25.9 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Babak Belur KPK

SUDAH jatuh tertimpa tangga. Peribahasa ini
tampaknya cocok untuk menggambar kondisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
saat ini. Belum lama lembaga antirasuah itu dihantam badai topan karena salah
satu pegawainya, I Gede Suryantara mencuri barang bukti emas batangan senilai
1, 9 Kg. Dalam bulan yang sama, lembaga antirasuah kembali didera hal tak
sedap.

Kali ini isunya bukan main-main, salah satu
penyidiknya yang berasal dari institusi kepolisian, diduga menerima duit suap
dari Wali Kota Tanjungbalai, Muhammad Syahrial. Penyidik atas nama AKP
Steppanus Robbin Pattuju itu awalnya meminta duit sebesar Rp 1,5 miliar.
Iming-imingnya, bisa menghentikan penyelidikan perkara dugaan korupsi yang
diduga melibatkan Syahrial. Namun, dari kesepakatan tersebut, sampai dicokok,
Steppanus baru menerima Rp 1,3 miliar.

Steppanus bukan bagian dari Satgas KPK yang
menangani dugaan perkara korupsi Muhamad Syahrial. Oleh karena itu, patut
diduga dia tak bermain sendiri. Dari informasi yang saya peroleh, ada tujuh
penyidik lain yang diduga turut bermain dalam kasus yang sama. Mereka kerap
digunakan oleh oknum petinggi partai politik untuk memperdagangkan perkara yang
tengah dilidik atau disidik KPK. Modusnya, menakut-nakuti target. Jika tak bisa
diajak berkompromi, akan disikat dengan cara dilakukan operasi tangkap tangan
(OTT).

Mereka juga kerap menggagalkan operasi kedap
yang tengah dilakukan satgas lain. Tujuannya jelas, agar target OTT yang sedang
diincar bisa lolos. Mereka akan mengambil keuntungan dari target yang
dibocorkan OTT-nya oleh para penyidik pedagang perkara ini.

Para penyidik pedagang perkara itu tak
bekerja sendiri. Sebab, sistem di KPK bekerja secara kolektif kolegial. Mereka
pun diduga turut melibatkan oknum petinggi komisi antirasuah yang memiliki
hubungan erat dengan petinggi parpol. Terutama, yang mengusungnya menduduki
kursi pimpinan di Kuningan -sebutan untuk kantor lembaga antirasuah-.

Segendang sepenarian, munculnya nama Wakil
Ketua DPR Aziz Syamsuddin tentu tak bisa dipandang sebelah mata. Musababnya,
nama petinggi Partai Golkar itu turut disebut dalam perkara rasuah yang membuat
heboh masyarakat Indonesia. Meskipun peran Aziz belum diungkap secara gamblang
oleh KPK, namun tentunya lembaga yang kini digawangi Firli Bahuri Cs tak boleh
menutup mata.

 

Sebab, dalam konteks hukum acara pidana
(KUHAP), Aziz punya peran penting dalam sengkarut rasuah tersebut. Ini karena
oleh Ketua KPK Firli Bahuri, dia disebut mengenalkan dan menyediakan
kediamannya, sebagai tempat pertemuan antara Syahrial dan Robbin saat
merencanakan upaya penghentian perkara.

Bisa jadi Aziz masuk dalam kategori saksi
sesuai Pasal 1 angka 26 KUHAP (saksi adalah orang yang dapat memberikan
keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu
perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri).
Dan kemudian diperluas maknanya tak terbatas hanya yang dia dengar sendiri, ia
lihat sendiri dan ia alami sendiri. Namun setiap orang yang punya pengetahuan
yang terkait langsung terjadinya tindak pidana (Putusan MK 65/PUU-VII/2010).

Baca Juga :  Dampak Vaksinasi Covid-19 Ketiga di Amerika Serikat

Lebih lanjut, jika ada peran mendalam yang
dilakukan Aziz seperti meminta Robbin menghentikan perkara Syahrial, maka,
politikus Golkar itu bisa dikenakan dengan Pasal 21 UU Tipikor. Ini karena
perbuatannya masuk dalam kualifikasi pihak yang merintangi proses penyidikan
yang dilakukan KPK. Dalam aturannya, setiap orang yang dengan sengaja mencegah,
merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan
terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan
atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah)
dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

Selain itu, Aziz juga bisa dikenakan Pasal 15
UU Tipikor yang menyebutkan, setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan,
atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan
pidana yang sama sebagaimana dimaksud Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan
Pasal 14.

Praktik lancung seperti ini sebenarnya sudah
berlangsung cukup lama di KPK. Tak hanya mencari uang, penyidik-penyidik yang
berasal dari institusi luar KPK ini, terkadang menggunakan cara-cara kotor
sebagai bahan bargaining ke atasannya agar cepat naik pangkat saat dikembalikan
ke institusi asal. Misalnya, mencuri data-data penting terkait penanganan
perkara seperti berita acara pemeriksaan (BAP) kepada pihak yang berperkara,
atau atasannya yang terindikasi berperkara di lembaga antirasuah.

Dalam menjalankan aksinya, selain dilakukan
sendiri, untuk menghilangkan jejak mereka juga kerap menggunakan jasa pihak
lain seperti petugas kebersihan yang tiap hari membersihkan ruang pemeriksaan
untuk mencuri data tersebut. Tentunya hal ini tak gratis. Ada tarif yang
dibayar penyidik pedagang perkara ini kepada orang suruhannya. Tarifnya dari
ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Tergantung penting atau tidaknya data yang
ingin dicuri.

Sementara untuk mencari tahu informasi surat
panggilan pemeriksaan yang dikirimkan penyidik lain kepada pihak terperiksa,
saksi ataupun tersangka, penyidik yang berasal dari luar KPK ini pun menyogok
kurir yang hendak melayangkan surat tersebut ke para pihak calon terperiksa,
saksi ataupun tersangka. Tujuannya jelas, rombongan penyidik pedagang perkara
ini membocorkan kepada nama-nama pihak yang akan diperiksa, atau kepada pihak
yang tersangkut dengan perkara yang tengah dilidik, ataupun disidik KPK.
Sehingga mendapat manfaat dari para pihak yang bermasalah tersebut.

Jadi jangan heran saat penyidik KPK tidak
bisa menggeledah kantor PDIP beberapa waktu lalu, hingga Harun Masiku gagal
ditangkap dan kini hilang bak hilang ditelan bumi. Lebih lanjut, masyarakat
juga jangan heran, ketika penyidik KPK juga kembali gagal menyita barang bukti
di kantor PT. Jhonlin Baratama, karena dokumen-dokumen terkait perkara sudah
dibawa kabur oleh oknum dengan memakai truk. Ini semua, selain salah satu
dampak dari diberlakukannya revisi UU KPK, juga karena ada peran dugaan ‘orang
dalam’ yang membocorkan rencana penggeledahan tersebut.

Baca Juga :  Threads dan Kehebohan Baru Dunia Literasi

Perbuatan kotor yang dilakukan Robbin, mau
tak mau akan semakin memengaruhi kinerja dan kembali menggerus tingkat
ketidakpercayaan masyarakat terhadap lembaga yang dulu dikenal paling bersih
itu. Tindakan Robbin juga sangat melukai para pegawai KPK lain yang benar-benar
mewakafkan dirinya untuk berjuang memberantas korupsi di negeri tercinta ini.

Untuk menyembuhkan luka yang menganga ini,
pimpinan KPK yang kini dikomandoi Firli Bahuri harus berjibaku mengembalikan
marwah KPK seperti awal mula lembaga itu didirikan. Hal ini penting dilakukan
jika tidak ingin disebut sebagai pihak yang memberangus KPK dari dalam.

Tak cukup berkoar-koar beretorika KPK Zero
Tolerance ketika ada pegawainya yang bermasalah. Namun harus ada upaya
pembenahan menyeluruh dari hulu ke hilir. Selama ini, pimpinan-pimpinan KPK dan
jajaran strukturalnya gemar mengampanyekan nilai-nilai antikorupsi ke
masyarakat dalam setiap kegiatan yang dilakukannya. Namun, dalam tataran
praktiknya, mereka justru yang kerap melanggarnya.

Sebagai contoh, Ketua KPK Firli Bahuri pernah
mendapat hukuman dari Dewan Pengawas KPK karena terbukti melanggar etik. Akibat
bergaya hidup mewah naik helikopter saat pulang kampung ke kediamannya, di
Sumatera Selatan.

Agar kejadian serupa tak terulang, maka
pimpinan-pimpinan KPK harus menjadi suri tauladan ke para pegawainya, dengan
cara benar-benar menerapkan sembilan nilai antikorupsi dalam kehidupannya
sehari-hari(Jujur, disiplin,peduli, tanggung jawab, kerja keras,
sederhana,mandiri, berani,adil). Jika hal ini tak bisa dilakukan, maka pimpinan
KPK harus sadar diri, malu dan mau mengundurkan diri, bukan bersikap retorika
seolah-olah bersikap antikorupsi, tapi nyata-nyatanya malah menghianati janji
sucinya kepada bangsa dan negara, serta Tuhan Yang Maha Esa.

Selain itu, harus ada upaya pembenahan
menyeluruh dari upaya perekrutan para pegawai KPK. Utamanya yang berasal dari
insitusi lain seperti kepolisian, kejaksaan, BPKP, BPK, dan institusi lainnya.
Pembenahan bisa dilakukan dengan cara mempertimbangkan rekam jejak calon
seperti sisi integritas, hingga kepatuhannya terhadap pelaporan LKHPN (Laporan
Kepatuhan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara). Jangan sampai ada istilah
jatah, sehingga menerima calon pegawai atau pejabat yang berasal dari institusi
lain, dengan mengabaikan prinsip akuntabilitas.

Upaya pengawasan melekat benar-benar harus
diterapkan tanpa pandang bulu terhadap setiap insan KPK, baik di level staff
hingga pimpinan. Hal ini dilakukan dalam menjalankan kehidupannya sehari-hari,
baik di lingkungan kantor maupun di rumah.


Kuswandi, Jurnalis JawaPos.com

SUDAH jatuh tertimpa tangga. Peribahasa ini
tampaknya cocok untuk menggambar kondisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
saat ini. Belum lama lembaga antirasuah itu dihantam badai topan karena salah
satu pegawainya, I Gede Suryantara mencuri barang bukti emas batangan senilai
1, 9 Kg. Dalam bulan yang sama, lembaga antirasuah kembali didera hal tak
sedap.

Kali ini isunya bukan main-main, salah satu
penyidiknya yang berasal dari institusi kepolisian, diduga menerima duit suap
dari Wali Kota Tanjungbalai, Muhammad Syahrial. Penyidik atas nama AKP
Steppanus Robbin Pattuju itu awalnya meminta duit sebesar Rp 1,5 miliar.
Iming-imingnya, bisa menghentikan penyelidikan perkara dugaan korupsi yang
diduga melibatkan Syahrial. Namun, dari kesepakatan tersebut, sampai dicokok,
Steppanus baru menerima Rp 1,3 miliar.

Steppanus bukan bagian dari Satgas KPK yang
menangani dugaan perkara korupsi Muhamad Syahrial. Oleh karena itu, patut
diduga dia tak bermain sendiri. Dari informasi yang saya peroleh, ada tujuh
penyidik lain yang diduga turut bermain dalam kasus yang sama. Mereka kerap
digunakan oleh oknum petinggi partai politik untuk memperdagangkan perkara yang
tengah dilidik atau disidik KPK. Modusnya, menakut-nakuti target. Jika tak bisa
diajak berkompromi, akan disikat dengan cara dilakukan operasi tangkap tangan
(OTT).

Mereka juga kerap menggagalkan operasi kedap
yang tengah dilakukan satgas lain. Tujuannya jelas, agar target OTT yang sedang
diincar bisa lolos. Mereka akan mengambil keuntungan dari target yang
dibocorkan OTT-nya oleh para penyidik pedagang perkara ini.

Para penyidik pedagang perkara itu tak
bekerja sendiri. Sebab, sistem di KPK bekerja secara kolektif kolegial. Mereka
pun diduga turut melibatkan oknum petinggi komisi antirasuah yang memiliki
hubungan erat dengan petinggi parpol. Terutama, yang mengusungnya menduduki
kursi pimpinan di Kuningan -sebutan untuk kantor lembaga antirasuah-.

Segendang sepenarian, munculnya nama Wakil
Ketua DPR Aziz Syamsuddin tentu tak bisa dipandang sebelah mata. Musababnya,
nama petinggi Partai Golkar itu turut disebut dalam perkara rasuah yang membuat
heboh masyarakat Indonesia. Meskipun peran Aziz belum diungkap secara gamblang
oleh KPK, namun tentunya lembaga yang kini digawangi Firli Bahuri Cs tak boleh
menutup mata.

 

Sebab, dalam konteks hukum acara pidana
(KUHAP), Aziz punya peran penting dalam sengkarut rasuah tersebut. Ini karena
oleh Ketua KPK Firli Bahuri, dia disebut mengenalkan dan menyediakan
kediamannya, sebagai tempat pertemuan antara Syahrial dan Robbin saat
merencanakan upaya penghentian perkara.

Bisa jadi Aziz masuk dalam kategori saksi
sesuai Pasal 1 angka 26 KUHAP (saksi adalah orang yang dapat memberikan
keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu
perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri).
Dan kemudian diperluas maknanya tak terbatas hanya yang dia dengar sendiri, ia
lihat sendiri dan ia alami sendiri. Namun setiap orang yang punya pengetahuan
yang terkait langsung terjadinya tindak pidana (Putusan MK 65/PUU-VII/2010).

Baca Juga :  Dampak Vaksinasi Covid-19 Ketiga di Amerika Serikat

Lebih lanjut, jika ada peran mendalam yang
dilakukan Aziz seperti meminta Robbin menghentikan perkara Syahrial, maka,
politikus Golkar itu bisa dikenakan dengan Pasal 21 UU Tipikor. Ini karena
perbuatannya masuk dalam kualifikasi pihak yang merintangi proses penyidikan
yang dilakukan KPK. Dalam aturannya, setiap orang yang dengan sengaja mencegah,
merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan
terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan
atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah)
dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

Selain itu, Aziz juga bisa dikenakan Pasal 15
UU Tipikor yang menyebutkan, setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan,
atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan
pidana yang sama sebagaimana dimaksud Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan
Pasal 14.

Praktik lancung seperti ini sebenarnya sudah
berlangsung cukup lama di KPK. Tak hanya mencari uang, penyidik-penyidik yang
berasal dari institusi luar KPK ini, terkadang menggunakan cara-cara kotor
sebagai bahan bargaining ke atasannya agar cepat naik pangkat saat dikembalikan
ke institusi asal. Misalnya, mencuri data-data penting terkait penanganan
perkara seperti berita acara pemeriksaan (BAP) kepada pihak yang berperkara,
atau atasannya yang terindikasi berperkara di lembaga antirasuah.

Dalam menjalankan aksinya, selain dilakukan
sendiri, untuk menghilangkan jejak mereka juga kerap menggunakan jasa pihak
lain seperti petugas kebersihan yang tiap hari membersihkan ruang pemeriksaan
untuk mencuri data tersebut. Tentunya hal ini tak gratis. Ada tarif yang
dibayar penyidik pedagang perkara ini kepada orang suruhannya. Tarifnya dari
ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Tergantung penting atau tidaknya data yang
ingin dicuri.

Sementara untuk mencari tahu informasi surat
panggilan pemeriksaan yang dikirimkan penyidik lain kepada pihak terperiksa,
saksi ataupun tersangka, penyidik yang berasal dari luar KPK ini pun menyogok
kurir yang hendak melayangkan surat tersebut ke para pihak calon terperiksa,
saksi ataupun tersangka. Tujuannya jelas, rombongan penyidik pedagang perkara
ini membocorkan kepada nama-nama pihak yang akan diperiksa, atau kepada pihak
yang tersangkut dengan perkara yang tengah dilidik, ataupun disidik KPK.
Sehingga mendapat manfaat dari para pihak yang bermasalah tersebut.

Jadi jangan heran saat penyidik KPK tidak
bisa menggeledah kantor PDIP beberapa waktu lalu, hingga Harun Masiku gagal
ditangkap dan kini hilang bak hilang ditelan bumi. Lebih lanjut, masyarakat
juga jangan heran, ketika penyidik KPK juga kembali gagal menyita barang bukti
di kantor PT. Jhonlin Baratama, karena dokumen-dokumen terkait perkara sudah
dibawa kabur oleh oknum dengan memakai truk. Ini semua, selain salah satu
dampak dari diberlakukannya revisi UU KPK, juga karena ada peran dugaan ‘orang
dalam’ yang membocorkan rencana penggeledahan tersebut.

Baca Juga :  Threads dan Kehebohan Baru Dunia Literasi

Perbuatan kotor yang dilakukan Robbin, mau
tak mau akan semakin memengaruhi kinerja dan kembali menggerus tingkat
ketidakpercayaan masyarakat terhadap lembaga yang dulu dikenal paling bersih
itu. Tindakan Robbin juga sangat melukai para pegawai KPK lain yang benar-benar
mewakafkan dirinya untuk berjuang memberantas korupsi di negeri tercinta ini.

Untuk menyembuhkan luka yang menganga ini,
pimpinan KPK yang kini dikomandoi Firli Bahuri harus berjibaku mengembalikan
marwah KPK seperti awal mula lembaga itu didirikan. Hal ini penting dilakukan
jika tidak ingin disebut sebagai pihak yang memberangus KPK dari dalam.

Tak cukup berkoar-koar beretorika KPK Zero
Tolerance ketika ada pegawainya yang bermasalah. Namun harus ada upaya
pembenahan menyeluruh dari hulu ke hilir. Selama ini, pimpinan-pimpinan KPK dan
jajaran strukturalnya gemar mengampanyekan nilai-nilai antikorupsi ke
masyarakat dalam setiap kegiatan yang dilakukannya. Namun, dalam tataran
praktiknya, mereka justru yang kerap melanggarnya.

Sebagai contoh, Ketua KPK Firli Bahuri pernah
mendapat hukuman dari Dewan Pengawas KPK karena terbukti melanggar etik. Akibat
bergaya hidup mewah naik helikopter saat pulang kampung ke kediamannya, di
Sumatera Selatan.

Agar kejadian serupa tak terulang, maka
pimpinan-pimpinan KPK harus menjadi suri tauladan ke para pegawainya, dengan
cara benar-benar menerapkan sembilan nilai antikorupsi dalam kehidupannya
sehari-hari(Jujur, disiplin,peduli, tanggung jawab, kerja keras,
sederhana,mandiri, berani,adil). Jika hal ini tak bisa dilakukan, maka pimpinan
KPK harus sadar diri, malu dan mau mengundurkan diri, bukan bersikap retorika
seolah-olah bersikap antikorupsi, tapi nyata-nyatanya malah menghianati janji
sucinya kepada bangsa dan negara, serta Tuhan Yang Maha Esa.

Selain itu, harus ada upaya pembenahan
menyeluruh dari upaya perekrutan para pegawai KPK. Utamanya yang berasal dari
insitusi lain seperti kepolisian, kejaksaan, BPKP, BPK, dan institusi lainnya.
Pembenahan bisa dilakukan dengan cara mempertimbangkan rekam jejak calon
seperti sisi integritas, hingga kepatuhannya terhadap pelaporan LKHPN (Laporan
Kepatuhan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara). Jangan sampai ada istilah
jatah, sehingga menerima calon pegawai atau pejabat yang berasal dari institusi
lain, dengan mengabaikan prinsip akuntabilitas.

Upaya pengawasan melekat benar-benar harus
diterapkan tanpa pandang bulu terhadap setiap insan KPK, baik di level staff
hingga pimpinan. Hal ini dilakukan dalam menjalankan kehidupannya sehari-hari,
baik di lingkungan kantor maupun di rumah.


Kuswandi, Jurnalis JawaPos.com

Terpopuler

Artikel Terbaru