26.6 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Threads dan Kehebohan Baru Dunia Literasi

DUNIA digital, lebih tepatnya literasi digital lagi heboh oleh saluran baru dalam berkomunikasi, namanya Threads. Seperti dapat mainan baru, semua masuk ke sana. Yang belum, adalah yang belum tahu atau lalai saja.

Ini saluran baru, semacam twitter-nya Instagram. Jika saja buzzer telah masuk pula ke sini, alamat semakin heboh. Untung belum.

Hiruk bagai murai kala pagi tentang, “bagaimana orang menggunakan Threads.” Di sana, semua orang berusaha menjadi lucu dengan menggunakan caption, tapi ada yang mengatakan lebih baik menjadi lucu ketimbang menjadi benar.

Platfrom baru itu dihadirkan oleh instan camera dan telegram, disapa Instagram milik Meta Platforms. Bosnya, Mark Zuckerberg yang suka berbaju kaos itu. Rumah perusahaan ini di Amerika. Lawannya Twitter yang lebih dulu hadir, bosnya si pemilik mobil listrik, Elon Musk. Menurut banyak orang, Threads peniru Twitter dan isinya banyak selera.

Nostalgia dan Waktu

Kehadiran Threads adalah bagian dari bisnis kapitalis dalam merampas waktu para urban perkotaan, juga orang desa. Wadah ini sekaligus seperti Twitter dan IG, seringkali bikin cemas penggunanya. Karena, bisa-bisa salah kata, salah gambar. Apalagi di Indonesia, yang mengguna internet menghabiskan waktu 8 jam 8 menit dalam sehari. Nomor 10 di dunia, sedang di puncak bertengger Filipina dengan durasi 10 jam 23 menit.

Yang menggunakan internet untuk medsos terbanyak Nigeria 4 jam 49 menit, Indonesia tetap nomor 10, dengan durasi 3 jam 19 menit. Di Indonesia yang kecanduan Generasi Z yaitu yang berusia 16 sampai 24 tahun, terutama wanita. Kaum ibu ini menghabiskan waktu 3 jam 11 menit sehari, di atas pria yang 2 jam 40 menit.

Baca Juga :  Dewan Ajak Masyarakat Melek Digital

Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) mengungkapkan pengguna internet di Indonesia saat ini mencapai 63 juta orang. Dari angka tersebut, 95 persennya menggunakan internet untuk mengakses jejaring sosial.

Dalam sibuknya arus lalulintas pengguna medsos itu, peristiwa bencana alam hanyalah sampingan belaka. Kepedulian sosial langsung menipis. Mereka sedang asyik dengan pamenan baru. Ada yang menjadikan Threads sebagai nostalgia dari twitter tempo dulu. Namun, terlepas dari polemik pertikaian dua punggawa, Mark dan Elon Mask soal somasi/gugatan, ada kalimat Elon yang mengundang senyum. Yakni, “lebih baik saya diserang orang asing di Twitter ketimbang berada dalam kebahagiaan palsu di Instagram.”

Menggunakan Threads sesuai personality dan jadi diri sendiri. Di platform yang baru hitungan beberapa hari diluncurkan itu, belum ada yang cemas apalagi tersinggung. Dan, akun karena terintegrasi instagram juga meminimalkan akun anonim di Threads.

Literasi Medsos

Saya melihat sudah banyak yang menjadikan Threads sebagai wadah literasi. Ranum kembali. Kemampuan menulis dan kemampuan dalam sarkasme–meta universe ini

memberikan wadah itu. Meskipun dibatasi 500 kata, tapi platform itu membuat para user kembali aktif membaca. Apalagi saat ini ialah generasi visual, seperti tiktok dan reels di Instagram ataupun YouTube.

Baca Juga :  Menjegal Pemudik Nakal

Membaca adalah hal buruk dan serius di Indonesia. Sudah lama jadi perbincangan tapi tak kunjung membaik. Kita memang berharap, Indonesia semakin suka membaca, ketimbang bergunjing dan melucu saja.

Sosial media akan toxic pada waktunya. Twitter surganya buzzer. Pedang bermata dua, freedom of speech, hak untuk mengungkapkan pendapat. Orang-orang yang di banned, sepertinya Donald Trump, Andrew Tate kembali lagi di twitter pasca Elon Musk membeli twitter.

Pemahaman literatur terlalu rendah, freedom of speech akan jatuh ke huru-hara daripada tukar pendapat, karena “pengetahuan hanya sedikit”. Diskusi bukan tentang isi namun menyerang personal. Emosi dan sakit hati. Itulah sebabnya, banyak yang cemas, karena apa yang tak bisa diucapkan dalam dunia nyata, bisa ditulis di dunia maya. Karena itu pula, kadang untuk masuk pada platform harus ada kemampuan literasi, psikologi dasar dan keberanian tanpa reserve.

Threads memberi warna bagi dunia literasi, warna yang bisa dibuat sesuka hati, seperti juga medsos yang lain. Tampaknya, jika tidak jadi wadah literasi, Threads akan jadi ajang perkelahian pula, apalagi sekarang mulai masuk tahun politik. (*)

 

*) Vinna Melwanti, News Director Caping (News Aggregator)

DUNIA digital, lebih tepatnya literasi digital lagi heboh oleh saluran baru dalam berkomunikasi, namanya Threads. Seperti dapat mainan baru, semua masuk ke sana. Yang belum, adalah yang belum tahu atau lalai saja.

Ini saluran baru, semacam twitter-nya Instagram. Jika saja buzzer telah masuk pula ke sini, alamat semakin heboh. Untung belum.

Hiruk bagai murai kala pagi tentang, “bagaimana orang menggunakan Threads.” Di sana, semua orang berusaha menjadi lucu dengan menggunakan caption, tapi ada yang mengatakan lebih baik menjadi lucu ketimbang menjadi benar.

Platfrom baru itu dihadirkan oleh instan camera dan telegram, disapa Instagram milik Meta Platforms. Bosnya, Mark Zuckerberg yang suka berbaju kaos itu. Rumah perusahaan ini di Amerika. Lawannya Twitter yang lebih dulu hadir, bosnya si pemilik mobil listrik, Elon Musk. Menurut banyak orang, Threads peniru Twitter dan isinya banyak selera.

Nostalgia dan Waktu

Kehadiran Threads adalah bagian dari bisnis kapitalis dalam merampas waktu para urban perkotaan, juga orang desa. Wadah ini sekaligus seperti Twitter dan IG, seringkali bikin cemas penggunanya. Karena, bisa-bisa salah kata, salah gambar. Apalagi di Indonesia, yang mengguna internet menghabiskan waktu 8 jam 8 menit dalam sehari. Nomor 10 di dunia, sedang di puncak bertengger Filipina dengan durasi 10 jam 23 menit.

Yang menggunakan internet untuk medsos terbanyak Nigeria 4 jam 49 menit, Indonesia tetap nomor 10, dengan durasi 3 jam 19 menit. Di Indonesia yang kecanduan Generasi Z yaitu yang berusia 16 sampai 24 tahun, terutama wanita. Kaum ibu ini menghabiskan waktu 3 jam 11 menit sehari, di atas pria yang 2 jam 40 menit.

Baca Juga :  Dewan Ajak Masyarakat Melek Digital

Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) mengungkapkan pengguna internet di Indonesia saat ini mencapai 63 juta orang. Dari angka tersebut, 95 persennya menggunakan internet untuk mengakses jejaring sosial.

Dalam sibuknya arus lalulintas pengguna medsos itu, peristiwa bencana alam hanyalah sampingan belaka. Kepedulian sosial langsung menipis. Mereka sedang asyik dengan pamenan baru. Ada yang menjadikan Threads sebagai nostalgia dari twitter tempo dulu. Namun, terlepas dari polemik pertikaian dua punggawa, Mark dan Elon Mask soal somasi/gugatan, ada kalimat Elon yang mengundang senyum. Yakni, “lebih baik saya diserang orang asing di Twitter ketimbang berada dalam kebahagiaan palsu di Instagram.”

Menggunakan Threads sesuai personality dan jadi diri sendiri. Di platform yang baru hitungan beberapa hari diluncurkan itu, belum ada yang cemas apalagi tersinggung. Dan, akun karena terintegrasi instagram juga meminimalkan akun anonim di Threads.

Literasi Medsos

Saya melihat sudah banyak yang menjadikan Threads sebagai wadah literasi. Ranum kembali. Kemampuan menulis dan kemampuan dalam sarkasme–meta universe ini

memberikan wadah itu. Meskipun dibatasi 500 kata, tapi platform itu membuat para user kembali aktif membaca. Apalagi saat ini ialah generasi visual, seperti tiktok dan reels di Instagram ataupun YouTube.

Baca Juga :  Menjegal Pemudik Nakal

Membaca adalah hal buruk dan serius di Indonesia. Sudah lama jadi perbincangan tapi tak kunjung membaik. Kita memang berharap, Indonesia semakin suka membaca, ketimbang bergunjing dan melucu saja.

Sosial media akan toxic pada waktunya. Twitter surganya buzzer. Pedang bermata dua, freedom of speech, hak untuk mengungkapkan pendapat. Orang-orang yang di banned, sepertinya Donald Trump, Andrew Tate kembali lagi di twitter pasca Elon Musk membeli twitter.

Pemahaman literatur terlalu rendah, freedom of speech akan jatuh ke huru-hara daripada tukar pendapat, karena “pengetahuan hanya sedikit”. Diskusi bukan tentang isi namun menyerang personal. Emosi dan sakit hati. Itulah sebabnya, banyak yang cemas, karena apa yang tak bisa diucapkan dalam dunia nyata, bisa ditulis di dunia maya. Karena itu pula, kadang untuk masuk pada platform harus ada kemampuan literasi, psikologi dasar dan keberanian tanpa reserve.

Threads memberi warna bagi dunia literasi, warna yang bisa dibuat sesuka hati, seperti juga medsos yang lain. Tampaknya, jika tidak jadi wadah literasi, Threads akan jadi ajang perkelahian pula, apalagi sekarang mulai masuk tahun politik. (*)

 

*) Vinna Melwanti, News Director Caping (News Aggregator)

Terpopuler

Artikel Terbaru