reformasi fiskal yang progresif dan sejalan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan, antara lain : Swedia telah menerapkan pajak karbon sejak tahun 1991 dan berhasil menurunkan emisi karbon secara signifikan tanpa menghambat pertumbuhan ekonominya.
Jerman mengalokasikan anggaran negara dalam program “Energiewende” (transisi energi), menggabungkan investasi publik untuk energi terbarukan dan efisiensi energi. Kanada menggunakan pendapatan dari pajak karbon untuk mendanai program pengurangan kemiskinan energi dan subsidi rumah tangga berpenghasilan rendah. Model-model tersebut menunjukkan bahwa kebijakan fiskal dapat diselaraskan untuk mencapai tujuan lingkungan dan sosial secara bersamaan.
Indonesia telah mulai merespons urgensi transformasi kebijakan fiskal dengan sejumlah kebijakan, antara lain : Penerapan Pajak Karbon: Meski baru terbatas pada sektor pembangkit listrik tenaga uap batubara, kebijakan ini menjadi tonggak penting dalam transisi fiskal hijau. Pemerintah menargetkan perluasan sektor dalam beberapa tahun ke depan.
Green Bond (Sukuk Hijau): Indonesia menjadi negara pertama di Asia yang menerbitkan sukuk hijau pada tahun 2018. Dana dari sukuk ini digunakan untuk membiayai proyek ramah lingkungan seperti energi terbarukan dan transportasi berkelanjutan. Reformasi Subsidi Energi: Pemerintah mulai mengurangi subsidi energi fosil secara bertahap dan mengalihkannya ke sektor yang lebih produktif dan berkelanjutan, meskipun implementasinya masih menghadapi resistensi politik dan sosial.
Anggaran Responsif Iklim: Kementerian Keuangan telah mulai mengembangkan kerangka kerja Climate Budget Tagging untuk mengukur alokasi anggaran yang mendukung adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Namun, tantangan besar masih membayangi, mulai dari minimnya kapasitas fiskal daerah, koordinasi lintas sektor yang belum optimal, hingga kurangnya kesadaran masyarakat terhadap nilai kebijakan fiskal berkelanjutan.
Berikut untuk mempercepat transformasi fiskal menuju ekonomi berkelanjutan, berikut beberapa rekomendasi strategis: Perluasan Pajak Lingkungan: Pengenaan pajak karbon harus diperluas ke sektor-sektor strategis, seperti industri dan transportasi, dengan skema kompensasi bagi kelompok rentan.
Integrasi APBN dan Tujuan SDGs: Seluruh siklus perencanaan dan penganggaran negara perlu diselaraskan secara eksplisit dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Desentralisasi Fiskal Berkelanjutan: Pemerintah daerah harus diberikan insentif fiskal untuk melaksanakan proyek-proyek pembangunan hijau, melalui skema Ecological Fiscal Transfer (EFT). Transparansi dan Akuntabilitas: Penggunaan dana fiskal untuk tujuan lingkungan harus disertai sistem pelaporan yang akuntabel dan partisipatif.
Kemitraan Pemerintah-Swasta (PPP): Pendanaan infrastruktur hijau memerlukan keterlibatan sektor swasta melalui skema PPP yang berbasis risiko dan hasil (output-based financing).
Akhirnya transformasi kebijakan fiskal bukan sekadar perubahan instrumen, melainkan perubahan paradigma: dari pertumbuhan ekonomi kuantitatif menuju kualitas pembangunan yang berkelanjutan.
Dengan kebijakan fiskal yang progresif, Indonesia dapat menyeimbangkan antara pertumbuhan ekonomi, perlindungan lingkungan, dan keadilan sosial dalam menghadapi era global yang penuh ketidakpastian.
*) Penulis adalah Dosen Tetap Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Palangka Raya